in

Mural Serat Purwaning Ringgit Purwo, Kisah Wali Kota Tunduk di Kaki Tukang Rumput

SEMARANG (jatengtoday.com) – Lorong gang berisi lukisan mural yang menceritakan sejarah Kota Semarang itu berada di Kampung Batik Tengah RT 4 RW 2, Kelurahan Rejomulyo, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang.

Melalui visual Wayang Beber, lukisan mural yang dilukis di lorong gang sepanjang kurang lebih 15 meter tersebut memuat Serat Purwaning Ringgit Purwo. Sebuah kisah sejarah semi-fiksi heroik yang merupakan Babat Semarang yakni memuat cerita asal muasal Kota Semarang.

“Gambar mural ini kalau dikupas secara detail, tidak selesai diceritakan dua jam. Ini juga sudah saya tulis menjadi buku,” kata pelukis mural Serat Purwaning Ringgit Purwo, Ignatius Luwiyanto, kepada jatengtoday.com, Sabtu (7/7).

Lukisan mural tersebut dibuat selama dua bulan sejak Februari 2017 lalu. “Saya sendiri yang mengonsep dan melukis. Dibantu warga untuk nge-blok cat yang mudah-mudah. Penyelesaiannya juga saya,” katanya.

Di blok dinding lorong paling ujung utara sebelah kanan, lukisan mural tersebut memulai bercerita mulai abad 8 silam. Secara visual dilukiskan asal muasal Kota Semarang berbentuk gugusan pulau-pulau kecil dikelilingi lautan. Salah satunya bernama Tirang Ngampal atau Pulau Tirang.

Berjalannya waktu, pulau-pulau kecil itu mengalami proses sedimentasi menjadi daratan. “Salah satunya adalah bukit Bergota. Kenapa namanya Bergota? Sebetulnya ada kaitannya dengan tokoh agama Hindu bernama Ki Ajar Pragota. Masyarakat kemudian menyebut ‘Bergota’,” kata kisahnya.

Memasuki abad 14, Laksamana Cheng Ho mendarat di Simongan, menggunakan ekspedisi kapal besar. “Besarnya diperkirakan bisa lima kali lipatnya kapal Columbus. Cheng Ho merupakan tokoh muslim yang membawa misi perdamaian. Maka simbolnya ada bunga. Ia menyebarkan agama Islam hingga membangun sebuah masjid yang sekarang masih ada di dalam areal Kelenteng Sam Poo Kong. Arsitektur masjidnya berbentuk kelenteng,” katanya.

Ketika itu, masyarakat rata-rata masih memeluk agama Hindu. Setelah kedatangan Cheng Ho, sebagian masyarakat memeluk agama Islam. Maka kebudayaan ketika itu Hindu dan Islam. Namun sepeninggal Cheng Ho, masyarakat Semarang kembali dominan Hindu, sebelum akhirnya memasuki era Walisongo.

“Kondisi banyaknya masyarakat yang kembali ke Hindu didengar oleh Kerajaan Demak. Maka diutuslah seorang bernama Ki Mardi Pandan yang kelak disebut Ki Ageng Pandanaran 1, untuk mendarat di Pulau Tirang, atau sekarang daerah Bukit Mugas,” katanya.

Ki Ageng Pandanaran 1 tercatat sebagai bupati pertama Semarang, yang diangkat oleh Sultan Demak Bintara. Ia juga menjadi tokoh penyebar agama Islam hingga akhirnya banyak masyarakat Hindu kembali memeluk agama Islam. “Pulau Tirang itu banyak ditumbuhi pohon asam (asem), maka simbol khasnya pohon asem,” katanya.

Setelah Pulau Tirang padat penduduk, Ki Ageng Pandanaran hijrah ke daerah Bubakan, saat itu berada di wilayah pantai. Kata ‘Bubakan’ diambil dari kata ‘mbabaki’ atau membuka sebidang tanah untuk perkampungan. Semakin lama semakin berkembang, menyusul lahan-lahan baru seperti Kanjengan, Jurnatan, Petudungan, Petolongan, dan kampung-kampung lain yang juga memiliki sejarah masing-masing.

“Masyarakat kala itu baru menyadari bahwa di Bubakan pohon asam (asem) ‘arang-arang’ (jarang) ya? Munculnya kata-kata ‘aseme arang-arang’ inilah yang kemudian menjadi kata ‘Semarang’.” katanya.

Sepeninggal Ki Ageng Pandanaran I, lanjut Ignatius–menceritakan mural wayang Beber, selanjutnya anak kedua dari Ki Ageng Pandan Aran 1 diangkat menjadi Ki Ageng Pandanaran II, menggantikan sebagai Adipati. Pengangkatan ini direstui oleh Sunan Kalijaga dan dinobatkan oleh Sultan Hadiwijaya dari Pajang pada 2 Mei 1547, maka menjadi hari berdirinya Kota Semarang.

Dalam perkembangannya, Ki Ageng Pandanaran II kurang disukai masyarakat karena memungut pajak terlalu tinggi dan cenderung serakah. Dia termasuk saudagar kaya di Semarang.

Pada suatu ketika, Ki Ageng Pandanaran II meminta seorang tukang rumput untuk menyediakan rumput pakan kuda peliharaannya. Tukang rumput tersebut bekerja dengan baik. “Saat akan dibayar sejumlah uang, tukang rumput tersebut justru menolak. Uangnya dikembalikan. Ki Ageng Pandanaran II kaget, mengapa dikasih uang menolak,” katanya.

Ki Ageng bertambah kaget saat tukang rumput tersebut menyampaikan bahwa ia tidak meminta uang, tapi meminta bedug. Artinya Islam. “Tukang rumput itu bilang ‘saya tidak butuh uang, bahkan lahan tanah di Kanjengan kalau mau saya cangkul akan menghasilkan emas’,” katanya.

Mendengar ucapan itu, Ki Ageng semakin penasaran dan meminta tukang rumput tersebut untuk membuktikan. “Tukang rumput itupun membuktikannya. Lahan tanah di Kanjengan yang dicangkul menjadi emas. Ki Ageng Pandanaran II takjub, dan menanyakan siapakan sesungguhnya tukang rumput tersebut,” katanya.

Tukang rumput memerkenalkan diri dengan nama Syekh Malaya (nama lain Sunan Kalijaga). Ki Ageng Pandanaran II pun bersimpuh menyembah dan tunduk. “Ia menyatakan ingin menjadi muridnya. Namun Syekh Malaya mengajukan syarat, yakni meminta Ki Ageng Pandanaran II meninggalkan semua harta kekayaannya dan memberikan kepada warga miskin. Lalu diminta pergi ke Bukit Bayat Klaten,”

Ki Ageng kebingungan, apabila seluruh hartanya diberikan kepada warga miskin, lantas kebutuhan hidupnya bagaimana. Dia takut miskin. Akhirnya sejumlah harta kekayaannya dimasukkan ke kotak dan dibawa perjalanan menuju ke Klaten mencari Bukit Bayat menggunakan kereta kencana. Sesampai di hutan Salatiga, Ki Ageng dirampok. Ki Ageng bilang ‘saya tidak punya uang’. Tapi kalau ingin harta, di belakang saya ada seorang perempuan. “Dia memegang tongkat yang di dalamnya ada emas berlian. Kalau mau, ambil saja,” katanya.

Tiga perampok itu kemudian merebut tongkat dari sosok wanita tersebut dan memecahnya. “Lalu Ki Ageng kepada para perampok tersebut mengatakan, ‘Kok watakmu seperti wedus (kambing)’. Satu dari perampok itu wajahnya menjadi wedus. ‘Kalau ingin wajahmu ingin kembali berubah menjadi manusia, maka berubahlah perilakumu menjadi manusia yang baik. Berikan kekayaanmu kepada warga yang membutuhkan,” katanya.

Perampok itu ingin mengubah wajahnya kembali menjadi manusia, maka ia harus menuruti saran Ki Ageng dan menjadi murid. “Ki Ageng kemudian meneruskan perjalanan menegakkan agama Islam dan menjadi penerang bagi masyarakat. Hingga akhir hayat, Ki Ageng Pandanaran II menetap di Bukit Bayat hingga disebut Sunan Bayat,” kisahnya.

Tidak hanya itu, cerita-cerita riwayat Semarang di era-era selanjutnya juga divisualisasikan melalui lukisan mural. Diantaranya masa penjajahan Belanda, hingga akulturasi kebudayaan Tionghoa, Arab, India, dan Jawa yang berkembang di Kota Semarang. Munculnya simbol hewan fiksi Warag Ngendok, tradisi Dugderan, gebyuran, hingga Semarang sekarang yang metropolitan. (abdul mughis)

editor: ricky fitriyanto

Abdul Mughis