Saya sedang alami krisis. Benar sekali. Saya menyadari itu, bahkan saya konfirmasi beberapa kali. Saya tidak bayangkan ini akan menjadi titik-balik dunia kepenulisan saya.
Ini bukan krisis finansial. Dan tidak ada ketakutan sama sekali. Ini masalah yang sangat menantang.
Setiap hari, saya periksa feed berita 3 kali. Bisa lebih, kalau ada WhatsApp dari redaksi atau kawan saya, yang kirim link berita “darurat”.
Saya mengikuti berita. Kacau sekali keadaan negara kita kalau kita baca berita, namun belum tentu itu mencerminkan keadaan negara kita yang sebenarnya.
Saya mempertanyakan cara media menulis berita.
Lihat cara mereka menulis, hampir sama: ada topik, mereka cari narasumber, kemudian apa kata narasumber dituliskan menjadi 9-15 paragraf, jadilah berita singkat.
Kalau topik menjual, diteruskan menjadi serial berita singkat.
Berapa media yang membuat indepth sepanjang 4500 kata per minggu? Berapa yang tuntas memberikan perspektif tentang topik yang kontroversial?
Atau kalau kamu buka YouTube, semakin banyak akun faceless (tidak jelas siapa yang bikin), di mana mereka potong gambar, bikin voice dari converter text to voice, dengan headline bombastis.
Mereka bukan media, bukan narasumber, dan hanya meracik-ulang berita untuk dapat viewer tinggi.
Julian Assange juga bukan media dan bukan narasumber, tetapi berani bikin cerita berbeda di WikiLeaks waktu itu.
Yang di YouTube ini lain. Mereka tidak streaming, main cut-to dan framing gila-gilaan. Bukan hanya politik, soal agama juga mereka “jual”.
Sampai sekarang, berapa persen penonton YouTube yang mau mengakui kalau Google dan Alphabet (yang bikin YouTube) itu media iklan? Saya sempat tanya ke orang-orang media, tentang project “Jedi Blue”, project “NERA”, di Oktober 2021 lalu. Sebenarnya, awal 2021 sudah ada.
Mereka tidak tahu. Mereka tidak peduli.
Bagi yang belum mengerti apa itu project “Jedi Blue”, saya jelaskan dengan singkat: Jedi itu Google (istilah ini pinjam dari film “Star Wars”) dan Blue itu Facebook. Kedua lembaga ini bikin kesepakatan terkait data pelanggan.
Mau diapakan data itu?
Ada dokumen yang bisa kamu pelajari dan jangan bilang “ngeri” kalau sudah baca isi dokumen itu. Internet akan diubah menjadi kebun berdinding (walled garden).
Sampai kemudian, datanglah era “perang streaming”.
Ketika terjadi perang streaming, keadaan sudah berbeda.
Coba ketik “streaming wars” di Google dan klik bagian News. Apa yang kamu baca? Ada kesamaan: mereka bertanya (atau bikin angle tentang..) siapa pemenang perang streaming ini.
Sekarang zaman subscriber economy, atau “ekonomi pelanggan”.
Apa yang nggak berlangganan?
Shopee, tivi digital, media online yang kamu baca, serta feed iklan-berita yang muncul di browser kamu. Semua itu berlangganan.
Pembaca diarahkan ke “mencari pemenang” di perang streaming. Katakan, ada 5 pemain: YouTube, Netflix, HBO, Hulu, Amazon, Disney, dll.
Dalam perang streaming, bentuk permainannya bukan “zero sum” dan bukan “win take all”. Tidak.
Dalam “zero sum game”, ada yang menang ada yang kalah (kalau dijumlahkan hasilnya nol, itu sebabnya disebut “zero sum game”). Dan bukan “win take all” seperti bermain lotre. Tidak.
Media membingkai “pemenang” tetapi bukan pemenang, karena mereka hitung subscriber. Yang paling tinggi dan menaik grafiknya, dianggap sebagai “pemenang”. Tidak.
Konsumen yang selalu kalah. Konsumen yang mau tidak mau pilih tontonan. Tidak mungkin mereka beli televisi dan parabola “tanpa” berlangganan. Hanya saja, jenis langganan mereka berbeda. Ada yang versi premium, tanpa iklan, keluarga, berbagi untuk 3 orang, dst. Tetapi perusahaan streaming selalu dapat pelanggan.
Jadi, siapa yang gila? Media yang bikin framing (dalam kasus berita “negara tidak baik-baik saja”, YouTube dengan akun faceless yang sok siaran berita, sampai “perang streaming”) atau siapa?
Sampai sekarang, saya masih percaya, jika berita nggak bagus, masalahnya hanya satu: pembuat berita nggak punya kompetensi dalam menulis berita.
Itulah krisis pertama saya, ketika melihat media tidak berkompeten dalam menyampaikan masalah.
Mungkin kawan-kawan ada yang mau bilang, “Tidak semua media..”.
Bagus. Mungkin saya belum mengerti, media mana yang berbeda itu.
Atau ada yang ingin berkata, “Berita nggak usah dipandang serius.”. Oh, tidak semudah itu. Saya punya sederet alasan lebih lengkap, mengapa ada seorang kawan yang tidak mau baca berita. Alasan singkat: karena tidak “mau tahu” alias maunya apatis, cuek, dengan apa yang terjadi. Bagaimana bisa mentalitas seperti ini terbentuk?
Karena capek lihat keadaan, nggak bisa urus masalah pribadi sendiri, atau karena ingin yang baik-baik saja, mungkin. Dan apatisme seperti ini tidak bisa saya akui sebagai kesalehan.
Saya lebih suka peduli, lebih suka “ingin tahu” dan mencari seperti apa sebenarnya.
Jadi, inilah yang akan terjadi dalam perang streaming:
Tidak ada pemenang tunggal. Candlestick naik turun.
Media dengan manajemen dan sumberdaya menengah ke atas, dengan kesepakatan dan sistem kongsi dagang mereka, akan mendominasi Beranda berlangganan.
Yang free tidak akan lebih baik (secara mayoritas).
Waktu kamu, perhatian kamu, dan dompet kamu, kalau mau dapat tayangan berkualitas (baik berita maupin hiburan), akan digiring ke satu ajakan bertindak: ikuti dan bayar kami.