SEMARANG – Pembangunan di sejumlah daerah Jateng terbilang pesat belakangan ini. Meski positif, pembangunan juga berdampak pada penyempitan lahan. Ketersediaan lahan subur justru menjadi masalah dalam mewujudkan pangan.
Wakil Gubernur Jateng, Heru Sudjatmoko menjelaskan, menjelaskan, penyempitan lahan produktif karena alih fungsi lahan untuk perumahan atau industri yang tak terkendali dikhawatirkan memengaruhi produksi pangan. Masalah ketahanan pangan yang perlu segera disikapi adalah ketersediaan lahan subur yang setiap tahun semakin berkurang. Penyempitan lahan itu sebagai dampak alih fungsi lahan untuk perumahan maupun pengembangan industri.
“Yang selama ini mengurangi lahan pertanian tidak hanya industri saja tapi juga pemukiman baik itu real estate maupun pemukiman individual. Karena kalau semakin kaya orang kepinginnya bangun rumah yang gedhe-gedhe,” ucapnya, Kamis (22/11/2017).
Mantan Bupati Purbalingga ini mengusulkan adanya regulasi pembatasan bangunan untuk mengatasi penyempitan lahan pertanian. Menurutnya pembatasan bangunan tersebut sudah dilakukan di negara Vietnam. “Katakanlah kalau bangunan keluarga luasnya 100 m2 kalau lebih dari itu harus bertingkat. Ini supaya lahan pertaniannya tidak terkurangi terlalu cepat,” ujarnya.
Di samping masalah lahan pertanian, sumber daya manusia (SDM) di sektor pertanian juga harus diperhatikan. Pasalnya, saat ini banyak generasi muda yang tidak ingin berprofesi sebagai petani. Mereka beranggapan kesejahteraan petani sangat kecil, sehingga lebih cenderung memilih bekerja sebagai karyawan maupun PNS agar kesejahteraan mereka dapat terangkat.
Berkurangnya minat anak-anak muda pada sektor pertanian bisa berpengaruh terhadap kedaulatan pangan. Kondisi seperti itu harus dihindari dengan peningkatan kesejahteraan petani melalui pemberian bantuan bibit unggul, alsintan lebih modern, dan pendampingan secara terus-menerus.
“Pangan punya posisi strategis. Kalau sampai kebutuhan pangan kita, konsumsi bahan pangan kita lebih banyak bergantung pada luar, kita akan semakin lemah,” tuturnya.
Tak hanya untuk lahan pertanian, lahan terbuka juga terus dihimpit pembangunan. Kepala Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air dan Penataan Ruang (Pusdataru) Jateng, Prasetyo Budie Yuwono menjelaskan, tidak ada salahnya lahan hijau dibuka demi kemajuan pembangunan. Hanya saja, perlu dibuat retensi atau embung sebagai pengganti serapan air. “Kalau lahan hijau dibuka tapi tidak ada pengganti wilayah resapan air, ya daerah bawahnya bakal terus berpotensi terjadi bencana banjir,” ucapnya.
Di areal perumahan Bukit Semarang Baru (BSB) memang sudah ada satu kolam retensi. Tapi itu sangat kurang mengingat luas lahan hijau yang digunduli sangat besar. Menurut Prasetyo, ada rumus mengenai besaran dan jumlah kolam retnsi untuk menggantikan wilayah resapan. “Sejak rencana pembangunan BSB, saya sudah meminta memnuat tiga kolam retensi. Tapi realisasinya hanya satu. Kan sudah ada hitung-hitungannya,” terangnya.
Di lain pihak, Kepala Pelaksana Harian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jateng, Sarwa Pramana berharap ada komitmen dari kepala daerah dan kalangan DPRD untuk lebih teliti dalam melakukan percepatan pembangunan. Perlu ada integrasi perencanaan pembangunan, terutama terkait konsukuensi penetapan dan pengadaan tata ruang. “Jangan sampai ada alih fungsi lahan. Dari kawasan hijau menjadi perumahan atau lahan industri,” tegasnya.
Dijelaskan, BPBD Jateng bisa dilibatkan dalam pembuatan rencana tata ruang. Pihaknya bisa memberi kontribusi saat penyusunan RTRW, terutama maping daerah rawan longsor, banjir, hingga tsunami. “Kami sadar betul Jateng ini punya ancaman risiko tinggi bencana alam. Semoga wali kota dan bupati punya komitmen bersama mengalokasikan anggaran untuk mitigasi, bukan kedaruratan,” harapnya. (ajie mh)
Editor: Ismu Puruhito