in

Peneliti Temukan Lima Faktor yang Memperparah Banjir di Semarang

SEMARANG (jatengtoday.com) – Kota Semarang menjadi salah satu wilayah yang memiliki kerusakan lingkungan alam cukup mengkhawatirkan. Berbagai fenomena alam yang muncul beberapa tahun terakhir tidak bisa dianggap enteng. Mulai dari matinya mata air di sejumlah sendang, eksploitasi air bawah tanah untuk kepentingan industri, hingga fenomena land subsidence atau penurunan tanah hingga mencapai 19 centimeter per-tahun.

Sementara pemerintah sejauh ini belum sepenuhnya fokus melakukan penanganan secara serius mengenai sejumlah permasalahan fenomena alam tersebut. Alhasil ekspoitasi air bawah tanah masih terus berlangsung. Dampak dari penurunan tanah tersebut memperparah banjir di Kota Semarang.

Sejumlah peneliti yang tergabung dalam Konsorsium Ground Up dari akademisi IHE Delft Institute for Water Education, University of Amsterdam, Universitas Gadjah Mada (UGM), Amrta Institute dan KruHA, Universitas Diponegoro (Undip), serta masyarakat sipil, intens melakukan riset mengenai permasalahan risiko air di Kota Semarang sejak Oktober 2020 – Januari 2021.

Direktur Amrta Institute for Water Literacy, Nila Ardhianie menyebut ada lima faktor yang memperparah banjir di Kota Semarang. “Beberapa temuan relevan dengan kejadian banjir yang terjadi di Semarang pada awal Februari 2021 lalu,” ujarnya, Senin (22/2/2021).

  1. Ketergantungan Penggunaan Air Tanah

Temuan pertama yang relevan dengan banjir di Kota Semarang adalah ketergantungan Semarang terhadap air tanah untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari yakni 79,7 persen. “Dari 79,7 persen tersebut, sebanyak 48.6 persen menggunakan air tanah dalam (ATDm) dan 31.1 persen menggunakan air tanah dangkal (ATDl),” bebernya.

Pemanfaatan ATDm dilakukan secara komunal yaitu melalui program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) diinisiasi oleh pemerintah dan kemudian pengelolaan sumur dilakukan oleh pengurus yang dibentuk di wilayah setempat dan sejak awal dikelola warga.

“Kami menemukan di wilayah yang sudah tersedia jaringan PDAM, responden di lokasi tersebut menggunakan air tanah (ATDm) sebagai sumber air utama. Contohnya: Pandean Lamper, Siwalan, Sambirejo, Kangtempel, Rejosari, Lamper Lor, Lamper Kidul dan Lamper Tengah),” bebernya.

Bahkan, lanjut dia, PDAM sendiri masih menggunakan ATDm sebagai salah satu sumber air bakunya. Ketergantungan terhadap air tanah relevan dengan pengelolaan banjir karena pengambilan air tanah yang berlebihan dari akuifer tertekan dapat menyebabkan terjadinya amblesan tanah (land subsidence). “Selanjutnya, amblesan tanah berdampak pada peningkatan risiko banjir,” terang dia.

Banjir yang dimaksud adalah pertama, banjir lokal akibat curah hujan di satu lokasi melebihi kapasitas sistem drainase yang ada. Kedua, banjir rob yang terjadi akibat aliran dari air pasang atau aliran balik dari saluran drainase akibat terhambat oleh air pasang.

“Beberapa penyebab amblesan tanah selain pemanfaatan air tanah berlebihan adalah pembebanan bangunan, kompaksi atau pemadatan tanah aluvial, aktivitas tektonik dan pengerukan berkala yang dilakukan di Pelabuhan Tanjung Emas yang membuat sedimen di bawah Kota Semarang bergerak ke arah laut,” bebernya.

“Amblesan tanah terjadi secara variatif, tergantung kondisi alami lokasi dan aktivitas yang berjalan di lokasi tersebut. Beberapa tempat di Semarang ada yang amblesnya sampai 19 centimeter per tahun,” imbuh dia.

Penelitian dilakukan di enam lokasi yang ditentukan berdasarkan beberapa kriteria spesifik, yaitu zona air tanah yakni zona kritis, rentan dan aman. Akses terhadap jaringan PDAM, risiko banjir dan amblesan tanah. “Metode yang digunakan adalah survey dengan 319 responden yang berada di 6 lokasi terpilih dan dilengkapi dengan observasi lapangan dan studi literatur,” jelas mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro Semarang itu.

  1. Tingkat Dampak yang Dirasakan Warga Semakin Tinggi

Temuan kedua, yang relevan adalah mengenai tingkat dampak yang dirasakan warga yang tinggal di daerah dekat pantai yang makin tinggi. Responden yang tinggal di Mangkang Wetan, Randu Garut, Terboyo Kulon dan Terboyo Wetan paling banyak mengalami banjir, baik akibat luapan sungai maupun rob.

“Sebanyak 73,2 persen responden di Mangkang Wetan dan Randu Garut  pernah mengalami banjir dan 40 persen mengalami rob,” sebut dia.

Sedangkan 96,2 persen responden di Terboyo Wetan dan Terboyo Kulon pernah mengalami rob. “Separuh responden di Kelurahan Kuningan, Panggung Kidul dan Panggung Lor pernah mengalami banjir dan 37.5 persen mengalami rob,” imbuhnya lagi.

  1. Kesulitan Mendapatkan Air Bersih

Temuan ketiga: Penduduk yang tinggal di dekat pantai menghadapi risiko lain terkait air yaitu kesulitan mendapat air bersih. Air di daerah ini biasanya payau karena terpengaruh air laut.

“Karena itu, kawasan dekat pantai seharusnya menjadi prioritas mendapat layanan jaringan PDAM. Disayangkan di lokasi penelitian yang berada dekat pantai yaitu Mangkang Wetan, Randu Garut dan Terboyo justru belum dilayani oleh PDAM. 98,8 persen responden yang tinggal di kawasan ini memperoleh air dari air tanah,” bebernya.

  1. Perubahan Tata Guna Lahan

Temuan Keempat, perubahan tata guna lahan yang terjadi di Panggung Lor, Panggung Kidul dan Terboyo juga berperan meningkatkan risiko banjir. “Semula kawasan ini adalah tempat resapan air dari bagian Semarang atas dan sekarang telah berubah menjadi kawasan perumahan dan industri,” ungkap Nila.

Hal ini menyebabkan kapasitas infiltrasi berkurang, air tidak dapat meresap ke tanah sehingga tergenang. “Selain itu perubahan tata guna lahan juga menambah beban tanah di area tersebut yang potensial menyebabkan terjadinya amblesan tanah,” katanya.

  1. Penggunaan Teknologi Mesin Hidraulik

Temuan Kelima, penelitian ini juga menunjukkan bahwa respon dominan terhadap banjir adalah melalui infrastruktur besar dan teknologi mesin-mesin hidraulik. “Hal ini sudah dimulai sejak Belanda mulai meluruskan aliran Sungai Garang menjadi Banjir Kanal Barat pada 1850 yang diikuti dengan pembangunan Banjir Kanal Timur di sisi kanannya pada 1896,” sebutnya.

Mega infrastruktur ini ditunjang oleh pengoperasian pompa yang tersebar di banyak lokasi di Semarang. Dari website Dinas Pekerjaan Umum diketahui terdapat 78 pompa di seluruh Semarang yang difungsikan di 43 rumah pompa dengan kapasitas 83.620 m3/detik.

“Berdasarkan riset ini, kami menyimpulkan risiko terkait air di Semarang sebagai bagian integral dari lokasinya yang berada di kawasan rendah dengan jenis tanah alluvial muda, kenaikan muka air laut dan konsentrasi penduduk dan aktivitas ekonomi maka pendekatan yang digunakan sekarang tidak lagi tepat digunakan sebagai pendekatan utama,” cetus dia.

BACA JUGA: Banjir Tetap Terjadi Bila Kerusakan Lingkungan di Hulu Diabaikan

Menurut dia, ada beberapa hal yang perlu dikembangkan untuk mengurangi risiko banjir di Semarang. Di antaranya adalah pengelolaan dari sisi permintaan (demand management) melalui efisiensi penggunaan air, pemerintah perlu mengembangkan insentif bagi penggunaan air permukaan dan disinsentif bagi penggunaan air tanah, pemanenan air hujan pada beragam skala, dan pengembangan sistem peringatan dini.

BACA JUGA: Penurunan Muka Tanah dan Alih Fungsi Lahan di Semarang jadi Persoalan Serius

“Demokratisasi infrastruktur, yaitu: mencari alternatif-alternatif infrastruktur dengan prinsip meninggalkan mega infrastruktur yang tersentral dan biasanya dipaksakan dari “atas ke bawah”, pindah ke infrastruktur yang lebih kecil, terdesentralisasi, dan lebih partisipatoris menyerap aspirasi atau model praksis dari ‘bawah ke atas’,” ujarnya.  (*)

 

editor: ricky fitriyanto