in

Pengamat: Penuntasan Masalah Over Dimensi Over Load Perlu Komitmen Bersama

SEMARANG (jatengtoday.com) – Pengamat Transportasi Jawa Tengah, Djoko Setijowarno mengaku prihatin atas peliknya permasalahan kendaraan yang Over Dimensi Over Load (ODOL). Menurutnya, diperlukan komitmen bersama untuk menuntaskan persoalan itu.

Dia menyebut, ada beberapa faktor yang menyebabkan ODOL berlarut-larut. Diantaranya terkait aturan dan kualitas jalan, tata cara angkut barang, tarif angkutan barang, hingga konsistensi penegakan hukum.

Menurut Djoko, masih banyak pelanggaran ODOL yang tidak dikenakan sanksi. Padahal, Pasal 277 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sudah jelas mengaturnya. Ancamannya berupa pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda maksimal Rp 24 juta

“Sebenarnya dengan pasal ini sudah bisa menjerat pelaku ODOL, tapi baru dikenakan sanksi tahun lalu di Pekanbaru,” ujar Dosen Unika Soegijapranata Semarang, dalam keterangan tertulisnya, Minggu (30/6/2019).

Permasalahan lain, kata Djoko, seperti regulasi yang masih lemah diterapkan, sistem yang berjalan kurang mendukung, kinerja instansi yang perlu diperkuat, pengaruh dan peran operator, kepedulian pemilik barang, masih ada pemalsuan SRUT (Surat Registrasi Uji Tipe) dan Buku Uji, serta kondisi infrastruktur.

“Biasanya pelanggaran banyak dilakukan oleh angkutan batubara, angkutan CPO, angkutan kelapa sawit, dan beberapa komoditas lainnya,” ucapnya.

Akibat yang ditimbulkan dari tindakan ODOL tersebut juga buruk, baik terhadap infrastruktur maupun keselamatan. “Dampaknya bisa merusak jalan dan jembatan, menelan korban jiwa dan merugikan negara,” imbuh Djoko.

Dia mencontohkan dengan kasus yang baru terjadi di jembatan Way Mesuji, Kabupaten Mesuji, Sumatera Selatan. Kendaraan ODOL telah menyebabkan putusnya jembatan di jalan timur KM 200. Hal itu bukan karena konstruksi jembatan yang rapuh, melainkan beban yang melebihi kapasitas membuat badan jembatan ambles.

Adapula kecelakasn di Bumiayu, truk ODOL menabrak sejumlah orang dan kendaraan setelah melewati jalan layang di atas perlintasan KA.

Djoko juga menyinggung terkait Unit Pelaksana Penimbangan Kendaraan Bermotor (UPPKB). Saat ini UPPKB tersebar di 28 provinsi, kecuali Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Utara, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat.

Jumlah UPPKB sendiri ada 141 yang eksisting. Namun, berdasarkan pengamatannya, ada 7 UPPKB (berada di Riau, Bengkulu, Jateng, Sulut, dan Papua) yang tidak diserahkan pemda ke pusat sesuai amanah UU 23/2015 tentang Pemda.

“Dari 134 UPPKB, akan dioperasikan sebanyak 85 UPPKB dan 49 UPPKB yang ditutup,” jelasnya.

Data dari Ditjenhubdat, sejak operasi 37 UPPKB April-Desember 2018, tercatat 600.174 kendaraan yang masuk UPPKB, yang melanggar 431.045 unit kendaraan (71,82 persen) dan tidak melanggar hanya 20,18 persen atau 169.129 unit kendaraan.

Mirisnya data tersebut, katanya, dilatarbelakangi oleh banyaknya perusahaan angkutan barang yang belum menggunakan manajemen profesional. Bagi para oknum yang tak bertanggung jawab, perbuatan ODOL akan mendatangkan keuntungan yang berlebih.

Menurut Djoko, adanya pola pemberian insentif untuk angkutan barang bisa menjadi alternatif. “Misalnya, subsidi tarif angkutan barang, pengurangan pajak untuk angkutan barang, atau kemudahan berusaha,” sarannya.

Dia menegaskan, masalah ODOL tidak hanya tanggung jawab Ditjenhubdat semata. Namun, keterlibatan dan sinergi dengan kementerian dan lembaga lainnya (Kementerian PUPR, Kepolisian, Kemendag Kemendagri, Bappenas, Kemenkeu, Kemenaker, Kemenkes, Kemenperin) sangat diperlukan.

Juga keikutsertaan Organda, Apindo, Aptrindo, dan asosiasi lain yang berhubungan dengan logistik.

“Komitmen bersama sangat diharapkan untuk menuntaskan ODOL. ODOL bukan lagi menjadi masalah transportasi semata, melainkan memiliki dimensi sosial ekonomi karena masalahnya sudah terentang mulai dari hulu hingga hilir,” tandasnya. (*)

editor : ricky fitriyanto

Baihaqi Annizar