in

Para Pembantu Rumah Tangga Merasa Jadi Tumbal Pembangunan

Sejumlah pekerja rumah tangga (PRT) di Kota Semarang melakukan aksi damai di depan Gedung Gubernur Jawa Tengah Jalan Pahlawan Semarang, Selasa (14/12/2021). Mereka menuntut Rancangan Undan-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) agar segera disahkan. (abdul mughis/jatengtoday.com)

SEMARANG (jatengtoday.com) – Puluhan perempuan yang tergabung dalam Persatuan Pekerja Rumah Tangga (PRT) Sarinah Jaringan Jawa Tengah merasa aspirasinya selama ini diabaikan oleh wakil rakyat. Pasalnya, Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PRT) telah masuk ke badan legislasi nasional sejak tahun 2004 silam hingga sekarang tidak kunjung disahkan.

Dampaknya, PRT yang didominasi kaum perempuan menjadi kelompok rentan yang dikorbankan. Berbagai kasus kekerasan, pelecehan seksual, hingga upah rendah, terus berlangsung dan terjadi pembiaran. Para pekerja rumah tangga itu seperti menjadi tumbal pembangunan.

Mereka melakukan aksi untuk menyampaikan aspirasi di depan Gedung Gubernur Jawa Tengah Jalan Pahlawan Semarang, Selasa (14/12/2021).  Mereka membentangkan berbagai poster bertuliskan sejumlah tuntutan, seperti “Pimpinan DPR RI Fraksi Golkar dan Fraksi PDIP Mengaku Partai Wong Cilik, Tapi Jegal RUU PPRT Yang Jelas Untuk Wong Cilik”, dan lain-lain.

Mereka juga menggambarkan dengan aksi teaterikal dalam kondisi kaki dirantai yang mengekspresikan bahwa kondisi para perempuan PRT tersebut menderita akibat tidak ada perlindungan dari pemerintah.

Koordinator aksi, Nur Khasanah mengatakan, terhentinya proses legislasi RUU PPRT ini menunjukkan bahwa Pimpinan DPR RI, mendudukkan sebagai agen perbudakan modern. Sebab, mereka membiarkan situasi kerja yang tidak layak dan berbagai bentuk kekerasan terhadap sekitar 4,2 juta PRT di Indonesia.

“Mayoritas atau 84 persen adalah perempuan, 28 persen anak. Kasus terus berlangsung secara sistematis,” ujarnya.

Lebih lanjut, kata dia, Provinsi Jawa Tengah sendiri merupakan urutan ketiga jumlah PRT terbesar 630.000 (data ILO 2015) setelah Jawa Timur dan akan terus meningkat. Kasus kekerasan terhadap PRT yang dicatat oleh JALA PRT hingga November 2021 ini sejumlah 581 kasus.

“Belum lagi kasus yang tidak terlaporkan. Hal tersebut sangat bertentangan dengan slogan yang digaungkan pimpinan DPR selama ini, yakni untuk selalu memberikan perlindungan terhadap semua pihak termasuk perempuan dan tidak meninggalkan siapapun dalam pembangunan,” katanya.

Justru sebaliknya, masih kata Nur, sikap tindakan Pimpinan DPR dari Fraksi PDIP dan Fraksi Parta Golkar justru membiarkan kaum perempuan yang bekerja menjadi PRT menjadi pihak yang selalu dikorbankan dalam pembangunan.

“Maka dari itu, PRT Sarinah Jaringan Jawa Tengah menuntut agar DPR segera mengagendakan pembahasan RUU PRT sebagai hasil pleno Baleg. Sidang itu harus segera dibahas dalam paripurna dalam waktu dekat ini,” tegasnya.

Sejak pertama kali diusulkan pada tahun 2004, atau selama 17 tahun, Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) selalu masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

“Dalam tiga tahun terakhir, RUU PPRT mengalami kemajuan dan masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2020, 2021 dan 2022,”  bebernya.

Selama kurun waktu tersebut, draft RUU PPRT telah berulang kali mengalami revisi hingga akhirnya dapat diterima berbagai pihak, termasuk sejumlah fraksi yang semula menolak atau keberatan dengan sejumlah pasal dalam draft RUU PPRT.  Pada 1 Juli 2020 Badan Legislasi (Baleg) DPR sepakat mengusulkan RUU PPRT menjadi inisiatif DPR dan telah dipaparkan di rapat Badan Musyawarah (Bamus) pada tanggal 15 Juli 2020.

“Sayangnya, tidak seperti usulan legislasi yang lain, RUU PPRT tidak pernah dijadwalkan menjadi agenda untuk dibahas di Sidang Paripurna. Hal ini terjadi selama satu setengah tahun ini,” ujarnya.

Menurutnya, perlakuan diskriminatif terhadap usulan Baleg ini menunjukkan adanya ketidakberpihakan dari pimpinan DPR terhadap aspirasi rakyat kecil. Bahkan, Nur mengindikasikan adanya pelanggaran kode etik DPR seperti diatur UU nomor 42 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) terkait tugas Pimpinan DPR.

Dalam pasal 86 ayat (1) UU MD3 disebutkan Tugas Pimpinan DPR adalah memimpin Sidang DPR dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan. Sedangkan ayat (2) menyebutkan Pimpinan DPR menyusun rencana kerja; melakukan koordinasi dalam upaya menyinergikan pelaksanaan agenda dan materi kegiatan dari alat kelengkapan DPR.

“Dugaan pelanggaran etik ini kemudian berdampak kepada potensi pelanggaran Pasal 81 huruf e UU MD3 yang menyatakan anggota DPR berkewajiban “memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat” dan Pasal 81 huruf f  UU MD3 yang menyatakan Anggota DPR berkewajiban “mentaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara”,” beber dia.

Amanat-amanat tersebut yang tengah dicoba dipenuhi oleh para pengusul RUU PPRT di Baleg dalam kapasitas perorangan maupun kelembagaan Baleg. “Kelalaian Pimpinan menjadi penghalang para anggota Baleg untuk melaksanakan kewajiban mereka sebagaimana Pasal 81 (f) UU MD3 di atas,” katanya. (*)