in

3 Metode Belajar dari Kelas Terbaik

Metode belajar berikut ini terbukti berhasil. Untuk kelas maupun otodidak individual.

Saya boleh salah. Betapa menyenangkan, kalau sebuah kelas memperbolehkan terjadinya kesalahan. Kreativitas lebih mungkin terjadi.

Lawan-kata “kreativitas”, dalam hal ini adalah “moral” dan “agama”. Keduanya kurang menyukai kesalahan, tidak terlalu suka perubahan.

Saya memahami pentingnya “trial and error” karena banyak hal saya pelajari secara otodidak. Sekolah tidak mengajarkan saya menulis, membuat event dan jaringan seni, programming, fotografi dan videografi, berbisnis, dan metodologi sejarah. Saya mempelajarinya sendiri dengan “cara saya”, sebab yang dari kelas sama sekali kurang layak untuk dunia saya.

Anak kecil, punya banyak pertanyaan, namun sayangnya, tidak semua orang tua atau guru, bisa menjawabnya.

Saya pernah bertanya, ketika masih kelas 1 sekolah dasar, “Bagaimana saya bisa terlahir ke dunia?”. Kelas 3 SD, ketika menghafal surah al-Qari’ah (belum tahu artinya), di madrasah diniyah (masuk sore), saya menangis karena membayangkan Hari Kiamat, namun tidak ada yang bisa memberikan penjelasan memuaskan bagaimana Hari Kiamat bisa terjadi. Ketika membaca sejarah Perang Jawa (kurikulum sejarah waktu itu menyebutnya Perang Diponegoro), saya bertanya, “Seperti apa peta Jawa waktu itu? Apa perbedaannya dengan peta yang sekarang?”.

Sekolah tidak bisa menjawabnya. Anak kecil terus bertanya. Ada delay panjang di mana saya mencari sendiri, bukan dari kelas.

Kreativitas sebenarnya “reaksi”, tanggapan, kemauan yang dibangun dengan jalan tanpa-menyerah. Pengajar mestinya memberikan “aksi”, pemicu, yang memberikan toleransi (ruang, waktu) di mana kesalahan boleh terjadi.

Mengapa terjadi pembatasan? Mengapa guru yang pintar sering gagal menjelaskan dengan cara mudah?

metode-belajar-kreatif
METODE BELAJAR. Tidak soal di dalam atau di luar kelas, tentukan metode belajarmu. (Credit: Instagram @tamanmerah)

Montessori: Trial and Error dan Self-Correction

Sekolah di Montessorri mengutamakan pentingnya “trial and error” (coba dan salah) dan “self-correction” (memperbaiki-kesalahan sendiri).

Seorang siswa diberi 3 “life card” (anggap saja, semacam “nyawa” di game) yang berarti kesempatan bertanya, yang boleh dipakai siswa jika dan hanya jika keadaan benar-benar mendesak.

Tidak tahu? Cari informasi dulu, coba dulu. Salah? Tidak masalah. Kamu belajar, jadi kesalahan akan menjadi hak kamu selama sedang belajar.

Jadi, anak yang banyak tanya, belum tentu kreatif. Yang banyak mencoba dan mencari jawaban sendiri, itulah yang kreatif.

Ilmu tidaklah sama dengan informasi. Mendapatkan banyak informasi dan pandai memfilter informasi, juga bukan ukuran kepintaran seseorang.

Dan sejauh pengalaman saya mengadakan workshop (sendirian, tidak di bawah lembaga apa-apa) setiap bulan, keliling kota, saya melihat justru harapan anak-anak yang belajar itu pupus karena lembaga mereka menanam terlalu banyak harapan. Memberikan semangat dan dukungan, itu sama sekali berbeda dengan menaruh harapan.

Ketika guru atau dosen berpidato, mereka bilang semacam ini, “Harapan kami dari -acara- ini, kalian bisa membuat tulisan yang bisa dibaca semua orang sebab sekarang adalah zamannya internet dan media sosial”.

Mendengar pidato seperti ini, saya ingin mengucapkan kalimat Luke Skywalker kepada Rey, “Menakjubkan! Semua kata yang baru saja kamu pakai itu salah!”.

Kebanyakan kelas yang saya temui, dikerjakan mirip pabrik. Tujuan dipasang di manual, kata-kata bijak dihafalkan dan dicamkan. Peraturan selalu tentang kepatuhan dan menjaga norma. Kamu suka apa, masuklah ke kelas ini atau itu. Ikuti pelajaran, simak, kamu tidak boleh absent (tidak-hadir), dan simak dengan baik. Kerjakan produksi bernama tugas. Ketika keluar, harus ada hasil.

Saya memilih tidak menggunakan label dan pernik-pernik acara yang tidak berguna. Sama sekali tidak saya butuhkan dalam belajar bersama. 10 orang dalam suatu workshop, selama 4 jam, bagi saya sudah bisa untuk fokus belajar banyak hal.

Kreativitas itu melawan “harapan” (expectation). Kalau pijakan yang dipakai adalah “expectation”, maka ilmu pemgetahuan hanya membuktikan asumsi-asumsi lama. Bentuk “asumsi lama” yang saya lawan adalah “sekolah untuk menimba ilmu”.

Saya mengenal ada banyak kawan yang punya banyak buku. Mereka ini memperlakukan workshop sebagai tempat “menimba ilmu” dan “kesempatan bertanya”.

Misalnya workshop menulis cerita, di mana saya menjadi fasilitator selama 2 hari, saya lebih banyak menemukan peserta yang meminta penjelasan, atau tepatnya mencari jalan pintas dalam memahami peristilahan dan teknik kepenulisan.

Mereka malas karena tidak punya bekal “metode belajar”. Bukan tidak pernah belajar. Dengan kata lain, mereka pernah membaca [banyak] buku namun belum paham, atau, mereka malas membaca dan mencari pengetahuan. Jadinya, workshop tidak menjadi praktek, tetapi menjadi forum “penjelasan”.

Jadi, di mana masalahnya? Dari “mitos” bahwa belajar itu mengumpulkan dan mengolah informasi. Peristilahan yang dipakai: “menimba ilmu”, “kesempatan bertanya”, “belum pernah mencoba ini”, dan “nanti akan saya pahami kembali”.

Saya bukan korektor. “Trial and error” itu tidak bisa dipisahkan dari “self-correction“. Kalau kamu tahu di mana kesalahan “saya”, apa yang membuatnya salah, dan bagaimana kesalahan dapat mrngantar seseorang selama memahami sesuatu, barulah itu disebut “belajar”.

Belajar bukan mengkonsumsi informasi. Sebagus apapun informasi, kalau hanya menggiring seseorang menjadi konsumen, itu belum belajar. Saya sering melihat orang berburu akun premium agar bisa download majalah bagus atau film terbaru, namun nggak pernah bikin artikel atau posting video di IGTV sama sekali. Berhenti di level konsumen hanya akan membuatmu berstatus sebagai “makanan” bagi perusahaan besar. Menjadi konsumen.

Banyak orang mencari jalan aman memilih menjadi konsumen. Ini bisa kita deteksi dari seleranya memilih informasi. Imbangi dengan membuat sesuatu, jangan hanya mengkonsumsi informasi. Dan selama membuat, kenali kesalahanmu.

Perlu diingat, kesalahan hanya “boleh” terjadi ketika sedang belajar, bukan pada saat mengambil keputusan beresiko atau ketioa sedang menyelesaikan pekerjaan penting yang dikejar deadline.

Kamu berhak untuk salah, namun bukan ketika berhadapan dengan deadline. Jika itu terjadi? Game over.

Berapa harga sebuah kesalahan? Sangat mahal. Melakukannya mudah, tetapi biaya memperbaiki kesalahan itu sangat mahal. butuh waktu. Perlu pengakuan. mengatur-ulang keputusan. Namun tanpa kesalahan, tanpa trial-and-error, pengalaman-baik tidak terjadi.

Aneh. kalau pekerjaan kamu harus terbebas dari kesalahan, jelas itu bukan pekerjaan kreatif. Orang kreatif butuh melampaui kesalahan. mereka perlu malas sesekali untuk mempertanyakan sekuat apa tekad yang akan ia jalani. Perlu tidak mengerjakan apa-apa sesaat. Perlu bertentangan dengan ide orang-lain, “menantang” (bukan “menentang”) status-quo, dan melawan keadaan-buruk. Itu sebabnya, kreatif harus terjadi setiap saat. Bukan ketika diburu deadline, bukan hanya ketika ada project datang.

Pengalaman “salah” itu baik, ketika belajar.

Pengalaman buruk akan menghasilkan keputusan baik. Keputusan buruk akan menghasilkan pengalaman baik.

Sejak awal saya tandaskan, “moral” dan “agama” sering tidak memberikan toleransi kepada kesalahan. Moral dan religiusitas sudah direduksi menjadi aturan siap-pakai untuk anak kecil, harus dipatuhi, tidak boleh dipertanyakan, dan “taken for granted” (diterima begitu saja). Selain itu, ada janji keselamatan dan kebahagiaan.

Kreativitas itu bukan soal “memakai yang mana” atau “mengikuti siapa”. Kreativitas justru berawal dari “mempertanyakan kenyataan” (question reality). Memilih Sumber A tidaklah masalah. Yang bermasalah adalah cara orang selalu menerima Sumber A. Menganggap Sumber A selalu benar, itu yang bermasalah.

Setelah itu, ada pemicu (trigger) terus-menerus, yang menjaga agar kreativitas ini tetap “hidup”. Ini yang bikin orang menjadi “addicted” (kecanduan). Yang terjadi di kebanyakan kelas belajar, tidak seperti ini.

Sekolah memasang banner “membentuk generasi kreatif”, mengadakan lomba sebagai “ajang kreativitas”, atau mendatangkan “sosok teladan” berceramah, atau nada kebingungan dari para pengajar, “Kami sudah mengajak mereka untuk kreatif namun itu kembali lagi kepada siswa”.

Saya selalu bertanya, “Apakah kamu memberikan pemicu yang tepat agar mereka kreatif?”.

Tanpa pemicu, tidak ada reaksi.

Saya berikan contoh, bagaimana pemicu bisa membuat orang kecanduan dan betah berlama-lama membuka media sosial (bernama WhatsApp, Facebook, dan Instagram). Notifikasi di aplikasi membuat orang merasa mendapatkan reward (ganjaran) atas aktivitas yang pernah ia lakukan. Aplikasi dengan pemberitahuan berupa tanda merah dan angka: “Teman Anda mengomentari..”. Tanpa pemicu, kreativitas hanya menjadi slogan di banner, harapan pupus.

Kalau pemicu tepat, seorang anak bisa kreatif.

Mereka butuh panggung, tanpa “judgement” (penilaian). Taruhlah sekarang ini kebanyakan kelas memakai penilaian berperingkat (nilai A-E atau 0-4), namun memberi ruang kreatif “tanpa” penilaian itu penting. Bagaimana bisa, ratusan sampai ribuan orang belajar di suatu perguruan tinggi, tidak ada tradisi kontes dan pamer karya untuk publik? Tidak ada ruang kreatif di mana publik berkomunikasi dengan mereka?

Di kelas, semua orang ingin didengarkan pendapatnya. Pengajar berbicara, orang melakukan presentasi.

Kalau mau didengar, formulanya ada 3 komponen: kamu mengerjakan tugasmu, kamu membantu orang-lain, dan sajikan idemu dengan bagus. Kalau salah satu tidak terpenuhi, jangan berharap orang mendengarkanmu. Ini berlangsung 2 arah, bukan hanya dari pengajar, bukan dari pembelajar saja.

Biarpun idemu keren, kalau tugasmu tidak selesai, orang tidak mau mendengarmu. Biarpun gelarmu panjang, kamu punya banyak karya, kalau kamu tidak membantu orang lain (untuk kreatif), orang tidak mau mendengarmu. Apakah itu terjadi di kelas?

Mahasiswa sering bercerita bukan tentang pemikiran dosen mereka, tetapi tentang kepribadian dosen. Pelabelan adjective terjadi, “Dosen yang itu, orangnya lucu tetapi nilainya susah, harus selalu hadir, dan banyak tugas”, “Dosen yang ini sukanya mengejek tetapi nggak pernah memberikan pencerahan”. Lebih banyak, dosen dikenal dengan curriculuum vitae dan kepribadiannya. Berapa persen yang membahas pemikiran dan karya dosen?

Waldorf: Ketrampilan Praktis

Waldorf menggagas sekolah yang mengutamakan “ketrampilan praktis”.

Setiap buka website, baca buku, menonton YouTube saya selalu ingin menjawab pertanyaan sekaligus menyimak pengetahuan baru. Setiap belajar 1 session (misalnya 2-4 SKS), bertanyalah kepada diri sendiri, “Skill praktis apa yang saya dapatkan di session ini?”.

Kalau tidak ada ketrampilan praktis yang bisa saya pertajam, berarti saya gagal di session ini. Berarti ada masalah, entah di tekad, metodologi, atau uji-coba yang saya lakukan. Inilah moment di mana seseorang tertantang mencari informasi (dan pengajar) terbaik.

Pengajar tidak harus tahu segalanya. Ia hanya perlu “membuka pintu”, mengantar sampai di situ. Ruang ilmu adalah penjelajahan dan privasi antara orang yang belajar dan ilmu itu. Temuan orang bisa berlainan. Murid bisa lebih pintar melampaui gurunya.

Dalam 2-4 jam, orang bisa mempelajari banyak hal. Ini bersifat metodologis, yang penting dalam belajar ada bekal yang bisa ia pakai untuk “survive”.

Orang tidak bisa kreatif jika tidak mendapatkan pelajaran “metode berpikir”. Memikirkan bagaimana pikiran bekerja, wajib diketahui mereka yang belajar.

Apa bedanya “convergent” dan “divergent”? Apa saja “kesalahan berlogika” (logical fallacy) yang harus dihindari dalam berpikir? Bagaimana mengambil keputusan? Bagaimana mempertajam ingatan? Bagaimana membaca cepat dan efisien? Website dan channel mana saya yang tepat untuk silabi pembelajaran saya? Bagaimana cara menyajikan gagasan dalam bentuk presentasi dan tulisan? Dalam belajar, saya membuat tulisan-tulisan di atas sebagai dokumentasi “self-help”, agar mereka bisa membaca jawaban atas pertanyaan di atas, jika ada yang membutuhkan. Sekali lagi, materi seperti itu jarang dipelajari di awal belajar.

Kalau guru seni memberikan prinsip-prinsip bagaimana bermain gitar (menunjukkan pintu dan jendela ke arah pemandangan luas), berikutnya, siswa bisa belajar bermain gitar. Kalau rutin sehari belajar seperti bermain di depan YouTube selama 4 jam sehari, perkembangannya akan bagus sekali. Orang tidak akan pintar (dan progress melambat) kalau hanya diberi saran “Belajarlah yang rajin”. Mana pintunya? Pemandangan macam apa yang bisa saya jelajahi? Itulah 2 pertanyaan untuk pengajar, agar siswa mereka kreatif.

Reggio Emilia: Project dan Problem Solving

Reggio Emilia, menggagas sekolah yang berbasis pada “project” dan “problem solving” (menyelesaikan masalah).

Saya mengadopsi gagasan ini ketika belajar. Workshop, pada dasarnya sama. Misalnya, saya menjalankan workshop fotografi dan videografi. Apa yang terjadi? Peserta dengan latar belakang berbeda-beda, berdasarkan psikografi dan demografi. Kepentingan, umur, pengalaman, sudah berbeda sejak awal. Mereka mau bersatu kalau ada project bersama dan menyelesaikan masalah bersama.

Saya berikan contoh, bagaimana sebuah project terjadi, dalam suaru pembelajaran berbentuk workshop. Ada sekelompok orang ingin belajar menulis berita, namun, basis mereka tidak suka menulis. Bahkan mereka tidak mau mendengarkan “ceramah” tentang prinsip-prinsip menulis berita. Mereka lebih suka fotografi dan jalan-jalan. Jadi, kalau saya datang membawa makalah dan slide presentasi, mereka pasti lari.

Project dimulai. Tentukan dulu, project apa yang mau dibuat. Menulis berita singkat dan fotografi. Nanti harus ada hasil, berupa: berita dan foto. Sekolah selalu minta adanya “output”, hasil dari pembelajaran ini.

Apa masalah yang akan diselesaikan? Masalah menulis berita dan fotografi.

Project bisa dimulai. Semua orang pamer foto, ulas bersama. Bisa ditebak, kebanyakan dari mereka asal memoteret. Mereka melakukan kesenangan pertama dalam belajar, yaitu: melakukan “kesalahan”. Tentu saja ini bukan masalah.

Ketika mengulas foto itu, sebenarnya saya sedang berbicara tentang prinsip fotografi. Tidak usah pakai penjelasan yang susah dipahami, berikan contoh, minta mereka memotret lagi. Kalau sudah lumayan bagus, baru meminta mereka bercerita tentang foto itu.

Saya meminta mereka menulis caption. Sebenarnya, saat ini, mereka sudah menulis. Dasar menulis adalah “bercerita” (menyampaikan imajinasi), sedangkan dalam berita, cerita ini harus berdasarkan fakta.

Caption mereka kemudian kita ulas bersama. Apakah 5W+1H telah terpenuhi? Bagaimana sudut-pandang berita (news angle) di tulisan ini? Gali fakta, validasi, berikan 2 narasumber yang berbeda suara agar berita berimbang. Dari caption akan berkembang menjadi berita singkat.

Kalau memakai metode konvensional (ceramah dan penugasan), lalu menghakimi karya mereka), dengan alasan waktunya kurang, hasilnya: mereka menjadi individualistis (tidak mau bekerja sebagai kelompok) dan sebagian besar tidak mau belajar sendiri.

Untuk project, sediakan selalu materi yang bisa mereka baca sendiri.

Berbekal pengetahuan dasar, mereka akan belajar sendiri. Mereka bisa menyelesaikan masalah sendiri, tanpa intervensi orang lain dan [semoga] “life card” mereka masih tetap utuh, tidak terpakai.

Dalam kehidupan dan dunia kerja, keadaan hampir mirip seperti itu, di mana kamu berada di kantor dengan latar-belakang rekan kerja berlainan, berbagi tugas, yang pintar mengajari yang belum bisa, dst.

“Project” merupakan penyatuan latar-belakang dalam bentuk kerja bersama. Beberapa materi bisa disatukan, lebih hemat waktu. Project memamerkan hasil, ada “output”. Project menanamkan disiplin. Project inilah yang kelak menjadi dunia kerja yang penuh masalah mendadak. Project mempertanyakan apa kata buku.

Project membuat orang bertanya, “Saya belajar _apa saja_ dari project ini? Apakah saya bisa bekerja sama dengan orang lain yang berbeda latar belakang? Bisakah saya mengembangkan ide project ini menjadi ide lain?”.

Masalah adalah kejelasan. Kalau memiliki masalah, orang bisa fokus, memiliki tujuan selama sedang belajar. Masalah adalah pintu menuju penemuan (discovery) baru.

Masalah membuat orang bertanya, “Saya mau belajar apa, sekarang? Saya sedang mengatasi masalah apa? Apakah masalah ini mengantarkan saya untuk mempelajari solusi lain? Apakah saya bisa melakukannya dengan lebih baik?”

Mereka yang tahan-banting dalam belajar, seperti anak kecil yang menganggap 80% waktu mereka adalah belajar. Mereka senang, pantang menyerah. Anak kecil berkata, “Aku ingin menjadi ikan duyung agar bisa berenang terus” ketika ia sedang belajar berenang. Anak kecil tetap berangkat ke sekolah walaupun kawannya nakal kepadanya.

Mereka sebenarnya menetapkan “project” (misalnya, membuat origami pesawat terbang) dan menyelesaikan masalah.

Ketika anak kecil sengaja melakukan kesalahan, ia ingin berdialog, “Kalau begitu, tunjukkan saya cara yang lebih cepat dan tepat”.

Pengajar yang baik seperti “tombol panik” di mana orang bebas bertanya, setelah gagal mencari informasi. Sekalipun internet memberikan informasi melimpah, pengajar mempunyai tugas berat, membimbing mereka menghindari gangguan (distraction), memberitahukan di mana mereka bisa belajar sendiri. Ini berarti, pengajar harus mengikuti perkembangan informasi. Bukan melarang mereka berdekatan dengan internet.

Ada banyak hal yang tidak bisa dipelajari, selain dengan pengalaman. Networking, lobi, berbisnis, bermasyarakat, mengenal budaya lain, dan menjaga lingkungan hidup. Kelas saja tidak cukup.

Perbaiki metode belajar kamu sejak sekarang. Selamat belajar. [dm]