Setelah membelikan Android baru untuk anaknya, yang baru berumur 6 tahun, kawan saya berada dalam dilema.
Jika dia setting gmail ke “email untuk anak”, terjadi keributan. Fitur gmail untuk anak-anak, membatasi pemakaian Android, secara otomatis. Ada jeda sekitar 12 jam, sebelum ia bisa gunakan Android secara penuh.
Serangan dari 2 arah:
Anak menangis karena tidak bisa “bermain hape”, ditambah lagi, tugas dari guru tidak bisa diakses karena fitur pembatasan pemakaian tersebut.
Sedangkan jika email menggunakan umur dewasa, ini berarti kepalsuan (mengganti tahun kelahiran anak, agar bebas pakai Android) dan orang tua harus berani menerima kenyataan: akan ada banyak gangguan informasi. TikTok (yang bisa buka tanpa harus login), YouTube (sama, bisa tanpa login), dan content iklan yang bisa tiba-tiba datang.
Sebelum kejadian berlangsung, ini yang terjadi: Guru mewajibkan anak install email untuk anak dan orang tua tidak terlalu tahu caranya.
Ketika guru bertanya, “Mana tugasmu?”, anak dan orang tua tidak berdaya berhadapan dengan pembatasan waktu yang diterapkan Google, secara default.
Ada 3 pembelajaran yang kita dapatkan dari cerita di atas.
Pertama, beli Android itu tidak semurah yang dibayangkan orang tua, karena harus beli paket data (yang tidak murah) atau berlangganan WiFi.
Eh, maaf. Bukan itu yang pertama, karena kita semua sudah tahu.
Yang pertama, yang harus siap dalam homeschooling adalah orang tua. Bukan anak. Kalau orang tua tidak melek digital, atau bersikukuh tidak mau belajar, maka yang mereka biarkan adalah pembelajaran bagi anak di rumah. Ada COVID-19 atau tidak, bentuk “belajar di rumah” akan menjadi kebiasaan siswa. Sama seperti bekerja dari rumah. Orang di sekitar kita, yang perlu siap melihat orang lain bekerja dari rumah. Mereka punya jam kerja, punya target, dan punya waktu yang harus optimal. Itu sebabnya mereka “harus” bekerja dari rumah.
Pertanyaan mendasar untuk orang tua dan guru:
Apakah Anda tahu resiko melakukan pembatasan pemakaian Android dari Google? Tentu saja, Google sudah memberitahukan cara memakai family link.
Melihat seberapa lama pemakaian aplikasi Tiktok (misalnya), membatasi dengan pewaktu (timer) pemakaian aplikasi, memfilter content, dll. Apakah secara khusus, orang tua dan guru pernah membicarakan masalah ini bersama demi anak dan siswa?
Apakah anak “terbebas” dari iklan?
Hanya 4-15 detik, tetapi, itu berarti. Perhatian tersita. Salah kilk, akibatnya merepotkan.
Banyak iklan tertanam di video YouTube, TikTok, browser Google Chrome (anehnya, browser jarang dipakai orang tua untuk belajar), dan aplikasi bawaan Android (tergantung merk apa).
Secara teknis, Anda tidak bisa terbebas dari iklan sepenuhnya. Kecuali Android kita root, atau tanam aplikasi untuk memblokir iklan, atau berlangganan aplikasi versi premium. Rooting itu tidak mudah. Ada resiko kehilangan garansi dan belum tentu berhasil. Tanam aplikasi semacam AdGuard, juga tidak mudah jika tanpa langkah-langkah teknis. Sedangkan berlangganan aplikasi premium, misalnya YouTube Premium, berarti bayar lebih dan tidak jaminan “bebas-dari-iklan”. Hanya lebih jarang melihat iklan. Kalau misalnya mau pakai YouTube Vanced dan MicroG yang versi mods, alias bajakan, prosesnya lebih mudah namun berarti menggunakan aplikasi bajakan. Tidak mungkin sekolah menjadikan cara ini sebagai “official”.
Jadi, memang itulah dilema yang kita hadapi. Pilih bersih sekaligus bukan pembajak, prosesnya tidak mudah. Tidak semua orang tua bisa jalankan tutorial.
Kedua, orang tua dan guru lebih suka menyerahkan masalah kepada orang yang ia anggap bisa. Orang tua sudah beli Android untuk anak, beli paket data (dan top-up untuk main game) seminggu sekali, akan lebih ribet kalau harus belajar. Mereka lebih suka berkata, “Saya tidak mengerti hal begini. Anak saya lebih pintar. Tolong perbaiki setting Android ini..”. Kebanyakan seperti itu. Sebelum orang tua dan guru mengatakan kalimat yang hampir sama, sekadar reminder untuk kita bersama: anak-anak itu sedang belajar dan berada di bawah tanggung jawab orang tua dan guru. Yakinlah, skill itu bisa dipelajari. Luangkan waktu sejam, catat bila perlu, dan praktekkan, sebelum jarak pengetahuan terkait literasi digital antara Anda dan anak menjadi semakin lebar.
Anak sekarang belajar secara mobile (sambil terus bergerak). Kepintaran mereka bertambah setiap hari. Mereka tumbuh di tengah internet. Mereka melihat pilihan. Mereka percaya dunia ini bisa lebih menyenangkan dan tidak putus-asa pada masa depan. Mereka punya imajinasi dan fantasi. Mereka bisa memangkas sistem pembelajaran yang mahal (dari sisi jarak, waktu, maupun biaya). Mereka hidup dengan kecerdasan yang berlainan. Kecenderungan mereka mau seperti apa, sedang ditemani oleh Android. Anak dalam keadaan tidak bisa mengartikulasikan gagasan mereka sebagaimana orang tua. Mereka selalu kalah ketika orang tua atau guru menerapkan sanksi, karena orang tua pegang uang dan guru pegang nilai. Berdialog selalu lebih baik. Bukan dengan menerapkan peraturan sepihak.
Tidak bisa kita memaksakan versi “zaman dahulu” dengan zaman mereka sekarang. Suatu zaman tidak berhak mengadili zaman lain, apalagi demi kemalasan kolektif orang-tua dan guru untuk melek secara digital.
Seorang single mother, ibu yang merawat anaknya sendirian, bertanya kepada saya, “Apakah cara saya memperlakukan anak terkait pemakaian gadget sudah benar?”. Saya menjawab, “Tidak, Bu. Anda sudah pintar soal Android untuk anak. Hanya saja..”. Nah, bagian hanya saja ini agak panjang.
Hanya saja..
Sebaiknya Anda berduaan dengan anak, melihat dan bertanya apa yang sedang ia sukai. Mengapa game ini menarik? Mengapa TikTok membuat mereka bergerak dan menari? Mengapa ia harus menangis minta top-up? Mengapa ia bisa lebih betah berjam-jam menonton hape daripada mendengar Anda? Sekali lagi, kebersamaan dan dialog akan membuka misteri yang selama ini tak-terpecahkan. Anda sendiri yang paling tahu tentang anak Anda. Korbankan waktu bermain Facebook, chat WhatsApp, dan selfie, cobalah selami apa perilaku anak Anda. Saran yang sama, untuk para guru.
Jangan percaya apa kata media tentang keburukan suatu aplikasi, jika Anda tidak tahu apa-apa, tidak mengalami sendiri, seperti apa aplikasi itu.
Banyak orang bilang, TikTok itu alay, dan membenarkan itu, karena Beranda TikTok mereka berisi orang-orang alay dan iklan yang tidak mereka butuhkan. Sebanarnya, itu persoalan preferensi dan pengaturan. TikTok tempat paling ampuh untuk video call (jaringan stabil) dan inspirasi belajar. Tergantung cara kita mengatur. Facebook juga demikian. Preferensi (pengaturan kesukaan), mempengaruhi content yang tampil di Beranda.
Kelakuan seseorang ketika browsing di aplikasi, terlihat dari preferensi dan Beranda mereka.
Saya pernah dapat kiriman video dari kawan saya. Dia dan anaknya sedang memasak bersama. Seorang anak akan lebih menyukai ibunya, ketika ia tahu, bahwa ibunya lebih pintar dibandingkan video memasak yang ia tonton. Kedekatan lebih terjalin kalau suatu platform atau aplikasi bisa menjadi inspirasi belajar bersama.
Menonton bunga cantik itu bagus, tetapi menanam bersama lebih bagus.
Ketiga, teknologi tidak bisa dikendalikan dan tidak bisa diramalkan secara linier. Prediksi bisa salah. Itu sebabnya, jangan serahkan anak Anda kepada kesalahan memakai platform dan aplikasi.
Ajari anak untuk membuat sesuatu, mengerjakan sesuatu. Bukan sebatas menonton dan menjadi konsumen melulu. Tidak mungkin menciptakan anak atau siswa kreatif kalau orang tua dan guru masih enjoy menjadi penonton atau konsumen.
Seorang anak memiliki pertanyaan tajam kepada kawannya. Pertanyaan itu bukan “Apa pekerjaan orang tuamu?”, melainkan, “Apa yang dilakukan orang tuamu?”.
Ketika teknologi sudah menembus mimpi anak-anak, cara belajar mereka berubah, bahkan cita-cita mereka telah berubah, apa tindakan Anda?
Kata-kata tidak terlalu mengubah keadaan. Hanya tindakan yang bisa mengubah keadaan. Dan tindakan akan mengubah tindakan lain. [dm]