SEMARANG (jatengtoday.com) – Paguyuban Bina Warga Bugangan yang menaungi para pedagang kaki lima (PKL) di sepanjang bantaran Sungai Banjir Kanal Timur (BKT) merasa kecewa berat atas pembongkaran paksa terhadap 95 kios milik pedagang.
Pasalnya, pembongkaran kios tersebut dianggap tidak diikuti dengan solusi yang bisa diterima para pedagang. Bahkan hingga saat ini, sejumlah pedagang di kawasan Bugangan mengaku belum menerima kios relokasi di kawasan Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT).
Penjelasan yang disampaikan para pejabat Pemkot Semarang, terutama Dinas Perdagangan Kota Semarang juga dinilai tidak sesuai dengan fakta di lapangan.
“Sehari sebelumnya, kami baru menerima surat pemberitahuan. Itupun disampaikan oleh salah satu polisi yang dipercaya sebagai penghubung. Dia menjelaskan bahwa tanggal 26-27 Agustus 2019 akan ada action (pembongkaran kios) dari Dinas Perdagangan dan Satpol PP,” ungkap Paguyuban Bina Warga Bugangan, Soelaiman (72), ditemui jatengtoday.com, Selasa (27/8/2019).
Dikatakannya, anggota polisi tersebut juga meminta agar para pedagang tidak melibatkan pihak ketiga supaya tidak terjadi gesekan massa. Maka terjadilah perundingan antara anggota polisi tersebut dengan pihaknya. “Kami setuju. Tapi kami meminta agar yang dibongkar adalah kios kosong saja. Sedangkan kios yang masih dihuni agar diberikan waktu untuk pembongkaran sendiri. Ternyata yang terjadi di lapangan berbeda, ratusan Satpol PP seolah-olah ‘mabuk’, mereka membongkar paksa semua bangunan kios dengan melibatkan alat berat,” bebernya.
Soelaiman mengaku kecewa berat terhadap para pejabat Pemkot Semarang, terutama pejabat Dinas Perdagangan Kota Semarang. “Kami menilai pejabat Dinas Perdagangan Kota Semarang ini bicaranya tidak bisa dipegang. Rapat sebelumnya, Pak Nur Kholis (Kepala Bidang Pengembangan Sarana dan Prasarana Dinas Perdagangan Kota Semarang), bilang bahwa pedagang Bugangan akan mendapatkan tempat di MAJT. Saat itu, dia setuju dengan ukuran sesuai luas kios milik pedagang di sini. Namun pada rapat selanjutnya, Pak Nur Kholis menyatakan tidak pernah ngomong seperti itu. Dia bilang sudah dibangunkan kios di MAJT, tapi tidak sesuai ukuran yang diharapkan pedagang,” ujarnya.
Tidak hanya itu, lanjut dia, pada rapat koordinasi sebelumnya ketika Kepala Dinas Perdagangan Kota Semarang masih dijabat oleh Fajar Purwoto, para pedagang dibuat lebih tenang. “Beliau menjelaskan bahwa pedagang nantinya tinggal terima kunci dan masuk kios. Namun setelah Pak Fajar dipindah menjadi Kepala Satpol PP justru ‘mabuk’. Faktanya tidak sesuai dengan apa yang diomongkan sebelumnya. Ini kan nggak bener,” bebernya jengkel.
Kepala Dinas Perdagangan, Fravarta Sadman, cenderung tidak mau tahu dan menyatakan bahwa semua bangunan harus dibongkar. “Pembongkaran kali ini, sehari sebelumnya kami baru menerima surat pemberitahuan. Mestinya kami diundang. Keesokan hari langsung dibongkar paksa. Bahkan pos fasilitas umum dibongkar. Apa itu tidak sewenang-sewenang?” ujarnya.
Dia menjelaskan, pembicaraan mengenai relokasi tersebut sebetulnya telah berlangsung lama. Namun belum menemukan titik kesepakatan yang bisa diterima kedua belah pihak, yakni pedagang dan Dinas Perdagangan. Totalnya ada 95 pedagang. Secara rinci, PKL Bugangan berjumlah 36 pedagang dan Rejosari sebanyak 57 pedagang.
“Kios di MAJT saat ini berukuran 4×5 meter persegi. Itu tidak sesuai dengan ukuran yang dimiliki pedagang sekarang ini. Bukannya kami protes, tapi ukuran itu tidak sesuai dengan perjanjian awal. Di MAJT totalnya ada 104 unit kios. Celakanya, sebagian besar telah ditempati oleh PKL dari Rejosari. PKL Rejosari ini minta luasan kios sesuai luasan awal. Sisa kios yang masih kosong saat ini hanya sembilan kios. Itu rencananya untuk PKL Bugangan. Lha terus pedagang lainnya bagaimana?” katanya.
Permasalahan kekurangan kios tersebut, lanjut dia, telah dibicarakan dan dicarikan solusi. Saat itu juga disaksikan Plt Sekda Agus Riyanto. “Kesepakatan saat itu, akan dibangunkan kios lagi untuk PKL Bugangan. Pak Sekda Agus Riyanto setuju. Beliau bilang kalau nanti biayanya kurang, bisa minta ke Sekda. Tapi setelah Pak Agus Riyanto diganti, kenyataannya berbeda,” tegasnya.
Soelaiman juga menjelaskan, keberadaan para pelaku usaha di kawasan tersebut sebetulnya tidak tepat bila disebut Pedagang Kaki Lima (PKL). Sebab, mereka memproduksi barang dengan berbagai inovasi. Terutama produksi aneka ragam peralatan rumah tangga seperti oven, dandang, dan lain sebagainya. Itu sudah berlangsung puluhan tahun silam.
“Pedagang di sini merupakan home industry yang memproduksi berbagai kerajinan peralatan rumah tangga. Setelah zaman berkembang, kompor minyak diserang kompor gas, ember seng diserang ember plastik, maka pada akhirnya para pedagang berupaya memproduksi peralatan lain seperti oven, dandang dan lain-lain,” katanya.
Para pelaku usaha terus berpikir untuk memproduksi barang sesuai kebutuhan masyarakat.
Lebih lanjut, keberadaan home industry di kawasan Bugangan tersebut mulai tumbuh pada 1980 silam. Saat itu, ditinjau oleh Wakil Presiden RI yang ketiga, Adam Malik, pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. “Pada waktu itu ditinjau, setiap pedagang diberikan modal sebesar 100 perak. Ini harus dikembangkan. Hingga saat ini home industry ini bisa bertahan. Setiap home industry setidaknya bisa menyerap tenaga kerja antara empat hingga tujuh pekerja,” katanya.
Selanjutnya, pada masa pemerintahan Wali Kota Sukawi Sutarip lain lagi. Saat itu, ada rencana penataan PKL di sepanjang kawasan Barito. “Tanggul Sungai Banjir Kanal Timur akan dibangun jalan yang bagus. Bangunan kios PKL akan diseragamkan. Tetapi hal itu belum terealisasi. Sebetulnya itu bisa diterima para pedagang. Yang membuat pedagang bingung karena kebijakan wali kota berikutnya selalu berubah-ubah,” katanya.
Soelaiman menceritakan, pada masa pemerintahan Wali Kota Hendrar Prihadi berbeda lagi. “Yang diutamakan taman, tapi rakyatnya (pedagang Bugangan) tidak makan. Kalau kebijakannya seperti ini kan repot to. Ini akibat dari kebijakan pejabat yang tidak berpihak kepada rakyat kecil,” ungkapnya.
Dia menegaskan, tidak ada satupun pedagang yang menolak normalisasi Sungai BKT. “Yang menjadi masalah adalah pemindahan pedagang yang tidak diikuti solusi terbaik. Bangunan kios lama dibongkar paksa, sedangkan kios baru belum tersedia. Ini kan bikin repot. Pejabat Dinas Perdagangan ini kurang bijaksana, apa yang disampaikan tidak sesuai kenyataan,” terangnya lagi.
Dikatakannya, home industry di kawasan Barito selama ini berkembang tanpa bantuan modal dari pemerintah daerah setempat. “Kami bisa seperti ini sebetulnya punya ‘bapak angkat’ (investor yang membantu permodalan) agar bisnis bisa berkembang lebih maju. Kami berjalan jujur dalam hubungan usaha. Selama ini usaha kami tidak pernah mendapat bantuan dari pemerintah. Tapi kalau sekarang hendak dimatikan ya harus bagaimana?”
Soelaiman mewakili aspirasi pedagang yang lain menyampaikan, bahwa permintaan pedagang sebetulnya sederhana, yakni apa yang telah dibicarakan dan dijanjikan dalam rapat, sesuai dengan persetujuan pedagang, harus ditepati. “Kami tidak melawan, kami tidak menolak, tapi tolong janji yang sudah disampaikan ditepati! Itu saja,” tegasnya. (*)
editor : ricky fitriyanto