in

Pengamat Sindir Lembaga Survei yang Prediksinya Meleset

SEMARANG (jatengtoday.com) – Prediksi tingkat elektabilitas yang dilakukan sejumlah lembaga survei pada Pilgub Jateng 2018 ini dinilai njomplang. Jika dilihat dari hasil real count KPU Jateng sementara ini, selisihnya cukup signifikan.

Pengamat politik dari Universitas Wahid Hasyim (Unwahas ) Semarang, Joko Prihatmoko membeberkan, melesetnya hasil survei ini bukan hanya terjadi tahun ini. Pada 2013 juga banyak yang meleset.

Dia meminta perbedaan jomplangnya elektabilitas hasil survei dengan quick count yang dilakukan lembaga survei di Pilgub Jateng 2018, agar tidak terjadi lagi pada Pemilu 2019 mendatang. “Artinya, kesalahan ini dilakukan beberapa lembaga survei yang sama, yang sangat terkenal di Indonesia,” ucap Joko saat dihubungi, Senin (2/7).

Diakui Joko, hali itu memang tak bisa disalahkan. Sebab lembaga survei itu telah bekerja memegang prinsip-prinsip ilmiah khususnya metodologi riset. Meski begitu, tidak adanya standar operasional prosedur (SOP) terkait batasan sampling dan sebaran, serta belum adanya asosiasi lembaga riset, berisiko hasilnya terlalu subjektif.
“Lembaga survei harus berpikir bahwa hasil survei sebelum pemilihan bisa jadi menjadi rujukan masyarakat dalam menilai para kandidat. Edukasi demokrasi, bisa berawal dari situ. SOP memang belum ada, hanya bekerja pada metodologi riset,” terangnya.

Akan menjadi fatal bila hasil survei sebelum pemilihan berpeluang memiliki power menggiring opini masyarakat untuk ‘memaksa’ memilih kandidat seperti dalam karung. “Lembaga survei akhirnya mengabaikan etika. Mereka tidak peduli dengan pembangunan demokrasi. Untuk bermaksud mengedukasi (politik) masyarakat,” tuturnya.

Dari kacamatanya, melesetnya hasil elektabilitas itu dikarenakan tidak ada kode etik hubungan atau kerjasama lembaga-lembaga dari Jakarta dan dari daerah. Ditambah belum adanya asosiasi lembaga survei yang sehat dan profesional, yang bisa mengikat dan memandu etika mereka. Kalaupun ada asosiasi, kata Joko hanya untuk kepentingan mereka sendiri.
“Yang paling tampak dari itu adalah mereka (lembaga yang sama) melakukan survei Pemilu (Pilgub) lalu mempublikasikannya dan melakukan survei exit poll dan mempublikasikan juga, yang biasa disebut quick count,” jelasnya.

Karena tidak ada aturan itu, kata Joko mereka bebas menjadikan hasil survei sebagai iklan paslon yang memesannya. Sedangkan publikasi hasil survei exit poll digunakan untuk menutup kesalahan dan ketidakvalidan survei terdahulu plus untuk iklan lembaga itu sendiri.

Seharusnya, kata Joko, survei dan exit poll tidak dilakukan lembaga yang sama. Dengan cara itu, menjadikan hasil survei yang tidak valid dan akurat alias asal-asalan ditutup dengan survei exit poll.

“Hasil survei exit poll hampir selalu valid karena dilakukan terhadap pemilih setelah menggunakan hak pilih. Sungguh, itu kejahatan demokrasi dengan cara memanipulasi opini” tandasnya.

Untuk itu, menjadi catatan untuk pemilu 2019 mendatang, Joko mengharapakan para lembaga survei pemilu membuat kode norma atau aturan bersama yang mengatur relasinya dengan pengguna (paslon, pengusaha dll), masyarakat, dan lembaga survei di daerah. “Lembaga survei harus bisa menjadi pilar edukasi demokrasi dalam masyarakat,” ucapnya.

Joko juga menyarankan, harus ada larangan lembaga yang sama melakukan survei Pemilu (pra pemungutan suara) dan survey exit poll.

“Jika itu masih terjadi pada Pemilu 2019, maka itu cara liar memanipulasi persepsi masyarakat kembali. Itu kejahatan demokrasi,” imbuhnya. (ajie mahendra)

editor : ricky fitriyanto

Ajie MH.