in

Peran Ibu dalam Penguatan Literasi Digital

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, 62,10% penduduk Indonesia berusia 5 tahun ke atas mengakses internet dalam kuartal pertama 2021. Terjadi peningkatan sekitar 16% dibanding periode yang sama pada 2020. Data tersebut menunjukkan bahwa interaksi penduduk Indonesia dengan dunia digital terbilang cukup tinggi.

Dikategorikan menurut tujuan atau kepentingannya, orang mengakses internet untuk media sosial menduduki peringkat pertama (88,99%), disusul untuk mendapat informasi/berita (66,13%) di urutan kedua, dan untuk hiburan (63,08) di posisi ketiga.

Melalui survei sosial ekonomi nasional (SUSENAS) pada periode yang sama juga terungkap, dalam tiga bulan pertama tahun ini 20,69% anak usia dini menggunakan internet. Lebih terperinci, pengguna internet dari kalangan anak usia dini tersebut terdiri atas balita 14,64% dan usia 5—6 tahun 35,31%.

Apakah tingginya angka penggunaan perangkat dan akses konten digital tersebut sekaligus menunjukkan tingginya literasi digital masyarakat kita? Jika keterampilan teknis dalam menggunakan perangkat dan mengakses konten digital menjadi ukurannya, tentu jawabannya “ya”. Namun, jika kecakapan dalam mengendalikan dampak yang timbul akibat penggunaan media digital menjadi ukuran, kecakapan literasi masyarakat kita masih patut dipertanyakan.

Untuk mengendalikan dampak dari paparan konten digital, Google memberikan tips tangkas berinternet. Panduan praktis ini berisi 5 pilar kecakapan literasi digital yang mesti dimiliki oleh warganet: cerdas, cermat, tangguh, bijak, dan berani.

Kiat-kiat yang disarankan Google tersebut hanya mencakup pengendalian dampak dari paparan konten.

Masih ada dampak lain yang perlu dikendalikan, yakni dari pola penggunaan perangkat atau gawai/gadgetnya sendiri. Selain kesehatan fisik, pola penggunaan gawai juga ditengarai berdampak terhadap kesehatan mental.

Secara fisik, kesehatan mata dan otak diyakini rentan terdampak oleh radiasi yang dipancarkan gawai. Sedangkan kecanduan gawai tidak kalah dahsyat dalam merongrong kesehatan mental. Orang—dari segala usia dan beragam latar belakang sosial—bila sudah kecanduan gadget tidak ubahnya seperti pencandu narkoba.

Melepaskan diri dari candu gawai tidak kalah sulit dibanding menjauhkan narkoba dari pencandunya.

Keasyikan bergawai bisa membuat orang kerasan “hidup” di dunia maya dan lupa akan kehidupan di dunia nyata. Dengan gawai digital, seolah-olah pemenuhan semua kebutuhan hidupnya tersedia di gadget yang berada dalam genggamannya. Pencandu gadget kehilangan kesadaran bahwa ia terbentuk dari jiwa dan raga. Tidak hanya melalaikan kewajiban, bahkan pencandu gadget cenderung mengabaikan hak-hak fisiknya. Kebutuhan makan dan minum, tidur dan istirahat, bergerak dan berolahraga sering luput dari perhatian mereka.

Seluruh kecakapan literasi digital tersebut mesti ditumbuhkan dan dikembangkan sejak usia dini. Anak-anak yang terlahir pada abad informasi ini otomatis hadir sebagai “pribumi” di dunia digital. Sejak lahir mereka sudah “membawa” keterampilan teknis digital (digital skills). Dengan mudah dan cepat mereka dapat menguasai teknik penggunaan gawai digital. Tidak seperti orang tuanya, mereka bahkan memperoleh keterampilan itu tanpa harus diajari.

Bila dirunut lebih lanjut, siapa—di antara ayah dan ibu—yang secara kodrati memiliki peluang lebih besar untuk mengemban tanggung jawab itu? Jawabannya, pasti ibu.

Anak sejak lahir hingga mencapai usia tertentu bisa tidak terganggu perkembangannya tanpa kehadiran ayah. Sebaliknya, siapa berani bertaruh bahwa bayi yang baru lahir akan baik-baik saja tanpa peran ibu atau wanita yang menggantikan peran ibu kandungnya?

Ibu tidak punya alasan untuk mengelak dari tanggung jawabnya sebagai pendidik bagi anak-anaknya, termasuk dalam mengajarkan kecakapan literasi digital. Untuk itu, setiap ibu juga dituntut untuk memiliki kecakapan literasi digital. Kecakapan teknis memang tidak harus dikuasai oleh tiap-tiap ibu. Namun, kekurangan itu bisa ditambal melalui kolaborasi dengan pihak-pihak berkompeten.

Upaya memiliki sendiri segala kecakapan yang diperlukan itu baik dan penting. Namun, jejaring pemberdayaan secara kolaboratif pun tidak kalah baik dan penting. Selamat Hari Ibu. Selamat menjalankan peran ibu ideal bagi anak-anak milenial di era digital.