SEMARANG – Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) menentang keras upaya intervensi asing yang berusaha mengobrak-abrik masa depan petani Indonesia. Upaya serangan asing tersebut digelontorkan melalui Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau atau World Health Organization Framework Convention on Tobacco Control (WHO FCTC) yang berusaha dimasukkan ke dalam sistem pemerintahan Indonesia, sehingga nantinya agar menjadi kebijakan resmi pemerintah Indonesia.
Isi FCTC itu salah satunya adalah wacana petani tembakau akan dialihkan untuk menanam tanaman lain. Termasuk pengendalian tentang regulasi rokok. Meskipun FCTC ini belum diratifikasi dan ditandatangani, namun fakta yang terjadi berbagai isi aturan tersebut telah diberlakukan. “Ini yang membuat petani tembakau Indonesia resah,” kata Ketua Asosiasi Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Suseno, Minggu (12/11/2017).
Sebab, kata dia, adanya pemberlakuan regulasi ini oleh melalui berbagai aturan, perda, pelarangan iklan, peringatan ‘rokok membunuhmu’ dan seterusnya, baik untuk tembakau maupun rokok saat ini berdampak serius. Bahkan beberapa tahun belakangan ini terjadi penurunan konsumsi rokok beruntun sejak 2015-2016, yakni konsumsi rokok sebanyak 344 miliar batang selama setahun, turun menjadi 340 miliar batang dalam setahun, atau turun 4 miliar batang. “Di tahun 2017 ini terjadi penurunan kurang lebih 6 miliar batang,” katanya.
Dampak dari penurunan konsumen rokok ini secara otomatis mengakibatkan serapan tembakau dari petani mengalami penurunan. Hal ini mengakibatkan petani tembakau tercekik. Padahal sektor tembakau ini menghasilkan pendapatan negara yang sangat besar. “Anehnya, kebutuhan tembakau di Indonesia tidak dipenuhi oleh tembakau Indonesia sendiri, karena pemerintah juga masih mengizinkan impor tembakau dari luar negeri,” ungkapnya.
Di sisi lain, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mengeluarkan wacana bahwa petani diharapkan tidak menanam tembakau dan diganti dengan tanaman lain. Nantinya, ada rencana petani diberikan bantuan kambing dan diarahkan untuk menanam tanaman selain tembakau. “Saya nggak tahu apakah wacana itu benar atau tidak. Yang jelas, kebutuhan tembakau kita sebanyak 300 ribu ton per tahun. Kalau tidak menanam tembakau, maka semuanya akan impor. Kalau impor 300 ribu ton, berapa devisa kita yang hilang? Sudah petani rugi, kesajahteraan turun, devisa kita juga hilang,” ungkapnya.
Padahal, secara ekonomi, kata Suseno, sektor tembakau ini menyumbangkan pajak-cukai sangat besar kepada pemerintah, yakni kurang lebih Rp 150 triliun. Bahkan nilainya berkali lipat dibandingkan dari laba freeport yang hanya dalam kisaran Rp 20 triliun hingga Rp 23 triliun. “Bahkan laba seluruh BUMN di Indonesia saja nilainya hanya mencapai Rp 44 triliun,” katanya.
Maka dari itu, pihaknya meminta kepada pemerintah agar pertanian tembakau mendapat perlindungan. Karena saat ini, petani resah atas munculnya wacana dari Menteri Keuangan, Sri Mulyani tersebut. “Petani seringkali menghadap ke pihak otoritas agar pemerintah jangan menandatangani FCTC tersebut. Bahkan sejak 2010, petani tembakau Indonesia telah menolak dengan menyerahkan 50.000 tanda tangan. Indonesia menjadi salah satu negara yang belum menandatangani FCTC ini, termasuk Amerika Serikat. Cina sudah menandatangani FCTC, tetapi masih menanam tembakau dengan jumlah cukup besar,” katanya. (Abdul Mughis)
Editor: Ismu Puruhito