SEMARANG – Para nelayan di Jawa Tengah yang memiliki kapal di bawah 10 gross tonnage (GT), nekad menggunakan alat tangkap ikan cantrang meski Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memberikan batasan maksimal 31 Desember 2017. Alasannya, dari hasil uji petik awal Desember 2017 lalu terhadap alat tangkap cantrang di perairan Tegal Jateng sampai Lamongan Jawa Timur, ternyata tidak merusak lingkungan.
Seperti diketahui, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sebelumnya telah mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 2/PERMEN-KP/2015 Tentang Pelarangan Penggunaan Pukat Hela (Trawl) dan Pukat Tarik (Seine Net). Cantrang termasuk alat tangkap pukat tarik yang dinilai merusak lingkungan.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan Petani Nelayan Seluruh Indonesia (PPNSI) Riyono mengungkapkan, uji petik ini melibatkan akademisi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) dan sejumlah asosiasi nelayan. Ia juga mengaku, pihaknya sempat mengajak KKP, namun tidak bersedia.
“Cantrang itu ramah lingkungan, bukan hanya pengakuan sepihak dari kami, tapi kami juga melakukan riset dan uji petik terakhir selesai pada pertengahan Desember 2017 lalu, bahwa cantrang tidak merusak lingkungan,” katanya, Rabu (27/12/2017).
Dalam uji petik tersebut, pihaknya juga menggunakan kamera bawah air untuk mendokumentasikan operasionalnya cantrang. Titik uji petik tersebut di wilayah perairan Tegal, Rembang, dan Lamongan.
“Terbukti bahwa cantrang ramah lingkungan. Lalu kenapa pemerintah tidak mau uji petik, apakah khawatir ketika tahu ramah lingkungan lalu KKP tidak mau mengubah Permen 2 dan 71 itu. Itu jadi pertanyaan, ada apa?” ungkapnya.
Maka, meski Menteri KKP memberi batas akhir masa transisi alih alat tangkap cantrang sampai 31 Desember 2017, namun nelayan tetap menggunakan cantrang.
“Silakan kalau mau dilarang, tapi kami tetap akan berjuang dengan cara kami agar nelayan tetap bisa bekerja. Karena larangan itu nggak rasional, dan mengabaikan akibat dari peraturan itu, tidak solutif,” katanya.
Di sisi lain, dari ribuan kapal di bawah 10 GT pengguna cantrang yang telah teridentifikasi sekitar 6.400 kapal, baru sekitar 20 persen yang sudah mendapatkan bantuan alat tanggkap pengganti dari KKP. “Yang dibantu saja baru 20 persen, selebihnya siapa coba yang tanggungjawab,” ujarnya.
“Jadi kami tetap akan bekerja, melaut, itu sudah tekad teman-teman nelayan. Cantrang tetap dipakai, sebab alat itu punya potensi merusak lingkungan tapi tergantung bagaimana mengoperasikannya. Tapi KKP mengabaikan nggak mau dialog, Menteri ditemui tidak mau, diajak uji petik tidak mau,” katanya.
Mengenai bakal adanya penegakan hukum oleh aparat di tengah laut, menurut Riyono, nelayan tak mempedulikannya. Jika memang ditangkap, maka akan mengikuti sidang sesuai prosedur yang ada.
“Ya kita hadapi, orang bekerja kok tidak boleh. Kalau ditangkap ya dihadapi, di pengadilan ya kita hadapi, tekadnya teman-teman sudah begitu,” tandasnya.
Dia menilai, bahwa para aparat sebenarnya sudah paham tentang permasalahan tersebut. Akan tetapi, mereka juga bingung. “Kami nanti akan bicara dengan aparat setelah Desember ini, akan kami sampaikan fakta riil tentang alat itu dan realitasnya di kehidupan nelayan jika alat itu nggak dipakai,” katanya. (ajie mh)
Editor: Ismu Puruhito