SEMARANG (jatengtoday.com) – Sebanyak 120 Kepala Keluarga (KK) di Kelurahan Wonosari, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang terancam diusir akibat sengketa lahan yang mereka tempati. Berpuluh-puluh tahun, mereka menempati lahan tersebut. Sebagian warga memiliki sertifikat Hak Milik (HM), sebagian tidak.
Sertifikat warga rata-rata diterbitkan pada 1975-1976. Anehnya, belakangan ini ada seorang pria berinisial RY mengklaim kepemilikan tanah yang dihuni 120 KK tersebut. Padahal sertifikat tanah yang dipegang RY tersebut tertulis terbit pada 2015.
Tentu saja, warga di kawasan tersebut khawatir. Sebab, tak lama lagi terancam diusir atau digusur. Pasalnya, RY mengklaim telah mengantongi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Surat Keterangan Rencana Kota (KRK). Saat ini telah dimulai pembangunan sebuah perusahaan.
Warga kecewa berat. Sebab, Pemkot Semarang dalam menangani sengketa lahan tersebut justru cenderung menyudutkan warga dan terkesan membela kepentingan cukong. Alasannya, cukong tersebut telah memiliki bukti dokumen kepemilikan serifikat tanah, IMB dan KRK. Dinas Tata Ruang (Distaru) Kota Semarang, memanggil warga Wonosari dan telah diberikan Surat Peringatan (SP1) untuk membongkar bangunan di lahan tersebut, Rabu (12/8/2020).
“Distaru memanggil warga Wonosari untuk diberikan SP 1 terkait sengketa lahan. Kami memenuhi panggilan di kantor Distaru. Mereka menanyakan sejumlah dokumen kepada warga, seperti sertifikat tanah, Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan KRK,” kata juru bicara warga, Suparno usai rapat pemanggilan SP1 di Distaru Kota Semarang.
Dalam pertemuan tersebut, warga tidak diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan. “Warga ditanya apakah memiliki IMB? Rata-rata warga tidak mempunyai IMB. Tapi secara historis, warga memiliki runtutan sejarah orang-orang yang tinggal di situ,” katanya.
Menurut Suparno, permasalahan sengketa lahan di Wonosari menyimpan banyak kejanggalan. “Warga memiliki sertifikat tanah terlebih dahulu, tiba-tiba ada orang yang mengklaim memiliki sertifikat. Orang tersebut memiliki IMB dan KRK. Sedangkan warga tidak memiliki IMB dan KRK,” katanya.
Dia menegaskan, warga tidak ingin terjebak dengan permainan tersebut. “Yang kami permasalahkan bukan IMB, tapi bagaimana proses orang tersebut ketika memperoleh sertifikat di Wonosari. Di DPRD Kota Semarang sudah kami sampaikan, bahwa kami tidak mempermasalahkan sertifikat atas nama RY tersebut. Tetapi yang kami permasalahkan adalah proses dari munculnya sertifikat tersebut,” katanya.
Di Distaru, lanjut dia, warga menyampaikan hal tersebut. “Tetapi Distaru berkilah bahwa itu bukan ranah Distaru, tapi ranah BPN. Kami tidak mengetahui bagaimana proses orang tersebut mendapatkan sertifikat di BPN. Apakah dia membeli atau bagaimana saya tidak tahu. Tapi yang jelas, kami nyatakan adalah 1000 persen proses memperoleh sertifikat itu tidak benar,” tegasnya.
Pertama, lanjut dia, berdasarkan keterangan di foto copy sertifikat milik RY dijelaskan bahwa wilayah tersebut adalah lahan kosong. “Padahal telah puluhan tahun dihuni oleh warga sebelum sertifikat itu muncul. Sertifikat milik pengembang itu tertulis diterbitkan tahun 2015. Sedangkan warga jauh sebelum itu sudah menempati lahan. Sebagian warga juga memiliki bukti dokumen sertifikat Hak Milik (HM), terutama untuk yang diklaim oleh Bapak RY. Bahkan sertifikat warga diterbitkan pada 1975-1976,” ungkapnya.
“Luas keseluruhan di sertifikat yang diklaim Bapak RY memuat dua bagian, yakni bagian Selatan 7538 meter persegi. Di bagian lainnya seluas 1880 meter persegi,” imbuhnya.
Jumlah total warga yang menempati lahan tersebut kurang lebih 120 Kepala Keluarga (KK). “Di situ belum diakui sebagai RT, ini juga yang juga menjadi kejanggalan. Ada sebagian yang sudah mendapatkan hak sebagai warga negara, punya KK dan KTP, sebagian yang menempati di tanah itu tidak ada KTP dan KK. Bahkan pihak kelurahan menganggap warga liar. Secara geografis, seharusnya wilayah tersebut masuk di RW 10 Kelurahan Wonosari Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang,” bebernya.
Lebih lanjut, kata Suparno, pihaknya dalam audiensi di DPRD Kota Semarang beberapa waktu lalu telah menyampaikan permohonan agar Kapolda Jawa Tengah menurunkan Satgas Mafia Tanah untuk menyelidiki mafia tanah di Wonosari. “Warga tidak mengenal sama sekali dengan sosok RY, tidak pernah bertemu sama sekali. Adanya orang suruhan mereka. Mereka menguasai tanah di wilayah tersebut. Saat ini sudah mulai proses pembangunan dengan mengerjakan pondasi. Bahkan telah diberikan pagar. Di dalam pagar masih berdiri rumah-rumah warga,” katanya.
Kepala Bidang Pengawasan Dinas Penataaan Ruang (Distaru) Kota Semarang, Nik Sutiyani dalam kesempatan tersebut menyampaikan kepada warga Wonosari tersebut untuk mengurus IMB dan KRK. Termasuk menyiapkan dokumen-dokumen terkait kepemilikan lahan yang ditempati warga. Adapun saat ini diberikan SP1, dan akan dilanjutkan SP2 dan seterusnya.
“Terkait pengawasan dan penertiban penyelenggaraan bangunan gedung, ayat 1 menjelaskan dalam hal pemilik bangunan gedung dalam waktu tujuh hari kalender tidak mematuhi SP2, maka akan diterbitkan Surat Perintah Pembatasan Kegiatan Pembangunan disertai dengan rekomendasi penyegelan,” terangnya.
Ayat 2, lanjut Nik, rekomendasi penyegelan dibuat oleh dinas, untuk dikirimkan kepada tim penertiban disertai dengan data-data pelanggaran yang dilakukan. “Ayat 3, untuk persiapan pelaksanaan penyegelan akan dilakukan rapat koordinasi tim penertiban. Penyegelan dilaksanakan oleh Satpol PP bersama tim penertiban paling lambat 14 hari kalender setelah dikirimkannya rekomendasi,” katanya. (*)
editor: ricky fitriyanto