SEMARANG – Sedikitnya 700 pelaku usaha ritel selular tradisional channel dari lintas daerah berkumpul untuk mencari solusi agar penerapan pembayaran pajak antara ritel tradisional channel dengan modern channel (penjual pulsa berbasis aplikasi online, termasuk minimarket), bisa diberlakukan secara adil.
“Kami mewakili masyarakat (pelaku usaha ritel tradisional) yang menjadi satu kesatuan dalam mewujudkan kemakmuran bersama,” kata Penasihat Kesatuan Niaga Celular Indonesia (KNCI) Jateng-DIY, Joeniran, di sela acara Jambore Daerah IV Jadikopen’s, Komunitas Pedagang Selular Jateng – Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) di Hotel Citra Dewi Bandungan, Kabupaten Semarang, Minggu (10/12/2017).
Dijelaskannya, ada kurang lebih 700 pelaku usaha ritel tradisional channel dari Jawa Tengah-Daerah Istimewa Jogjakarta (DIY) dan sekitarnya. “Tetapi juga dihadiri anggota dari luar daerah seperti Kalimantan, Sulawesi, Jawa Barat hingga Aceh,” terangnya.
Pembahasan yang dibicarakan dalam konggres kali ini, kata dia, di antaranya persoalan aturan pembayaran pajak bagi ritel selular yang dinilai tidak adil. “Kami minta keadilan dari pemerintah. Kami berharap pajak tidak dihitung berdasarkan omzet. Karena margin keuntungan sebenarnya tidak ada 1 persen,” katanya.
Pihaknya menegaskan tidak menolak membayar pajak, justru para pelaku ritel selular tradisional channel mendukung dan menyukseskan pembayaran pajak. “Tetapi harus ada prinsip keadilan. Misalnya aturan pajak untuk ritel modern channel seperti di Buka Lapak, penukaran uang di money changer dihitung berdasarkan marginnya saja, bukan omzet diterima,” beber Joeniran atau akrab disapa Mbak Joe.
Misalnya kejadian di operator Tri (3), kata dia, sebetulnya berupa hadiah, tetapi dihitung ‘membeli’. “Padahal kami bekerja untuk mendapatkan hadiah, tapi dihitung ‘membeli’ dan masuk dalam kategori omzet. Sehingga ini tidak adil. Seharusnya, pajak dihitung berdasatkan margin, bukan omzet,” katanya.
Selain itu, pihaknya menyoroti mengenai kebijakan regulasi registrasi Kartu Perdana 1 NIK 1 KK dengan pembatasan maksimal 3 kartu perdana dengan batas akhir 28 Februari 2018 mendatang. “Kami mendukung registrasi kartu perdana tersebut, saat ini masih menunggu keputusan pemerintah agar kebijakan tersebut tidak ada pembatasan tiga kartu perdana,” katanya.
Komunitas pedagang selular di Kota Semarang, kata dia, sedikitnya beranggota 1.100 orang. Mereka menilai kebijakan tersebut akan mematikan usaha ritel celular kecil di level bawah. “Sebab, sejauh ini penjualan kartu perdana paket internet menjadi tulang punggung dalam industri ritel terutama pedagang kecil,” katanya.
Lebih lanjut, sejauh ini pihaknya mengaku telah melakukan audiensi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia terkait kebijakan tersebut. Menurut dia, sudah ada respon dari regulator tersebut saat dialog digelar seperti opsi unreg atau registrasi ulang bagi kartu seluler yang mati dan kebijakan kepemilikan kartu perdana lebih dari tiga dengan meregistrasi sendiri ke kantor operator telekomunikasi.
“Kami melihat ada kebijakan yang berat sebelah dengan memberikan perlakukan khusus kepada ritel modern seperti di minimarket maupun penjualan pulsa berbasis aplikasi,” katanya. (Abdul Mughis)
Editor: Ismu Puruhito