“Aktivitas mencari emas dilakukan warga sejak 2010 silam. Banyak sekali benda-benda kuno ditemukan warga. Kala itu, kesadaran warga masih kurang. Sehingga temuan fosil hanya tergeletak di tepi sawah dan tidak dirawat,”
GROBOGAN (jatengtoday.com) – Sekilas tak tampak wajah istimewa yang membalut kehidupan Desa Banjarejo, Kecamatan Gabus, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah itu. Hal yang melekat di Banjarejo justru menjadi sebuah desa miskin, terpencil dan tertinggal. Lokasinya berada di wilayah pedalaman yakni 10 kilometer dari jalan raya Purwodadi-Gabus.
Kurang lebih 6.255 penduduk dengan mata pencaharian sebagai petani tadah hujan. Tingkat pendidikan rata-rata warga juga terbilang rendah. Mereka menempati lahan seluas 1.320 hektar, terbagi tujuh dusun, yakni Ngrunut, Nganggil, Barak, Kuwojo, Peting, Kedungjati dan Medang.
Uniknya, warga masih melestarikan arsitektur rumah tradisional. Entah mengapa rata-rata rumah warga—yang didominasi berbahan kayu, menghadap utara dan selatan. Di depan rumah warga mudah ditemui gundukan jerami persediaan pangan ternak.
Tetapi siapa menyangka, di balik kesederhanaan itu, Desa Banjarejo yang sunyi senyap ini menyimpan berbagai riwayat peradaban panjang. Salah satunya penemuan struktur bangunan mirip benteng kerajaan yang saat ini masih terkubur di lahan sawah milik warga.
Temuan situs kuno tersebut sedikit menyibak tabir misteri—bahwa Desa Banjarejo diperkirakan pernah menjadi pusat Ibukota Nusantara di masa Kerajaan Medang Kamulan tahun 900-1500.
Meski belum ditemukan bukti prasasti. Tetapi ada dugaan riwayat situs ini lebih tua dari Ibukota kerajaan terbesar, Majapahit, dalam sejarah Nusantara di Kabupaten Mojokerto dan Jombang Jawa Timur.
Tidak hanya itu, di lain sisi juga ditemukan situs purbakala yakni berbagai tulang belulang hewan pra sejarah terkubur di dalam tanah Desa Banjarejo. Selain itu juga ditemukan bekas pengeboran minyak peninggalan zaman Kolonial Belanda.
“Ada tiga potensi besar di Desa Banjarejo. Pertama, situs sejarah kerajaan kuno yang diduga merupakan Medang Kamulan. Kedua, penemuan situs purbakala berupa tulang belulang hewan pra sejarah. Ketiga, bekas pengeboran minyak peninggalan zaman Kolonial Belanda,” ungkap Kepala Desa Banjarejo, Achmad Taufik, Jumat (12/10/2018).
Berdasarkan hasil riset para peneliti, kata Taufik, situs purbakala yang ditemukan di Desa Banjarejo diperkirakan berusia 300.000 hingga 2 juta tahun yang lalu. “Peradaban aksara Ha-Na-Ca-Ra-Ka diperkirakan bermula dari Desa Banjarejo,” klaimnya.
Jejak situs peninggalan kerajaan kuno yang ditemukan 2015 tersebut hingga kini posisinya masih berada di dalam tanah. Wujudnya berupa struktur batu bata berukuran besar, yakni 40 x 20 x 9 cm. Bangunan tersebut menyerupai bentuk benteng kurang lebih sepanjang 200 meter terkubur dalam tanah.
“Awalnya, warga melakukan penggalian tanah untuk mencari emas di lahan persawahan, kemudian ditemukan bangunan yang terpendam di dalam tanah,” katanya.
Warga di kampung tersebut memang memiliki aktivitas unik yakni menggali atau menambang emas di lahan sawah kurang lebih seluas 20 hektar. Terutama ketika datang musim penghujan yang membuat sawah berlumpur. Tak jarang, warga mendapat emas berbentuk serbuk, koin kuno, bunga emas, tulang belulang, perhiasan kerajaan dan gerabah kuno era Hindu-Buddha.
“Aktivitas mencari emas dilakukan warga sejak 2010 silam. Banyak sekali benda-benda kuno ditemukan warga. Kala itu, kesadaran warga masih kurang. Sehingga temuan fosil hanya tergeletak di tepi sawah dan tidak dirawat,” katanya.
Lebih lanjut, kata Taufik, kabar mengenai banyaknya temuan benda-benda kuno itu terdengar di telinga kolektor barang antik. Para kolektor menyambangi warga dan membeli benda-benda kuno itu secara ilegal.
“Banyak warga menemukan fosil, lalu dijual ke kolektor tersebut. Sejak Agustus 2015, kami berinisiatif melakukan pelestarian fosil. Pertama kali dilakukan pelestarian adalah temuan tanduk kerbau purba,” katanya.
Aneka ragam temuan fosil purba yang lain terus berlanjut, baik jenis fauna laut maupun fauna darat di masa purbakala. Di antaranya temuan fosil Gajah Purba Stegodon yang diperkirakan hidup pada 1,2 juta tahun silam. Selain itu, ditemukan benda kuno seperti bunga emas, lesung, pipisan, gandik, yoni, peti mati kayu, uang koin Cina, perhiasan-perhiasan dari emas, fragmen guci, keramik, tembikar dan lain-lain.
“Banyaknya temuan fosil, warga berinisiatif membentuk komunitas pencinta fosil. Saat ini, kami memiliki rumah fosil yang menampung lebih dari 500 fosil. 90 persen benda fosil ditemukan oleh komunitas pecinta fosil. Sebagian lainnya ditemukan warga,” katanya.
Untuk temuan fosil Purbakala, kata Taufik, tim Balai Pelestarian Situs Manusia Purba (BPSMP) Sangiran sangat antusias untuk bertindak cepat melakukan penelitian. Sehingga temuan-temuan fosil telah dilakukan identifikasi.
“Sejak 27 Oktober 2016, Desa Banjarejo ditetapkan sebagai Desa Wisata oleh Bupati Grobogan,” katanya.
Sejak saat itulah, Banjarejo seperti memiliki wajah baru. Desa miskin dan tertinggal ini mulai bangkit dan mampu mencuri perhatian publik. Warga membentuk Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) untuk mengembangkan Desa Wisata Banjarejo.
“Kami membangun destinasi wisata Taman Patung Ganesha Tidur di lingkungan Balai Desa Banjarejo. Alhamdulillah, perkembangannya sangat menggembirakan. Ribuan pengunjung dari berbagai daerah telah datang di desa kami,” katanya.
Sejak dibuka pada Lebaran 2018 lalu, Patung Ganesha Tidur berwarna keemasan, berukuran panjang 11 meter, lebar 1 meter dan tinggi 4,5 meter itu tak pernah putus pengunjung. “Setiap hari minimal 100 pengunjung, hari Minggu rata-rata 1.000 pengunjung,” katanya.
Pokdarwis desa setempat selaku pengelola memberi tarif masuk Rp 5.000 per orang dewasa dan pelajar Rp 3.000. “Sekarang desa kami ramai, hampir setiap hari balai desa dikunjungi wisatawan dari berbagai daerah. Respons dari Pemerintah Kabupaten Grobogan juga cukup baik. Di antaranya didukung dengan pembangunan infrastruktur akses jalan menuju Desa Banjarejo,” katanya.
Diprioritaskan 2019, akses jalan menuju Desa Banjarejo selesai dibangun menggunakan cor beton. “Selain itu, Pemkab Grobogan juga membeli lahan untuk dibangun museum lapangan, tempat fosil ditemukan. Sementara 2018 ini seluas 3.200 meter persegi, nanti 2019 rencananya ditambahi 3.200 meter per-segi. Saat ini sedang disiapkan Detail Engineering Design (DED),” katanya.
Festival Jerami, Malam Seribu Uplik
Warga hingga kini terus melakukan inovasi event untuk meramaikan Desa Wisata Banjarejo. Salah satunya “Festival Jerami Banjarejo” yang dihelat 17-28 Oktober 2018 mendatang di Lapangan Dusun Barak, Desa Banjarejo, Kecamatan Gabus, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.
“Event ini bakal diisi dengan ngaji budaya, diorama jerami (replika raksasa hewan purba terbuat dari Jerami), pentas seni, reog dan barong, live musik angklung Malioboro “Carehal”, perform batik carnaval, dan akan dipuncaki dengan malam seribu uplik (lampu tradisional),” kata Taufik.
Meski demikian, Taufik mengakui masih banyak potensi besar yang belum tergarap maksimal. Temuan situs struktur batu bata kuno yang diduga jejak Kerajaan Medang Kamulan, hingga kini belum tergarap. “Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) sendiri selama ini tidak ada respons untuk menindaklanjuti temuan peninggalan situs kerajaan kuno tersebut,” katanya.
Hasil identifikasi sementara, terang Taufik, temuan bangunan tersebut diprediksi menjadi batas kerajaan dengan permukiman. “Tim peneliti sendiri belum berani menyebut bekas kerajaan, karena belum memiliki bukti prasasti. Mereka hanya menyimpulkan bahwa di wilayah tersebut pernah ada permukiman atau peradaban yang sangat maju dan padat penduduk di masa silam,” katanya.
Berdasarkan hasil kajian para peneliti, lanjutnya, diperkirakan peradaban tersebut terjadi antara tahun 900 hingga 1500. “Jadi, peradaban di Desa Banjarejo ini diperkirakan lebih tua, atau terjadi sebelum masa Kerajaan Majapahit dan perkembangan Islam,” bebernya.
Selain itu, situs lain yang belum tergarap maksimal adalah “Buran Londo”, bekas pengeboran minyak peninggalan zaman Kolonial Belanda dan Petilasan Batu Pasujudan Aji Saka. Buran Londo lokasinya di perbukitan, sebuah tegalan milik warga, kurang lebih berjarak sekitar 2 kilometer dari permukiman warga. Hanya hanya memiliki jalan dua tapak menjadi akses masuk satu-satunya.
“Mungkin dulu ditinggalkan begitu saja oleh Belanda karena hanya memiliki kadar minyak 0,5 persen,” katanya.
Tumbuhkan Ekonomi Masyarakat
Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Banjarejo, Sudarto, mengakui hingga saat ini pengelolaan Desa Wisata Banjarejo masih banyak kekurangan karena masih tahap pengembangan Taman Ganesha Tidur.
“Tetapi dampaknya bagi masyarakat cukup menggembirakan. Termasuk menumbuhkan ekonomi masyarakat secara bertahap,” katanya.
Banyak warga mulai berinisiatif untuk membuka usaha dagang, karena setiap minggu ada ribuan pengunjung datang. “Sedikitnya ada 12 warga yang mendirikan usaha dagang. Kendalanya, pengalaman dalam pengelolaan Desa Wisata minim karena memang baru kali ini. Tetapi kesadaran warga mulai tumbuh,” katanya.
Sementara itu, Ketua Komunitas Peduli Fosil Desa Banjarejo, Budi Setyo Utomo mengatakan struktur tanah memanjang kurang lebih 5 kilometer di Banjarejo mulai dari Dusun Peting (barat) hingga Dusun Nganggil (timur) memiliki potensi fosil. Termasuk dataran tinggi di sebelah utara desa juga ada potensi fosil.
“Berdasarkan hasil temuan fosil, peradaban di Banjarejo ini terlihat menyambung sejak peradaban purba atau pra-sejarah hingga peradaban sejarah nusantara kuno. Bisa dilihat dari struktur lapisan tanah paling bawah adalah fosil, kemudian di lapisan atasnya banyak ditemukan gerabah peradaban Hindu-Buddha,” ungkapnya.
Benda kuno seperti bunga emas, lesung, pipisan, gandik, yoni, peti mati kayu, uang koin Cina, perhiasan-perhiasan dari emas, fragmen guci, keramik, tembikar dan lain-lain. “Menurut peneliti, benda-benda perabotan itu merupakan peninggalan Dinasti Tan,” katanya.
Patahan Lempeng Dasar Laut, Ditemukan Gigi Hiu
Menurut hasil kajian para peneliti, kata Budi, Banjarejo dulunya merupakan lautan. Perkembangan waktu, wilayah tersebut menjadi daratan akibat lumpur karbonat dari Gunung Kendeng Utara dan Kendeng Selatan. Saat ini, jarak ke laut Jawa di sebelah utara kurang lebih 75 kilometer.
“Lumpur tersebut bisa saja terbawa banjir mengisi wilayah Banjarejo sehingga menjadi daratan. Yang paling aneh, gigi ikan Hiu ditemukan di lapisan tanah paling tinggi,” katanya.
Wilayah tersebut menjadi daratan bukan akibat vulkanik atau gunung meletus, tetapi merupakan akibat tektonik. “Artinya, diduga ada lempengan dasar laut patah. Sebagian naik ke permukaan, sebagian turun. Mungkin, di Banjarejo dataran tinggi adalah bagian dasar laut yang naik. Itu terjadi di masa zaman Purba. Bisa juga akibat terjadi gempa bumi. Kalau Sangiran itu akibat vulkanik,” terangnya.
Bukti temuan saat ini terdapat 500 lebih fosil terdiri atas 15 spesies hewan laut dan darat yang telah teridentifikasi. Fauna laut ditemukan gigi Hiu purba, kura-kura, moluska, kerang, dan kudanil. Sedangkan untuk Fauna darat ada kerbau, banteng, babi, gajah, rusa, badak, serigala dan lain-lain.
“Selain itu masih banyak fragmen potongan tulang belulang yang belum teridentifikasi. Ditemukan juga alat serpih yang diduga digunakan oleh manusia purba,” katanya.
Sedangkan mengenai jejak situs bangunan kerajaan memang ada legenda yang dipercaya masyarakat secara turun temurun. Kerajaan tersebut bernama Medang Kamulan dengan tokoh Raja yang terkenal bernama Prabu Dewata Cengkar dan Aji Saka.
“Bukti-bukti perhiasan, perunggu, emas dan lain-lain memang ditemukan. Tetapi untuk dikaji secara ilmiah mengenai Kerajaan Medang Kamulan ini belum dilakukan. Sehingga belum bisa dibuktikan secara ilmiah, tetapi sudah ada legenda dan jejak-jejak pendukung,” katanya.
Budi, termasuk masyarakat setempat memercayai bahwa fosil di tanah tersebut memilik kekuatan ghaib. “Fosil memiliki penunggu ghaib, itu kepercayaan masyarakat sini. Komunitas kami bekerja siang malam untuk menyelamatkan fosil dari ancaman kolektor,” katanya.
Keberadaan situs Banjarejo juga membuat sejumlah tokoh menyambangi kampung tersebut. Di antaranya Sujiwo Tedjo, Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun, hingga seorang Arkeolog Museum National d’Histoire Naturelle Prancis, Profesor Francois sempat berkunjung di desa yang berjarak kurang lebih 40 kilometer sebelah timur Kota Purwodadi itu.
Salah satu Pengkaji Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah, Bagus, mengatakan pihaknya telah melakukan melakukan inventarisasi terkait temuan situs Medang di Desa Banjarejo, Kecamatan Gabus, Kabupaten Grobogan tersebut pada 2012.
“Survey di permukaan aja. Sampai sekarang belum ada tindak lanjut. Kami tugasnya cuma melakukan inventarisasi dan mengajukan rekomendasi. Kalau kemudian kebijakannya belum dilaksanakan kami nggak bisa apa-apa. Kami melakukan investarisasi cagar budaya tidak bergerak. Salah satunya adanya informasi situs Medang itu. Yaudah, kami kemudian melakukan pemotretan, informasi kami tampung dan kami sampaikan ke dalam laporan. Itu saja,” katanya.
Ibukota Kerajaan Mataram Kuno
Pakar Sejarah Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Eko Punto Hendro mengaku pernah meninjau lokasi situs Banjarejo. “Saya pernah lihat laporannya. Itu sudah dilakukan penggalian dan diteliti. Hanya saja hingga sekarang belum dilanjutkan. Banjarejo ini unik, karena ditemukan situs beberapa zaman. Mulai zaman pra sejarah, Hindu-Buddha dan zaman Islam,” katanya.
Temuan struktur bangunan yang terkubur di dalam tanah sawah milik warga tersebut, menurut dia, bisa jadi merupakan peninggalan Kerajaan Medang Kamulan. Apalagi di daerah tersebut juga ada nama Dusun Medang.
“Sebetulnya, beberapa prasasti sebelumnya telah disebutkan nama “Medang”. Bahkan di prasasti Temanggung dan Magelang, “Medang” disebut sebagai Ibukota Mataram Kuno, Raja Sailendra dahulu. Ya, jelas lebih tua dari Majapahit. Ini sama (se-zaman) dengan Borobudur kurang lebih abad ke-9,” katanya.
Meski di beberapa prasasti telah disebut nama “Medang”, lanjut dia, tetapi selama ini tidak diketahui di mana letak Ibukota Medang masa Kerajaan Mataram Kuno tersebut berada.
“Ini malah ditemukan situs di Banjarejo Grobogan. Apalagi cerita rakyat tentang Medang Kamulan di daerah situ juga ada, yakni Raja Dewata Cengkar dan Aji Saka. Entah betul atau tidak, riwayat Tahun Saka Tahun Jawa, Hanacaraka—menurut legenda juga berasal dari situ,” katanya.
Pemerintah mestinya menindaklajuti temuan situs Banjarejo yang diduga merupakan peninggalan Kerajaan Medang Kamulan. “Ini menjadi situs yang memiliki nilai sejarah besar. Sebab, Medang merupakan Ibukota Kerajaan Mataram Kuno yang hingga sekarang masih dicari-cari,” katanya. (*)