in

Pedagang Kue Keranjang Semarang, Menjaga Warisan Leluhur Tak Sekadar Cari Untung

Setiap menjelang Imlek, kue keranjang banyak dijual di kawasan Pecinan Semarang.

Pedagang kue keranjang di Pecinan Semarang usia menata dagangannya. (baihaqi/jatengtoday.com)

SEMARANG (jatengtoday.com) — Tidak semua pedagang hanya berorientasi mencari keuntungan. Di kawasan Pecinan Semarang ada beberapa pedagang yang menjual kue keranjang sebagai upaya menjaga warisan budaya leluhur dalam bentuk makanan.

Kue keranjang memang bukan sekadar kue. Ia memiliki filosofi tersendiri. Kue keranjang atau disebut juga Nian Gao ini merupakan kue tradisional khas Tionghoa.

Kue keranjang menjadi unsur kebudayaan yang selalu ada pada saat Tahun Baru China atau Hari Raya Imlek.

Jelang Imlek tahun 2022 ini, di kawasan Pecinan sudah banyak yang menjual kue keranjang. Penjualan kue ini memang musiman. Mereka hanya berjualan saat mendekati Imlek.

“Ini mulai jualan (kue keranjang) lagi, baru sekitar seminggu. Kalau biasanya ya jual (kue) nopia sama jajan-jajanan,” cerita salah satu pedagang di Jalan Wotgancul Timur, Pecinan, Siu, Rabu (19/1/2022).

Dia belum bisa memprediksi apakah penjualan kue keranjang tahun ini laku banyak atau tidak. Sejak pandemi, pendapatannya mengalami penurunan. Namun nyatanya itu tidak membuatnya berhenti berdagang.

Siu berjualan kue keranjang tidak sebatas untuk mencari untung, melainkan juga sebagai bentuk penghidupan budaya. “Itu kan makanan warisan Leluhur, kalau Imlek disarankan makan yang manis-manis kaya ini,” ujar Siu.

Kulakan dari Luar Kota

Rata-rata kue keranjang yang dipasarkan di kawasan Pecinan adalah hasil kulakan dari luar kota. Menurut Siu, saat ini di Kota Semarang sudah sangat jarang yang mau membuat kue keranjang.

Kue keranjang yang dijual Siu merupakan buatan pabrik di Pekalongan. Di Pecinan ada yang kulakan dalam jumlah besar, kemudian pedagang kecil sepertinya akan disuplai sesuai permintaan.

Yanti, pedagang kue keranjang lain di Pasar Tradisional Gang Baru, Pecinan Semarang juga mengaku hanya kulakan. Dia bersama keluarganya sudah puluhan tahun berjualan kue keranjang jelang Imlek.

Dulu, katanya, orang tua Yanti pernah memproduksi sendiri. Namun, setelah orang tuanya meninggal tidak lagi membuat kue keranjang. “Ribet, nggak bisa mbuat saya,” tutur Yanti.

Harga kue keranjang ini beragam, tergantung jenis dan mereknya. Kue paling banyak terjual adalah hasil buatan pabrik yang dibungkus plastik. Biasanya satu kilogram berisi empat buah seharga Rp25.000–Rp30.000.

“Kalau kue keranjang yang tradisional, dibungkus daun pisang. Rasanya itu beda, harganya juga lebih mahal daripada yang dibungkus plastik,” jelas Yanti.

Akulturasi Budaya

Keberadaan kue keranjang di Indonesia menjadi sebuah bentuk akulturasi budaya. Penganan tradisional khas China ini masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya kebudayaan serta masyarakat Tionghoa.

Klaudia Roseline dkk dalam “Indonesian Nian Gao Acculturation, Modernization, and Processing menyebutkan, kue ini memiliki makna kerukunan atau keeratan hubungan antarkeluarga yang terdapat pada saat Hari Raya Imlek.

Sejak berabad-abad lalu, masyarakat Tionghoa bermigrasi ke negara-negara di Asia Tenggara, termasuk ke Indonesia. Dalam arus migrasi terjadi akulturasi yang dibawa oleh masyarakat Tionghoa terhadap masyarakat Indonesia, salah satunya adalah makanan.

Dalam budaya Tionghoa, makanan persembahan untuk sembahyang kerap menggunakan makanan manis yang dibuat dengan bahan dasar tepung ketan seperti kue keranjang.

Dalam “The Straits Chinese: A Cultural History, disebut kue keranjang karena kudapan ini dimasak dalam cetakan dari anyaman bambu berbentuk seperti keranjang atau bakul.

Sampai saat ini kue keranjang masih dipakai sebagai makanan persembahan pada sembahyang Imlek. Dalam kepercayaan Tionghoa, kue ini sebagai bentuk persembahan kepada Dewa Dapur.

Menurut budayawan Tionghoa Semarang, Jongkie Tio, kue keranjang memiliki filosofi. Rasa manisnya dimaksudkan agar berpikiran baik dan bicara yang manis. Bentuknya yang bulat dan lengket menjadi simbol kesatuan. (*)

editor : tri wuryono