TEKNOLOGI semakin canggih. Perputaran mata uang dimonopoli perbankan. Disitulah, peluang kejahatan perbankan diam-diam mengancam. Ketika nasabah bank kerap tidak sadar bahwa uang sedikit demi sedikit hilang. Atau bahkan uang miliaran tiba-tiba raib melayang.
Berkali ulang, sejumlah nasabah menjadi korban pembobolan bank kemudian melaporkan ke pihak kepolisian. Namun polisi sendiri kerap kewalahan dan jarang mengungkap pelaku pembobolan bank.
Rupanya, kemampuan para pelaku kejahatan elit ini lebih gesit. Sehingga kerap lolos dari jangkauan polisi yang cenderung memiliki pengetahuan teknologi pas-pasan. Sebetulnya siapa saja yang kemungkinan bisa melakukan pembobolan rekening nasabah bank?
Direktur Indonesia e-Fraud Watch, Dr Solichul Huda, Mkom, menjelaskan bagaimana jejak pelaku kejahatan perbankan. Istilah perbankan disebut Fraud, yakni tindakan kriminal yang dilakukan dengan berbagai modus kecurangan untuk memperoleh keuntungan.
Orang dalam seperti oknum karyawan bank ternyata sangat rentan atau berpeluang untuk berperan dalam kasus fraud. Meski tidak menutup kemungkinan pelakunya adalah orang luar. Bisa juga pelakunya bekerjasama antara orang luar dan orang dalam bank.
Biasanya, Fraud terjadi karena melanggar Standard Operating Procedure (SOP) bank tersebut. “Di Semarang, Fraud pernah terjadi karena pemalsuan dokumen maupun pelanggaran SOP, terutama dalam aplikasi tabungan,” ungkap dia.
Pertama, kasus yang terjadi biasanya, nasabah secara tidak sadar memberikan kartu ATM ke pelaku atau orang yang baru dikenal. Artinya jelas, pelakunya adalah bukan orang perbankan. “Pelaku memanfaatkan psikologis, yakni keterkejutan nasabah. Ketikan nasabah terkejut, semua hal rahasia yang berhubungan dengan kartu akan diketahui pelaku tanpa sadar,” katanya.
Tetapi, menurutnya, ini juga menunjukkan bahwa ada kelemahan di sistem keamanan bank. Seharusnya, pihak bank mengadakan social awareness, yakni mendidik nasabah mengelola dan menjaga keamanan kartu ATM dari risiko akibat berpindah tangan. Apa yang harus dilakukan jika terjadi kasus seperti itu. “Mestinya bank memiliki sistem untuk mengantisipasi kejadian seperti itu. Sejauh ini tidak dilakukan,” katanya.
Kedua, pembobolan rekening bank sangat rentan dilakukan oleh orang dalam atau karyawan bank. Paling rawan adalah pejabat sekelas kepala cabang. “Ada beberapa kasus pembobolan bank dilakukan oleh orang dalam karena mengetahui tanda tangan nasabah. Ada pula pembobolan bank dilakukan customer service, karena lemahnya kontrol Standar Operasional Prosedur (SOP) bank tersebut,” katanya.
Misalnya, customer service bank tersebut bisa mengenali tanda tangan nasabah. Dia mudah memperoleh foto copy KTP nasabah. Namun hal ini tidak mungkin terjadi kalau teller menjalankan tugas sesuai dengan SOP. “Kasus pembobolan rekening dengan modus memalsu tanda tangan di slip penarikan tidak mungkin terjadi jika ada SOP bahwa teller meminta surat kuasa dari nasabah,” katanya.
Sebab, SOP penarikan tabungan, apabila nasabah tidak datang sendiri, maka penarik harus menunjukkan surat kuasa bermaterai dari nasabah. Ketiga, pembobolan rekening terjadi setelah update aplikasi tabungan baru. Aplikasi yang digunakan perbankan untuk nasabah bisa sangat berbahaya dalam kondisi tertentu. Apalagi kalau tidak dilengkapi dengan sistem keamanan berlapis.
“Mestinya ada tahapan umum untuk memperoleh kualitas dan keamanan dari software tersebut,” katanya.
Dalam perbankan, Fraud dapat terjadi di aplikasi kredit maupun aplikasi tabungan. Pada 2014 silam, Fraud sebagian besar terjadi dalam aplikasi tabungan. Fraud dapat terjadi pula dalam bentuk pemalsuan dokumen. Beberapa bank swasta dan bank pemerintah pernah terjadi fraud. Bahkan di Solo, pernah terjadi Rp 21 miliar raib. Begitupun di Kota Semarang berkali-kali terjadi. Hal itu belum terhitung uang ‘kecil’ di dalam rekening bank yang hilang dan tidak disadari oleh nasabah.
Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) seharusnya melindungi nasabah. Sekali nasabah dirugikan, BI dan OJK wajib turun tangan untuk menyelamatkan nasabah. Prosedur perbankan seringkali menjadi kendala pihak kepolisian. Maka dari itu, BI dan OJK perlu proaktif membantu polisi. Jika tidak terusut tuntas, polisi yang disalahkan. (abdul mughis)
Editor : Ismu Puruhito