SEMARANG (jatengtoday.com) – Novel “Kancing yang Terlepas” karya sastrawan Semarang Handry TM, kerap menjadi perbincangan. Bahkan, menjadi rujukan untuk melihat bagaimana kehidupan orang Tionghoa peranakan di Kota Semarang.
Hal tersebut diungkapkan Pecinta Buku, Asrida Ulinnuha, saat menjadi pembicara dalam kegiatan Booktalk pada ajang Festival Kota Lama, di Oudetrap Theatre, Jumat (20/9/2019).
Menurut Asrida, meskipun novel itu sarat akan unsur fiksi, tapi sebenarnya pembahasan yang disajikan sangat dekat dengan kehidupan masyarakat di kota ini. Bahkan, yang diceritakan itu bisa dijumpai di kawasan Pecinan, Kota Semarang, di mana banyak masyarakat Tionghoa.
“Pokoknya ini Semarangan banget. Dengan istilah dan bahasa khas Kota Semarang. Kita akan terbawa dengan ulasan dan penggambaran detail yang ada di dalamnya,” jelasnya.
Lewat novel “Kancing yang Terlepas” ini, kata Asrida, pembaca otomatis akan belajar tentang zaman, lengkap dengan segala khazanahnya. Apalagi karya tersebut settingnya adalah sebelum tahun 1960-an.
Hal serupa juga diamini pembicara lain, Slamat Sinambela, seorang penerjemah novel “Kancing yang Terlepas”. Dia lebih banyak bercerita mengenai proses kreatif penerjemahan yang dia lakukan.
“Saya sudah menerjemahkan novel ini sekitar 2 atau 3 tahun lalu. Dan selama proses itu, saya dibiayai oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,” bebernya.
Slamat menceritakan bagaimana novel karya Handry TM tersebut bisa dipilih oleh Kemendikbud. Menurutnya, yang menjadi alasan aadalah karena novel itu sarat akan sejarah Semarang.
“Saya sempat banyak bercerita dan mencoba menggoda supaya naskah ini benar-benar dilihat. Setelah itu, ternyata disetujui,” cerita Slamat.
Menurutnya, novel ini keterbacaannya tinggi meskipun cukup tebal. “Di dalamnya ada pertarungan ideologis dan banyak hal yang selama ini tidak kita pahami, yang ternyata sering muncul di budaya Tionghoa,” imbuhnya.
Handry TM mengungkapkan, novel “Kancing yang Terlepas” menjadi karya yang paling panjang proses penulisannya di banding lainnya. Novel tersebut bisa terbit karena bantuan dari banyak pihak.
Menurut dia, butuh waktu yang tidak sedikit untuk bisa menceritakan seputar budaya Tionghoa di Kota Semarang.
“Jangan mengira bahwa saya baru belajar budaya Tionghoa saat menulis ini, tapi jauh-jauh hari sebelum itu saya sudah belajar. Bahkan sejak saya masih jadi wartawan pemula,” ucap Handry TM.
Dia mengungkapkan, cerita-cerita yang ditampilkan sebenarnya banyak yang lucu. Seperti cerita tentang Dewa Dapur yang bertugas mencatat kesalahan yang dilakukan manusia.
“Saya cerita bahwa orang Tionghoa kerap menyajikan wedang ronde untuk disajikan di dapur. Itu tujuannnya kan lebih sebagai suap. Iya, biar Dewa sibuk menikmati ronde sampai lupa melaporkan kesalahan manusia ke dewa yang lebih besar,” katanya.
Namun, katanya, novel ini sebenarnya merupakan karya yang belum selesai. Dia sengaja membuat novel tersebut dengan teknik menggantung, supaya pembacanya akan penasaran dan menunggu karya selanjutnya. (*)
editor : ricky fitriyanto