BALI (jatengtoday.com) – Kota besar yang padat penghuni cenderung rentan terjadi kekacauan. Individualis dan rawan kriminalitas. Namun belakangan ini sejumlah kota besar di Indonesia mengusung konsep “smart city” yang ramah dan cerdas.
Namun “smart city” tidak sertamerta hanya melakukan pembangunan infrastruktur. Tetapi juga melakukan pembangunan mental masyarakatnya. Setelah infrastruktur dan tata ruang kota mendukung, kesadaran masyarakat untuk memiliki budaya tertib aturan menjadi hal penting.
Denpasar, Bali menjadi salah satu kota padat yang menerapkan konsep smart city. Secara infrastruktur, hampir di setiap ruas jalan menyediakan pedestrian atau trotoar. Hak pejalan kaki berusaha diperhatikan betul. Banyak orang membudayakan jalan kaki. Taman dibangun untuk berinteraksi sosial dengan warga lain. Bertemu, berpapasan dan saling menyapa.
“Bukti kota yang ramah, penghuninya tertib dan taat aturan. Cek saja, di Bali tak ada pengendara arogan di jalan dengan main klakson sembarangan,” kata Nur Kholis (40), warga Jalan Petek, Cirebonan Besar Nomor 688, Kelurahan Dadapsari, Semarang Utara, Kota Semarang, yang berprofesi sebagai pemandu wisata di Denpasar Bali.
Orang, baik pendatang, turis, maupun penduduk asli, terbiasa tertib aturan. Hal yang paling diperhatikan di Bali adalah tata krama. “Itulah sebab mengapa tidak ada pengendara arogan yang main klakson seenaknya. Bahkan meskipun di jalanan sedang macet, antre, semua kendaraan tertib dan tidak ada satupun sopir yang main klakson. Sebab, mereka tahu fungsi klakson. Tidak ada yang marah-marah dengan main klakson,” katanya.
Selain itu, lanjut Nur, tidak ada orang membuang sampah sembarangan. Pengelolaan sampah dilakukan secara serius. “Masyarakat di sini sangat tertib dan sadar sampah. Apabila membuang sampah plastik sisa makanan misalnya, kalau tidak ada tempat sampah—ya dimasukkan tas sendiri. Baru dibuang saat ada tempat sampah,” katanya.
Banyak budaya luar yang masuk akal justru diadopsi untuk diterapkan di Bali. Budaya kebersihan, ramah, tertib, antre, saling menyapa, tidak menang sendiri, itu membuat kondusif. “Sehingga di jalanan tidak ada yang ngebal-ngebel, karena menjaga dan menghormati orang lain agar tidak panik. Ya harus menunggu, karena kondisi lebar jalan hanya segitu,” katanya.
Tidak hanya menghormati sesama manusia. Jangankan manusia sakit, anjing sakit pun disediakan ambulans khusus untuk diberikan perawatan medis secara gratis. Selain itu, nilai toleransi di Bali sangat diperhatikan. “Misalnya Sholat Jum’at saat berbarengan Hari Nyepi, tapi harus meminta rekomendasi atau izin sholat Jum’at, orang islam bisa menjalankan ibadah ke masjid,” katanya.
Bali, kata dia, menjadi kota yang sibuk. Sewa tanah untuk tempat tinggal di daerah Denpasar, per–100 meter per-segi Rp 5 juta per tahun. Lama sewa antara Rp 5 tahun hingga 10 tahun. Sedangkan untuk tempat bisnis atau toko di daerah Denpasar, ruangan kios kecil 4 x 5 meter per-segi rata-rata paling murah Rp 20 juta per tahun.
“Biasanya paling banyak sewanya 5 tahun sekaligus. Karena kalau hanya sebentar, ya rugi. Para perantau di Bali paling banyak berada di Denpasar karena strategis, mau ke mana-mana dekat,” katanya.
Aturan ketat diberlakukan bagi orang asing. Tidak hanya wisatawan asing, tetapi juga investor asing tidak bisa membeli lahan tanah di Bali. “Mereka kalau mau investasi di Bali harus mengontrak. Tidak boleh membeli tanah,” katanya.
Tetapi rupanya orang asing tidak kurang akal. Mereka tetap saja berusaha membeli tanah dengan cara menggandeng orang lokal. “Pembelian tanah dilakukan menggunakan orang lokal, sehingga sertifikat tanah menggunakan atasnama orang lokal dengan perjanjian tertentu di bawah tangan,” katanya. (*)
editor : ricky fitriyanto