Kebanyakan orang berada dalam loop (pengulangan), rutinitas dalam hidup dan bekerja. Bangun, ngantor, absen, selesaikan tugas, sampai jam pulang, bertemu keluarga, mencari hiburan. Hari berbeda, pemandangan hampir sama. Semua orang punya kotak pengalaman harian.
Anak kecil, lebih sensitif hadapi rasa bosan. Mereka protes ketika sekolah menjemukan. Apalagi kalau orang tua tidak bisa bantu kerjakan PR Matematika dan Bahasa Inggris, bisa jadi, mereka akan salahkan sistem pendidikan sekarang. Kalau ketemu kawan, tentang PR anak mereka, tidak ada pembahasan tentang cara mengatasi PR anak.
Kebosanan menggiring orang, “Adakah tempat yang bisa membuat saya pergi dari kebosanan ini?”.
Ajakan seorang pacar, salah satu yang romantis adalah “Ajak aku pergi dari sini.”. Pernah dapat texting seperti itu? Dia tidak sedang sepenuhnya menyatakan cinta, itu ungkapan kejenuhan berhadapan dengan kondisinya sekarang.
Singkat cerita, “mereka” bermimpi. Ibarat api, ada bahan bakar dan kipas di mana-mana. Pantai yang menyenangkan. Kuliner yang ada di Beranda kawan di feed medsos. Story di Tiktok. Apalagi kalau upload pakai iPhone 13, Huawei p50 Pro, atau Oppo F12. Wisata viral Semarang dan hashtag yang selalu muncul di medos. Filter terkutuk dan aplikasi premium untuk edit foto dan video, saking bagusnya, yang bisa bikin orang bertanya, “Ini di mana?”. Keinginan pergi semakin besar.
Bukan hanya 1. Semua, kalau perlu. Semua tempat yang kita ingin ke sana, betapa indahnya. “Saya mau hidup terpencil di sini, asalkan masih ada internet.”, “Waow, tempat ini mantap sekali kalau untuk selfie..”.
Dari puluhan jenis feed di medsos, mungkin “tempat bagus” masih melekat dalam pikiran. “Suatu saat, saya akan ke sana..”.
Kalau ungkapan itu datang dari kebosanan menghadapi pengulangan dan rutinitas pengalaman harian, mungkin ini setara dengan Shinta yang ajak pacarnya melarikan-diri.
Tidak. Ini berbeda. Mereka ingin traveling, untuk “membuktikan” benarkah sama dengan yang di Story. Ingin lihat tempatnya, secara fisik memang bagus atau tidak. Kalau yang agak serius, mereka ingin mengalami budaya orang-lain (di sana). Ingin rileks, tanpa-tugas, tidur, makan-minum dengan menu berbeda. Mendobrak rutinitas.
Saya punya 19 alasan mengapa saya suka traveling, masalahnya, realitas kita mungkin berbeda.
Dunia seperti playground atau pasar malam, tempat kita bisa berpindah dari sini ke sana, melihat serunya “tempat lain”, karena orang menyukai petualangan, hal-hal amazing, dan “happy ending” seperti di film.
Bayangkan, kamu bangun di tempat berbeda, bukan di rumah, bukan di kantor ketika lembur. Sudah ada makanan tersedia. Angin dan suara sekeliling yang berbeda. Semacam itulah traveling. Menyenangkan, jika jarang melakukan.
Bertualang itu naluri manusia. Nenek moyang kita dari zaman Neanderthal, sudah suka berpindah-tempat dengan berjalan-kaki, untuk berburu dan membuka lahan.
Bayangkan, kamu bangun di tempat berbeda, karena ada kawan membangunkanmu, “Ada hewan buas datang, ayo kita lawan..”.
Sebenarnya, rutinitas harian bergantung pada cara kita membatasi.
Kebanyakan orang menganggap: “harapan” dan “solusi” berada di luar kotak. Di sana lebih baik, di sana ada semua yang kita butuhkan. Ini terjadi ketika kita sedang bekerja dan menanti uang gaji. Atau sedang menghadapi pekerjaan rumah, berharap setelah ini ada hiburan walaupun sebentar.
Saya berikan contoh lagi, ketika lebaran datang. Perantau dari kota datang, membawa cerita “yang sebenarnya” (begitu mereka menyatakan) tentang keadaan di sana. Bahkan cerita mereka dipercaya sebagai “kebenaran” karena dia hidup (pernah) di sana. Bahkan cerita ini dipakai untuk bercerita ke orang lain lagi. Kita menganggap seseorang sukses karena ceritanya, bukan karena kita membuktikan sendiri. Sama ketika kita percaya “telah terjadi peristiwa X” karena banyak media memberitakan peristiwa X itu.
Dunia luar seolah-oleh memberikan tujuan, memberikan harapan, dan penyelesaian.
Ketika kawan saya, yang suka menulis dan desain, mendengarkan cerita saya tentang fitur MacBook (pemakai MacBook tidak mau ini disebut “laptop”) dan Ryzen7 (komputer desktop), dia bilang, “Saya sangat ingin bekerja dengan peralatan seperti itu..”. Brand, performa, simulasi, kecantikan, bias menjadi obyek kegembiraan dan hasrat yang sangat intens. Terjadi asosiasi (hubungan) antara “realitas obyektif” (obyek yang sedang dibahasakan) dengan “keinginan” dalam pikiran.
Dunia luar sering memberikan kita tujuan.
“Besok kalau sudah besar, ingin jadi apa?”. Jawaban tidak lagi “Dokter” atau “Presiden”. Mereka mungkin sudah bergeser ingin jadi YouTuber. Sekolah, ideologi, agama, iklan, media sosial, sering memberikan “tujuan”, sering mengarahkan kepada keputusan tak-sadar, dan kotak pengalaman harian kita menjadi berwarna merah. Kerahkan sumberdaya, agar kita bisa raih impian itu. Bentuknya? Menabung, agar bisa piknik. Luangkan waktu bersama, agar nanti kita bisa otw ke sana.
Kapan kamu lakukan perjalanan? Ketika liburan, semacam tombol pause bagi rutinitas harian. Sebelum berangkat, kita tertawa. Setelah pulang, ada kenangan, bersamaan dengan harus kembali bekerja. Kita tahu itu. Kemudian, selama traveling, kita maksimalkan semua kekuatan super.
Melihat tempat asing (padahal kita orang asingnya di situ), memotret, selfie dulu, Gaes.. berinteraksi dan membandingkan di sini dan di sana. Sayang sekali, bersenang-senang butuh biaya dan bertentangan dengan finansial kebanyakan orang. Sedih rasanya kalau lihat barang lucu, tetapi kita tidak beli. “Sedih lagi kalau harus pulang..” kata orang yang suka piknik dan tidak betah di dunianya sekarang.
Tanggal merah di kalender sudah lewat. Liburan usai. Pekerjaan, rutinitas, sekarang sudah kembali urut, linier, dari pagi ke malam, dan berulang-ulang membosankan lagi.
Jadi, bagaimana semua ini terjadi? Pikiran kita yang menyunting realitas.
Ketika Shinta melihat realitas obyektif bernama “tetangga beli mobil”, cara Shinta melihat bisa jadi berbeda dengan saya. Pikiran kita, melalui bahasa, yang melakukan “editing” atas realitas itu. Bukan hanya terkait tujuan wisata, cara kita melihat rutinitas keseharian juga demikian.
Lihatlah, bagaimana keinginan seseorang ketika menyiapkan dana untuk liburan. Mereka menyunting realitas, mengarahkan tindakan: kerja keras, kumpulkan uang, besok kita piknik. Pada saat yang sama, mungkin kita mengabaikan kenyataan lain: cara kita memandang pengalaman keseharian, terlalu sama dengan orang lain.
Di manapun kamu berada, pikiran tidak pernah pergi. Ia yang membisikkan kalimat, “Kamu bisa..” ketika kamu mencoba sesuatu, sekaligus, “Jangan lakukan, nanti kamu sakit..” ketika kamu belum pernah mencoba. Pikiran dikemas ke dalam informasi. Inilah cara kita melihat realitas.
Kita mengandalkan pikiran untuk melihat realitas.
Hidup tidak berubah kalau kita hanya menerima apa yang sudah kita punya, merasa itu takdir dan kehendak hukum semesta. Pendapat pasifis, fatalis, yang hanya “menerima”, tidak pernah berhasil menyunting realitas dengan pikiran mereka. Kita bisa mengubah keadaan dengan mengoptimalkan apa yang kita punya.
Apa yang kita punya? Mari melihat lagi, ruang dan diri kita. Pekerjaan, kebiasaan, hidup, keluarga, “saya di sini..”. Selama cara pandang-kita masih dengan cara sama, hasilnya tidak akan pernah berbeda.
Traveling itu bagus, asalkan bukan karena bosan dengan keadaan. Traveling yang membuat orang saling-kenal. Perdagangan terjadi karena traveling. LDR bisa gagal juga karena traveling.
Jika memang pekerjaanmu yang membosankan, atau orang di sekitarmu yang membosankan, kenapa masih di situ?
Kunci sebenarnya bukan pada traveling ke mana, tetapi cara kita menyunting realitas. Dengan pikiran. Pikiran kita tidak dirancang untuk sukses dan senang. Pikiran kita dirancang untuk bertahan (survival) dalam menghadapi masalah. Lihat lagi cara kita memandang realitas, dalam hidup dan pekerjaan, mungkin motif piknik kita akan lebih jernih, bukan untuk menghilangkan bosan. [dm]