JAKARTA (jatengtoday.com) – Penyidik Sub Direktorat 3 Direktorat Reserse Narkoba (Ditresnarkoba) Polda Metro Jaya menggerebek sebuah rumah yang diduga dijadikan pabrik kosmetik ilegal di kawasan Jatijajar, Depok. Pabrik tersebut bisa menghasilkan omzet hingga Rp 200 juta per bulan.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Yusri Yunus mengatakan, kosmetik yang dibuat oleh para tersangka ini mengandung bahan berbahaya dan juga tidak mengantongi izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), “Kosmetik ini mengandung bahan berbahaya dan tidak ada izin edar dari BPOM RI,” kata di Yusri kepada wartawan di Polda Metro Jaya, Selasa (18/2/2020).
Dijelaskan Yusri, penyidik kepolisian menggerebek rumah yang dijadikan pabrik kosmetik itu pada Sabtu, 15 Februari sekitar pukul 14.00 WIB. Saat penggerebekan, polisi mengamankan lima orang yang berada di dalam rumah tersebut. Meski demikian hanya tiga orang yang ditetapkan sebagai tersangka, dua orang lainnya adalah asisten rumah tangga.
Tersangka pertama berinisial NK yang disebut-sebut sebagai lulusan jurusan kimia di salah satu perguruan tinggi negeri. “NK perempuan, perannya yang membeli bahan-bahan. Dia memang lulusan dari universitas terkenal di Jakarta dari fakultas kimia. Dia belajar dari situ, dia juga pernah pada 2002 atau 2005 kerja di salah satu perusahaan kosmetik resmi di Jakarta. Dari situ dia mulai belajar,” tutur Yusri.
Tersangka kedua berinisial MF laki-laki dan lulusan farmasi. MF bertugas meracik kosmetik. Tersangka terakhir berinisial S adalah kurir yang bertugas mengantar kosmetik itu. Kosmetik yang dibuat para tersangka ini ada berbagai jenis mulai dari toner, pembersih wajah dan lain-lain.
“Ini peredarannya setiap hari bahkan selama sebulan keuntungannya hampir Rp 200 juta,” kata Yusri.
Para tersangka ini menyebut modal awal yang mereka kumpulkan adalah Rp 10 juta per orang. Atas perbuatannya, para tersangka ini dijerat dengan Pasal 196 subsider Pasal 197 junto Pasal 106 UU 36/2009 tentang kesehatan dengan ancaman kurungan penjara maksimal selama 10 tahun dan denda Rp 1 miliar. (ant)
editor : tri wuryono