Kamu sering mandi, namun cara mandi yang salah, bisa membuat tubuhmu kurang bersih. Air dan sabun juga berpengaruh. Mental juga demikian. Jika cara memperlakukan mental itu salah, maka mental bisa rusak.
Cara berbicara kepada diri-sendiri, jika salah, hasilnya adalah reaksi bawaan mental yang merusak diri sendiri.
Refleksi diri itu bagus. Membuat pengakuan secara jujur kepada diri sendiri itu bagus. Yang berbahaya, kalau pikiran mengalami pengulangan (loop), seolah-olah berada di masalah yang selalu sama dan tak-terpecahkan. Hasilnya, menyalahkan diri. Berpikir dengan mengabaikan cara berpikir, bisa membawa orang kepada kondisi “default”. Ini akan menjadi lingkaran setan, seperti ketika sepasang kekasih melakukan manipulasi emosional terselubung.
https://jatengtoday.com/manipulasi-emosional-29995
Jika reaksi ini sudah menjadi “default“, kamu akan selalu kembali ke keadaan sama. Ini mirip “loop” atau “pengulangan”. Misalnya, pekerjaanmu berhubungan dengan ” mengenal karakter orang”. Pernahkah kamu memikirkan, secara serius, bagaimana cara mengenal karakter seseorang? Pernahkah kamu mempertanyakan keahlian yang sedang memasuki pikiranmu?
Manusia memiliki kebiasaan naratif. Memperlakukan hidupnya seperti sebuah cerita. Dan setiap cerita memiliki sudut-pandang. Jika caramu menentukan sudut-pandang salah, maka kamu menjadi tokoh antagonis bagi dirimu sendiri, di adegan tertentu, di dalam cerita yang kamu buat sendiri. Kemudian menuliskan pengakuan, “Aku benci sisi diriku yang ini..”.
Peristiwa X tidak membuatmu menderita. Caramu berpikir tentang peristiwa itulah yang membuatmu menderita.
Yang lebih berharga dari pikiranmu, entah itu baik ataupun buruk, adalah dirimu sendiri.
Menurut teori mediasi kognitif, “Emosi adalah perpaduan antara pikiran dan peristiwa”. Emosi selalu diperantarai beberapa bentuk kognisi atau pemikiran. Dan kognisi ini berbentuk percakapan naratif dengan diri-sendiri. Pikiranlah yang menentukan bagaimana perasaan kita. Ubahlah caramu berpikir, dengan sendirinya, perasaanmu akan berubah.
Orang mudah terjebak ke dalam ” negative self-talk”, percakapan kepada diri-sendiri yang negatif.
Beberapa hal berikut ini sering terjadi. Kebanyakan, tanpa tersadari.
Membaca Pikiran Tanpa Memahami Cara Berpikir
Suka membaca pikiran orang lain, jika kamu menjadi ahli waralaba atau psikolog itu bagus, tetapi tidak bisa diandalkan untuk mengetahui jalan pikiran orang. Seorang aktor atau orang yang terlatih menghadapi manipulasi pikiran, dapat dengan mudah mengelabui cara membaca pikiran.
Mengasumsikan kita memahami apa yang dipikirkan orang lain, tanpa bukti nyata, itu sangat berbahaya. Membaca pikiran adalah kegagalan membaca, membayangkan hal-hal negatif, tanpa menjelajahi kemungkinan yang berbeda, beberapa di antaranya pasti netral atau positif.
“Orang itu selalu melihat Android, pasti tidak memperhatikan saya.”. “Dia diam saja, kemungkinan tidak ikut kehadiran saya.”. Kenyatannya, belum tentu demikian. Bisa jadi, orang yang memegang Android itu sedang menyimak pembicaraanmu, atau dia sedang bekerja dengan smartphone.
Dulu saya menganggap, seseorang bisa “membaca” pikiran ketika bisa menebak apa makanan kesukaan saya. Ketika saya mengganti pola dan menu makanan saya, ia tidak lagi bisa menebak. Ketika melihat bahasa tubuh seseorang, saya pikir kita bisa menebak apakah ia berbohong atau tidak. Ternyata, untuk menguji kebohongan seseorang tidaklah semudah itu. Sampai kemudian saya mempelajari taktik wawancara dan interogasi.
Seorang ibu, bisa salah ketika membaca pikiran anaknya, sekalipun ia menyaksikan bagaimana anaknya mengenal huruf, kata, caranya menginginkan sesuatu, dll. Seorang penulis yang sering berpikir, bisa “salah” dalam memperlakukan ide kreatif, karena salah itu bagus (meskipun salah belum tentu berarti kreatif), sehingga menganggap diri selalu benar ketika membaca pikiran adalah gagasan yang perlu dipertanyakan lagi.
Semua itu ada ilmunya. Jika perspektif kamu meluas, maka membaca pikiran bukanlah hal mudah.
Generalisasi dan Terlalu Cepat Berkesimpulan
Satu kasus, dianggap sebagai “peraturan umum” bagi diri-sendiri. Bahkan tidak pernah mempertanyakan, apakah peraturan ini berlaku atau tidak dalam setiap kondisi dan situasi. Mengatakan kepada diri-sendiri bahwa peristiwa negatif akan terus-menerus terjadi setelah ini. Prediksi negatif. sering terjadi karena generalisasi berlebihan.
“Saya tidak dipromosikan, padahal sudah lama bekerja.”. Padahal, bisa jadi karena atasan kamu tidak memiliki sistem promosi. Atau sebenarnya kamu tidak perlu promosi asalkan gaji menjadi lebih tinggi daripada sekarang.
Pertimbangkan kemungkinan lain, yang mengarah kepada tindakan positif. Buatlah pribadi kamu menjadi “berkembang” (growth), bukan “tetap” (fixed).
Termasuk dalam hal ini, membesar-besarkan sesuatu yang kita sendiri belum tahu. Menganggap orang berpeci selalu religius, menganggap musik jazz hanya untuk orang intelektual, atau badan meriang berarti sakit, adalah contoh generalisasi berlebihan.
Minimalisasi dan Mengabaikan Kekuatan Diri
Menganggap kecil dan memperkecil sesuatu. Entah kejadian, entah orang. Sama seperti ketika kamu melihat spion. Kamu mengecilkan dirimu sendiri. Membiarkan dirimu sebatas disukai dengan Like dan Share, itu tindakan minimalisasi, karena sebenarnya kamu bisa mengembangkan kualitas lebih dari itu.
Orang yang belajar, sering mendapatkan pesan, “Gunakan waktumu untuk belajar”, namun kebanyakan mereka tidak menetapkan “prioritas” (apa yang harus dipelajari lebih dahulu), dan bersikap minimalis (yang penting belajar). Ini sikap minimalis double-bonus. Menganggap belajar itu enteng, yang penting belajar, dan yang kedua menganggap diri sendiri hanya sebatas mengerjakan kualitas minimal.
Saya menuliskan “19 Kalimat Pemblokir Kreativitas” yang menjelaskan bagaimana pikiran sering memblokir pekerjaan kreatif, tentu saja dilengkapi dengan cara mengatasi pemblokiran ini.
Menalar dengan Emosi, Bukan dengan Pikiran
Penalaran emosional adalah membuat keputusan berdasarkan perasaan. Emosi menentukan apa yang harus, boleh, dan bisa kamu lakukan — dan hasilnya adalah pertimbangan pertimbangan rasional. Depresi dan penundaan adalah hasil umum dari penalaran emosional.
“Entahlah”, “Perasaanku mengatakan..”, “Ada sesuatu yang tidak bisa kuungkapkan..”, sering menjadi pernyataan umum dari penalaran emosional. Saya sudah menuliskan “Strategi Berpikir” yang menjelaskan cara menalar yang rumit dan asyik. Kamu bisa memulainya dengan mengamati sekeliling dalam aktivitas keseharian, karena dengan melatih diri seperti ini, berpikir bukan lagi hal yang menegangkan.
Pemikiran Hitam-Putih
Memikirkan seuatu secara eksklusif, dalam kategori ekstrem. Ending sikap ini adalah kekecewaan kronis. Menganggap pertarungan politik sebagai pertarungan benar melawan salah, religius versus nasionalis, adalah contohnya.
Pemikiran hitam-putih berbahaya karena mengabaikan variabel lain, membandingkan secara habis-habisan dan membuang apa yang tidak bisa dibandingkan. Hitam-putih berbicara hanya tentang siapa melawan siapa, head to head. Memperbesar ekspektasi. Dan harapan yang akhirnya tidak terwujud, selalu lebih besar daripada ekspektasi kamu. Ekspektasi “tanpa” perhitungan, sedangkan pembandingan secara mendalam berarti penuh perhitungan.
Menganggap “Ini” sebagai Masalah Pribadi
Secara tak-sadar, orang sering menganggap apa yang di sekitarnya, selalu menjadi masalah pribadi. Pernyataan yang sering ada dalam batin mereka: “Status kawan saya, menyindir saya.”, “Ini bukan urusan saya..”, “Ini harus saya jawab..”. Sebenarnya, mereka yang memiliki kepribadian “insecure”, sering mengejar adakah hubungannya dengan “saya”. Ketika diramal, mereka akan bertanya, “Bagaimana kelanjutannya? Coba ramal lagi..”.
Dari mana anggapan “ini” sebagai masalah pribadi tersebut berasal? Asumsi yang berasal dari tanggung-jawab yang berlebihan, terutama yang di luar kendali.
Yang terjadi, orang ingin mengendalikan segalanya dalam genggaman. Hasilnya, stress dan kecemasan kronis. “Seharusnya, saya yang melakukan ini..”, “Lagu ini pasti untuk saya..”. Merasa bersalah adalah efek kecil dari perasaan ini.
Berada dalam Ramalan
Meramal dan memenuhi ramalan. Banyak orang melakukan ini. Membayangkan apa yang akan terjadi, dengan prediksi, kemudian ketika hasilnya buruk, menyalahkan diri-sendiri. Yang terjadi kemudian, bukan lagi penyesalan tetapi tergoda berlebihan dan kecemasan “menunggu”.
Para petaruh nomor 4 angka berkata, “Saya hanya meleset 1 angka depan..”. Kalkulasi sebentar dan meniru perdagangan orang lain berkata, “Saya bisa jika modalnya kita perbesar”, karena ia tidak bisa membedakan antara berdagang dan berbisnis. Atau terlalu percaya kepada pendapat orang yang dianggap sebagai ahli, mem-forward pendapat orang lain, dengan mengatakan, “Menurut prediksi, yang akan terjadi adalah..”.
Yang berbahaya bukan prediksi kamu, tetapi caramu memprediksi dan ketergodaan kamu kepada ilusi yang seolah-olah merupakan masa depan yang pasti. Masa depan memiliki banyak sekali variabel, permainan, dan hal-hal di luar kendali.
Labelisasi
Membuat Label. Pelabelan itu berbahaya. Pelabelan menyederhanakan sesuatu yang tidak akurat. “Saya orang yang gagal”, sama berbahanya dengan “Dia memang pintar”. Yang berbahaya bukan apa kata label itu, tetapi yang berbahaya adalah cara orang menganggap “kepastian” dari labelisasi “bodoh” dan “pintar” itu.
“Harus” yang Tidak Harus Kamu Lakukan
Membuat Pernyataan “Harus”. Mereduksi kemungkinan, menjadi hanya “ini yang harus saya lakukan”. Mengabaikan konteks yang berubah di dalam perjalanan.
Untuk menghindari percakapan dengan diri secara negatif, kita bisa membangun model mental sendiri serta mempelajari strategi berpikir, agar tidak mudah berada di dalam penjara pikiran sendiri. Jangan biarkan pikiran berada di dalam mode “default” dan “loop” (pengulangan) yang merusak tindakan kamu sendiri. [dm]