in

Meski Overkapasitas, Jual Beli Kamar Lapas Tidak Ditemukan di Jateng

Kepala UPT diperintahkan untuk tidak melakukan pungli dalam bentuk apapun.

Ilustrasi jeruji besi. (dokumen jatengtoday.com)

SEMARANG (jatengtoday.com) — Beberapa waktu lalu sempat ramai adanya praktik jual beli kamar di dalam penjara. Temuan terakhir terjadi di Lapas Kelas I Cipinang Jakarta Timur dan Lapas Kelas I Tangerang.

Ada narapidana yang mengaku harus membayar uang agar bisa mendapatkan alas tidur dan kamar di kedua lapas itu. Tarifnya pun mencapai jutaan rupiah. Berdasarkan informasi, lapas tersebut sudah over kapasitas.

Lapas dan Rutan di Jawa Tengah juga banyak yang over kapasitas. Bahkan, beberapa penjara ada yang menampung dua kali lipat dari kapasitas nolmal.

Meskipun begitu, Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Jateng A Yuspahruddin menjamin di wilayah kerjanya tak ada praktik jual beli kamar atau sewa alas tidur.

“Cipinang itu tingkat over load-nya luar biasa, di Jateng tidak sampai seperti itu, tidak ada warga binaan lapas (napi) tidur harus bayar. Saya belum pernah dengar hal seperti itu,” ucapnya, Rabu (9/2/2022).

Selama ini Kakanwil Kemenkumham Jateng selalu memerintahkan kepala UPT untuk tidak melakukan pungutan liar (pungli) dalam bentuk apapun.

“Semua layanan pemasyarakatan bagi warga binaan itu gratis, tidak boleh berbayar. Pasti akan saya periksa kalau itu terjadi,” tegas Yuspahruddin.

Fasilitas Handphone

Melansir dari antara, dugaan jual beli kamar tahanan ini mencuat setelah ada pengakuan warga binaan Lapas Kelas I Cipinang Jakarta berinisial WC yang menyebutkan para narapidana dapat memiliki telepon seluler pribadi dengan cara membayar ke oknum petugas yang membantu penyelundupan.

Namun informasi itu sudah dibantah Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham DKI Jakarta Ibnu Chuldun. “Informasi ini tidak benar,” kata Ibnu Chuldun di Jakarta, Jumat (4/2/2022).

Sebelumnya, WC mengatakan untuk dapat menyelundupkan telepon seluler para narapidana harus mengeluarkan biaya antara Rp1,5 sampai Rp2 juta.

“Harganya bervariasi, antara Rp1,5 sampai Rp2 juta. Nanti setelah ‘handphine’ masuk juga enggak langsung keluarga yang kasih. Dikasih dulu ke tahanan pendamping (tamping) baru ke napinya. Intinya uang tutup mata petugas,” ujar WC.

Dia mengatakan, pihak Lapas Cipinang menyediakan layanan komunikasi agar narapidana bisa menghubungi pihak keluarga, tapi tidak setiap hari diberikan dan waktunya dibatasi.

Biasanya, para napi berkomunikasi dengan keluarganya untuk sekedar memberi kabar hingga meminta kiriman uang agar bisa memenuhi kebutuhan hidup selama di Lapas.

“Di sini kan untuk beli rokok dan sebagainya butuh uang. Kalau untuk yang enggak punya ‘handphone’ juga ada bantuan dari petugas. Jadi kita pinjam ‘handphone’, setiap telepon bayar,” kata WC.

Dia mengatakan, tarif yang dipatok oleh oknum petugas untuk meminjamkan telepon seluler ke WBP bervariasi, mulai dari Rp50 ribu hingga Rp100 ribu per satu kali telepon dengan waktu penggunaan dibatasi.

Menurutnya, mayoritas warga binaan pemilik telepon seluler selundupan merupakan bandar narkoba dengan masa tahanannya di atas lima tahun. Para bandar itu butuh telepon untuk menjalankan bisnisnya dari dalam.

“Kalau bandar itu kan mereka butuh ‘handphone’ untuk bisnisnya. Sebenarnya ini rahasia umum untuk orang yang pernah dipenjara. Apalagi untuk bandar narkoba besar,” tutur WC. (*)

editor : tri wuryono

Baihaqi Annizar