in

31 Pelajaran dari Lockdown

Lebih banyak hal yang perlu kamu persiapkan #setelah COVID-19 selesai.

(Credit: Sam Hojati, Unsplash)

Berikut ini, pelajaran yang bisa saya dapatkan selama lockdown.

Update informasi itu penting, tetapi memfilter informasi yang valid itu lebih penting. Apakah sumber informasi kamu terpercaya? Apakah kamu punya daftar untuk memeriksa validitas informasi?

“Aman” dan “merasa aman” itu berbeda. “Aman” membutuhkan pengujian, “merasa aman” hanya perlu mengabaikan kenyataan dan menipu diri-sendiri. Mengatakan COVID-19 tidak ada, tanpa ada pembuktian, hanya akan mempermalukan diri-sendiri. Lain kali, berpikirlah secara ilmiah, jangan menggunakan prasangka, apalagi sedikit-sedikit dengan teori konspirasi.

Masalah kesehatan tidak bisa kamu selesaikan dengan agama. Selesaikan virus dengan cara kesehatan. Agama, apapun masalahnya, merasa memiliki obat dan selalu bilang, “Semua ini sudah ada dalam ajaran agama saya,” namun terlambat dan tidak menyelesaikan masalah. Agama paling pintar bikin klasifikasi, namun orang sakit tetaplah orang sakit.

Orang Tanpa Gejala (OTG) jarang menyadari tindakannya sendiri. Sekalipun orang sakit tidak harus cerdas, setidaknya orang sakit perlu menyadari bahwa ada orang lain yang bisa tertular. Termasuk omogan buruk, perlu disadari, agar tidak menular secara sosial.

Belajarlah dari novel La Peste. Yang paling optimis bisa mengatasi masalah ketika wabah datang dalam novel itu para politikus. Hanya demi mendapatkan dukungan. Mereka bisa atasi kemiskinan, kesehatan, dll. hanya ketika mereka butuh dukungan. Ketika wabah terjadi, dalam novel itu, pengetahuan akhirnya hanya membuat klasifikasi dan menyortir, mana yang sakit, mana yang tidak, kemudian dipisahkan. Jangan heran kalau partai politik turun paling belakang dengan memasang baliho. Ikut peduli hanyalah kata-kata, jika tidak ada tindakan berarti. Untuk apa bilang, “Semua ini ujian dan takdir dari Allah” tanpa memberikan perubahan berarti?

Pengacau dan perusuh tidak menunggu COVID-19 ada atau tidak. Mereka memiliki tenaga Iblis. Mereka memiliki bahan bakar yang terbuat dari hoax, menyulut emosi, dan memanfaatkan situasi.

Kalau kamu ingin dunia membaik, energi kamu harus lebih besar dan jangan kenal-lelah. Kalau kamu bekerja untuk kemanusiaan, jangan kenal lelah. Bahu-membahu sebisa mungkin.

Waktu-berkualitas bersama keluarga ternyata sangat kita idamkan.

Selamat datang 5G. Aktivitas online meningkat. Perangkat baru, tetap jalan. Orang lebih banyak di rumah saja sambil menonton film, media sosial, dan mulai bekerja dari rumah. Remote working menjadi sesuatu yang harus dikuasai semua orang.

Statistik kesehatan adalah statistik baru. Pembaruan data di mana-mana. Data kesehatan, data sosial, data bantuan (walaupun tidak semuanya bantuan untuk COVID-19) menuntut 1 hal: pembaruan data.

Lebih banyak orang menyelamatkan diri daripada berbagi. Masih banyak yang bilang, “Semoga kita tidak..”, “Untungnya bukan saya..”. Sekalipun ada pelajaran dari penyakit dan kematian meningkat, masih begitu banyak orang egois.

Ideologi, agama, filsafat, semua kembali kepada tubuh yang sehat. Karena memang intinya adalah tubuh yang sehat. Foucault menganggap tubuh manusia sebagai nol kilometer dunia. Orang beragama, demi keselamatan fisik (agar enak di surga, tidak tersiksa di neraka). Orang memilih bekerja demi kesenangan fisik. Berlaku sopan, berdoa, dll. semua demi kebutuhan awal yang paling dasar: keselamatan dan kesehatan fisik.

Meditasi, yoga, hidup sehat, bisa membuat hidupmu menjadi lebih baik.

Kamu tidak bisa melihat gelombang-otak orang yang stress. Kamu tidak bisa merasakan kesedihan orang lain. Kamu tidak bisa melihat peperangan yang dialami orang lain. Itu sebabnya, bersikap baiklah kepada semua orang.

Hidup bisa berubah hanya jika kamu menginginkan dan melakukan perubahan itu bersama. Dengan tetangga, rekan kerja, kenalan, dll. Semua orang menyembunyikan peperangan yang tidak ingin mereka perlihatkan kepada orang lain.

Bentuk kebiasan, rutinitas, dan ritual, yang lebih baik. Siap menghadapi hidup setelah pola dan cara hidup berubah, setelah COVID-19 nanti lenyap, justru lebih sulit daripada sekarang. Sebagai manusia, yang terkuat adalah yang paling bisa beradaptasi.

Komputer dan artificial intelligence (kecerdasan buatan) tidak punya otonomi untuk memperbaiki diri. Manusia bisa. Namun banyak wilayah kehidupan manusia yang sudah dikendalikan komputer dan artificial intelligence: komunikasi telepon, searching google, pendataan, update informasi, dll. Namun peran manusia memberikan pilihan dan kebijakan.

Separah apapun suatu keadaan, bahkan jika ada serangan meteor dari angkasa, kita bergantung pertama kali kepada keputusan para penguasa. Jangan pernah memilih orang yang salah sebagai pemimpin.

Yang kamu butuhkan sering tidak sama dengan yang kamu inginkan. Kamu ingin nongkrong tetapi secara sosial kamu harus di rumah saja.

Membelanjakan uang untuk pengalaman (misalnya: berlangganan Netflix atau ikut kursus online) lebih membuatmu tenang daripada membelanjakan uang untuk barang dan materi. Jangan terlalu terpikat pada kepemilikan produk dan materi.

Yang harus siap belajar dari rumah bukan hanya siswa tetapi juga orang tua. Yang harus siap menerima anggota keluarga yang bekerja dari rumah (work from home) adalah orang-orang di sekitarnya.

Memang kamu punya banyak teman, tetapi kamu tidak bisa mengunjungi mereka semau kamu lagi. Syarat dan ketentuan berlaku.

Tidak ada yang permanen. Tidak ada yang bertahan selamanya. Termasuk mereka yang meninggal dunia. Termasuk COVID-19.

Masa depan tidak bisa kamu kendalikan. Masa depan hanya pinjaman dari anak-cucu kita nanti. Yang bisa kamu kendalikan hanyalah tindakan kamu sendiri.

Simpul semangat komunitas, lebih kuat. Ikut peduli. Charity. Sumbangan mengalir. Mari kita bahas dari jauh.

Emisi karbon berkurang. Pemakaian listrik tidak berkurang.

Alternatif pekerjaan baru, banyak ditemukan. Kursus jarak jauh. Pementasan dan jumpa penggemar melalui YouTube streaming.

Akses pengetahuan dari rumah. Orang tua paling terlambat. Anak-anak paling siap.

Tidur nyenyak, bagian dari “me time” dan waktu-berkualitas.

Kebiasaan bekerja berubah. Bisa refleksi. Pola hubungan meningkat. Perubahan pola pikir, pola hidup, dan restrukturisasi hubungan. Lebih banyak menonton film, YouTube, menikmati musik, dan bersepeda.

Kecerdasan kinestetik, visual, audio, menjadi terhambat karena sistem belajar dari rumah. Praktek langsung itu penting.

Melihat 31 hal di atas, saya percaya, kita tidak akan kembali ke “normal” yang dulu lagi. [dm]