Sekarang saatnya kita perhatikan cara kita bicara. Di pertemuan-langsung, rapat, WhatsApp, ketika negosiasi, belajar, dll. Jarang orang memperhatikan cara mereka bercakap-cakap. Lebih banyak, memperhatikan dan menilai orang lain.
Percakapan bukan kompetisi menyajikan yang terhebat. Orang yang egosentris, ingin mendominasi percakapan dengan mengembalikan topik percakapan agar selalu tentang dirinya.
Sering Interupsi dan Menukas di Tengah Percakapan
Jangan interupsi ketika seseorang sedang bercerita. Sekalipun kamu punya informasi atau kabar yang lebih baik. Seringnya, bentuk interupsi ini berupa “gaslighting“.
“Tidak ada kekasaran yang lebih besar daripada menginterupsi orang lain dalam arus wacananya.” -John Locke
Menggunakan “saya..”, lebih banyak, merasa paling tahu, dan ingin membagikan kehebatan (tepatnya, yang ia sendiri anggap hebat) di tengah percakapan. Selalu menceritakan dirinya.
Mendiskusikan Benda-benda dan Seseorang, Bukan Gagasan
Percakapan yang baik, selalu melewati basa-basi, menggali lebih dalam, saling mendengarkan, dan tidak mengarah pada dominasi seseorang. Percakapan yang baik memperkaya wawasan (insight), bukan memperdangkal dengan gosip dan informasi tidak jelas.
“Pikiran besar mendiskusikan ide; pikiran rata-rata mendiskusikan peristiwa; pikiran kecil mendiskusikan orang.” – Eleanor Roosevelt
Mendengarkan menjadi lebih baik jika benar-benar mendengarkan.
“Ada perbedaan antara mendengarkan dan menunggu giliran kamu untuk berbicara.” – Simon Sinek
Tidak Mau Mendengarkan
Mendengarkan itu “berbicara melalui mulut orang lain”. Biarkan orang lain berbicara, dengarkan saja. Kamu diam bukan tidak harus berbicara ketika orang lain diam. Percakapan tidak asyik kalau sudah bicara tentang “benda-benda” (materi) atau “manusia” (seseorang). Hasilnya pasti dangkal. “Kemarin saya beli motor. Kemarin saya lihat orang itu pakai mobil bagus.”. Perbincangan seperti itu menyandera cerita panjang tentang gagasan.
Pewawancara yang pintar tidak menceritakan apa yang ia tahu. Moderator yang hebat, lebih memanfaatkan waktu agar orang lain bisa “berbicara” dan “mendengarkan”, bukan menceritakan pengalaman dirinya dan apa yang ia tahu.
Tidak Menyadari Bahaya “Selalu Benar” dan “Ingin Sempurna”
Kebenaran bisa berubah menjadi penghancur percakapan ketika kamu berusaha untuk selalu benar. Meminta orang lain menunggu kamu menunjukkan bukti, agar orang lain mengakui kamu benar. Orang tidak akan suka jika kamu tunjukkan kesalahan mereka. Ingin selalu benar dan diakui benar akan menghalangi pemahaman orang lain. Apalagi sampai kamu meminta agar mereka mengaku salah. Lebih baik tanyakan ini lalu dengarkan jawaban mereka, “Mengapa kamu percaya itu? Mengapa itu pilihanmu?”. Jika mereka ragu atau merasa perlu mendengarmu, kamu akan dapat kesempatan berbicara.
Belajar lebih banyak mendengarkan, sekali lagi, tanpa menunggu giliranmu berbicara dan mengalahkan orang lain. Selalu ingin andil untuk berbicara adalah pintu ke arah monopoli percakapan.
Tidak Kenal Cara Bicara Sendiri
Sebelum orang menyukai kebenaran dari omonganmu, sebelum mereka mengakui fakta yang kamu bawa, sebelum orang mau terlibat dalam percakapan lebih-lanjut denganmu, mereka memperhatikan 1 hal: caramu mendengarkan dan caramu sampaikan pendapat.
Setiap hari, setiap bertemu dengan orang, ingat selalu: cerita pribadi kamu belum tentu menarik bagi mereka.
Topik Percakapan Busuk
Mau contoh yang sering terjadi?
Orang tua membanggakan anaknya, menceritakan hebatnya pekerjaan menantu mereka, betapa cantik dan pintarnya isteri (atau suami) mereka. Betapa jengkel mereka terhadap tetangga. Menyampaikan kesimpulan dan sikap mereka atas suatu berita atau kebijakan politik yang mereka dengar, seolah-olah mereka sudah tuntas memahami situasi nasional yang terjadi. Mereka pernah pergi (tepatnya: melintas) di kota yang jauh, dan menceritakan kota itu, seperti tinggal lama di sana. Menyebutkan kepemilikan. Jumlah uang. Kehebatan dari masa lalu. Betapa kerasnya mereka bekerja. Betapa mereka sudah berhasil “menjadi manusia”, pintar memperlakukan orang lain, menjadi kebanggaan kawannya. Betapa dermawan mereka. Membandingkan “kamu” dengan “orang lain” yang menurut mereka lebih baik.
Kesamaan dari topik pembicaraan di atas, hanya 1: tidak satupun yang berbicara tentang gagasan, hanya bicara tentang diri mereka sendiri. Berita baiknya, percakapan seperti itu sering terjadi.
Tanpa Sadar: Demam Panggung dan Merasa Insecure
Para pendengar, penonton, orang yang terlibat percakapan denganmu, bisa bicara lebih singkat darimu, mungkin lebih pintar dari kamu, dan bisa tunjukkan kesalahanmu. Mereka tidak lakukan itu, jika tidak kamu beri kesempatan berbicara, jika kamu tidak rendah-hati dalam percakapan.
Host yang pintar, memperlihatkan kepintaran dan pengalaman narasumber yang mereka undang. Bukan berkata, “Saya juga pernah..”, “Saya sehebat kamu..”. Tidak.
Keangkuhan intelektual sering terjadi dalam acara dialog. Mereka, yang berprofesi sebagai dosen di luar acara, masih memperlakukan ruang percakapan yang ditonton jutaan orang di televisi atau diulang di channel YouTube, sebagai kelas di mana ia sering didaulat untuk berbicara. Mereka yang berprofesi sebagai boss, pebisnis hebat, masih melihat orang lain sebagai “figuran” di acara percakapan.
Justru gaya bicara seperti itu, memperlihatkan insekuritas mereka. Merasa tak-aman yang tersimpan di bawah-sadar, dan di atas panggung acara, membuat mereka mengatakan apapun untuk membentengi diri mereka dengan hujan kata-kata, seolah-olah percaya diri, tidak takut, padahal mereka merasa tak-aman.
Mereka yang berkepribadian aman, justru sedikit berbicara, padat-berisi, dan tidak mengatakan semua yang mereka tahu.
Mereka yang berkepribadian aman lebih suka mendengarkan.
Dan mengajukan pertanyaan, untuk menggali kebijakan orang lain. Mereka tidak haus pengetahuan. Mereka melihat sisi-baik orang lain, belajar dari orang yang dianggap publik lebih bodoh. Mereka tidak mengandalkan “dengan siapa mereka berbicara”, mereka lebih suka “belajar dari orang lain”. Termasuk tersenyum tenang ketika orang lain mem-bully dirinya sendiri ketika orang itu bersikap tak dewasa di tengah publik.
Selalu Tentang “Saya”
Dunia menyempit dan pandangan orang menjadi sempit ketika segala sesuatu dipandang dengan “diri saya” di tengah segala sesuatu. Dengan mudah mereka bilang, “Saya tidak suka ini, karena saya tidak diuntungkan”, karena selalu melihat dunia seisinya berpusat pada dirinya sendiri.
Orang yang asyik diajak berbicara, terlihat “humble”. Memperlihatkan diri mereka apa adanya, tanpa setting “sempurna”. Mereka dengan senang bertanya, “Saya belum pernah dengar itu, bisakah kamu ceritakan?”.
Hidup itu menyenangkan kalau kepada setiap orang kita mau belajar dan menjadikan mereka cermin bagi diri kita.
Tidak Mau Feedback
Feedback (timbal-balik) dalam percakapan itu penting. Hargai “waktu” dan “perhatian” orang lain. Mereka sudah luangkan waktu lima menit untuk mendengarkan kamu, gantilah 5 menit itu dengan percakapan yang bernilai.
Ketika 50 orang sedang mendengarkan kamu berbicara 5 menit, itu bukan 5 menit lagi, tetapi 50×5 menit, sama dengan 250 menit. Rapat juga demikian. Durasi rapat 1 jam yang dihadiri 10 orang berarti 10 jam terluangkan untuk rapat. Bayangkan jika talkshow itu ditonton 100.000 orang di YouTube.
Untuk timbal-balik yang bernilai tinggi, pedoman masih sama: lebih banyak dengarkan, balas dengan baik, dan tidak semuanya selalu berpusat pada kamu.
Efek Buruk dari Percakapan Buruk
Apa yang terjadi ketika percakapan sesingkat apapun tidak menjadi perhatian serius kita?
Orang bisa dislike kamu. Secara sosial, mereka akan menilai kamu sebagai pribadi yang “insecure” dan berbahaya secara mental — tanpa perlu mengingatkan kamu. Mereka tersenyum manis dan menampilkan ekspresi datar, atau dalam topeng. Ketika kamu tidak mendengarkan orang lain, dalam perkembangan bisnis kamu, rasanya semuanya baik-baik saja, hanya karena kamu tidak mendengarkan mereka komplain.
Efek Buruk “Tanpa Feedback” bagi Bisnis
Saya pernah bertanya ke divisi “public service” di suatu bisnis milik seorang kawan, “Apa pendapat konsumen tentang produk kamu?”. Dengan tenang mereka menjawab, “Selama ini baik-baik saja, karena konsumen tidak pernah komplain kepada kami.”. Itulah salah satu sebab, mengapa bisnis yang ia bangun mengalami down. Mereka menunggu orang lain komplain. Seharusnya, mereka yang bertanya, mendengarkan, datang kepada para konsumen, dan melihat penilaian mereka. Bukan hanya diam, bukan dengan pasif menunggu ada komentar dan saran di kotak suara mereka.
Percakapan adalah hal biasa yang bisa menjadi luar-biasa jika kamu sadari nilainya. Perlakukan orang lain secara manusiawi dalam percakapan sesingkat apapun.
Takeaway:
- Lebih banyak dengarkan orang lain. Jangan interupsi. Jangan desak orang dengan apa yang menurutmu lebih baik. Percakapan bukan kompetisi.
- Jangan pusatkan perhatian selalu ke arah “tentang saya”.
- Bicarakan tentang gagasan. Tunda berbicara tentang benda-benda atau tentang seseorang. Buat percakapanmu bernilai.
- Orang melihat cara kamu berbicara lebih dulu, bukan “kebenaran” atau “fakta” terbaik.
- Cerita pribadimu tidak selalu menarik. Orang tidak selalu mau menegur kalau kamu “meresahkan” dalam percakapan, karena itu, sadari selalu konsekuensi pembicaraanmu.
- Mikrofon, publik, dan setting panggung, jangan sampai membuatmu kehilangan kendali.
- Gali kebijakan dari orang lain, tanpa memandang siapa mereka.
- Berikan feedback (timbal balik). Waktu semua orang bernilai.
- Kamu bukanlah pusat dunia dalam percakapan ini.
- “Humble”, tetap merasa aman, dan jangan berharap “selalu benar” atau “harus sempurna”.
- Percakapan ini bukan milikmu sendiri. Percakapan ini akan menjadi milik semua orang.
Orang yang ada di depanmu sekarang.. pacar kamu.. kawan kamu.. siapa saja, mereka menunggu percakapan yang baik darimu. [dm]