in

Omnibus Law Tetap Jalan, Buruh Siap Melawan

SEMARANG (jatengtoday.com) – Aktivis buruh di Kota Semarang, Zaenudin, menuntaskan aksi “Topo Pepe Nyadong Pocong” selama tiga hari di sekitar Bundaran Air Mancur, Jalan Pahlawan Semarang, Kamis (16/7/2020). Aksi tersebut merespons sidang pembahasan Omnibus Law yang berlangsung di DPR RI 13–16 Juli 2020 yang dinilai menjadi malapetaka bagi buruh.

Para buruh tersebut menilai arogansi pemerintah justru menjalar ke DPR RI. “Pada rapat hari Rabu, 15 Juli 2020 DPR RI memutuskan bahwa klaster ketenagakerjaan tetap akan masuk dalam pembahasan RUU Omnibus Law,” ungkap Zaenudin.

Menurut dia, pandemi Covid-19 ini justru dimanfaatkan oleh para penguasa menjadi jala bagi buruh Indonesia. “Buruh dengan berbagai cara dibungkam, dikurung dan tidak boleh ke mana-mana dengan alasan Corona. Sementara DPR RI getol memaksakan kehendaknya untuk melanjutkan pembahasan RUU Omnibus Law,” katanya.

Berbagai cara penolakan dan masukan telah dilakukan oleh kalangan buruh, termasuk bertemu dengan Presiden RI Joko Widodo. Kala itu, Presiden Jokowi menjanjikan bahwa pembahasan Omnibus Law ditunda karena adanya pandemi. “Kami merasa tertipu. Karena ternyata DPR RI tetap membahasnya hingga saat ini. Dan presiden pun mendukungnya,” katanya.

Terakhir, lanjut dia, pemerintah melalui Kementerian Tenaga Kerja membentuk tim teknis yang beranggotakan unsur pekerja sebanyak 15 orang, yakni unsur Apindo/Kadin dan unsur pemerintah 25 orang. “Lagi-lagi, kami mensinyalir pemerintah berupaya curang. Tim teknis itu hanya akan digunakan alat legalitas atau politik absensi untuk memuluskan jalan RUU Omnibus Law,” terang Zaenudin.

Sebab, menurut dia, tim teknis tersebut hanya menampung dan tidak membahas isi klaster ketenagakerjaan. “Di samping itu, masa kerja Tim hanya sampai 18 Juli 2020. Menanggapi hal tersebut, unsur pekerja dari KSPSI AGN (Pimpinan Andi Gani Nuwawea), KSPI menyatakan keluar dari tim dan tidak bertanggungjawab terhadap keputusan-keputusan yang diambil oleh tim teknis tersebut,” beber dia.

Pihaknya menegaskan buruh Indonesia menuntut agar klaster ketenagakerjaan dicabut dari RUU Omnibus Law. “Karena jika diteruskan stabilitas nasional dan harga diri bangsa dapat terancam. Apabila tuntutan buruh tidak dipenuhi, maka buruh bersiap melawan untuk memperjuangkan aspirasinya,” tegasnya.

Lebih lanjut, Zaenudin memperingatkan kepada para pejabat pemerintah, apabila  memang tidak mampu mengemban tugas untuk mewujudkan keadilan bagi rakyat, maka sebaiknya mundur saja.

Lebih lanjut, kata dia, dalam RUU Omnibus Law tersebut muncul sejumlah peraturan yang sangat merugikan buruh Indonesia. Di antaranya akan menghapus upah minimum yaitu Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK), memberlakukan upah per-jam di bawah upah minimum, mengurangi nilai pesangon, penggunaan buruh outsourcing dan buruh kontrak seumur hidup untuk semua jenis pekerjaan. Selain itu, waktu kerja eksploitatif dan menghapus cuti dan hak upah saat cuti. (*)

 

editor: ricky fitriyanto