in

Andai Menteri Pendidikan Kita adalah Godse

Tentu para sarjana tidak takut pertanyaan, “Apa kualifikasi pendidikanmu? Apa pekerjaanmu?”

(Credit: sorbetto)

Beberapa film India rilisan tahun 2020 ke atas untuk semua genre, hampir dapat dipastikan mengalami perubahan pola adegan yang drastis dan radikal, artinya dalam konteks ini lebih kepada adegan yang mirip Hollywood, tidak menabukan ciuman.

Mitos ciuman tidak pernah terpecahkan di film-film India baru. Saya bukan juga termasuk pencintan film India, kecuali genre action. Film India terlalu dianggap sangat dramatis dan melodramatis.

Saya pernah menulis “Mencari Satyameva Jayate yang Hilang di Perguruan Tinggi” (terbit di Terminal Mojok, 29 Desember 2019). Realitas pendidikan tinggi kita mirip film Satyameva Jayate, dari segi tata kelola sistem pendidikan yang tidak berpihak pada aspek keadilan melainkan kekuatan yang menjadi motor utama, sebagai pengendali sistem.

Tulisan saya sekarang ingin melanjutkan pembahasan itu, berdasarkan refleksi dari film India “Godse” (2022), genre action, yang punya kemiripan dengan realitas sistem pendidikan di Indonesia. Film ini bercerita tentang korupsi, yang menjadi penyebab utama kesengsaraan masyarakat di setiap negara. Koruptor di film ini, berasal dari orang-orang pemerintahan sendiri.

Ada adegan yang mengingatkan kembali, bagaimana korupsi menjadi penyebab utama kehancuran negara.

“Aku meninggalkan negaraku Inggris hanya untuk melakukan kebaikan di India. Aku ingin menciptakan banyak lapangan pekerjaan agar para lulusan sarjana tidak kesulitan ekonomi. Namun, kalian para “tikus-tikus negara” memperkaya diri dengan merampok uang rakyat. Gara-gara kalian “tikus-tikus negara” hanya 6% sarjana yang bisa bekerja dengan layak 94% lainnya tidak bekerja sesuai kompetensi dan mengalami kesulitan ekonomi. Kalian para “tikus-tikus negara” selalu membohongi rakyat dengan caption-caption indah yang kalian buat di sosial media melalui buzzer politik yang kalian bayar demi sebuah jabatan”.

Godse, seorang pengusaha sukses di Inggris, dalam film itu, memutuskan untuk berinvestasi dan membangun beberapa perusahaan di India dengan tujuan agar teman-temannya semasa sekolah yang saat ini menjadi pengangguran setelah menyelesaikan studi di perguruan tinggi dapat bekerja. Kebanyakan kawannya lulusan terbaik di perguruan tinggi dan memiliki potensi dan kecerdasan mumpuni.

Kejadian yang membuat Godse terpukul saat salah satu temannya yang semasa sekolah bercita-cita menjadi ilmuwan hingga akrab disapa “ilmuwan” memutuskan bunuh diri dengan cara menjatuhkan diri dari gedung akibat depresi karena belum mampu membantu perekonomian keluarganya di kampung. Ia hanya berprofesi sebagai pekerja serabotan dan tukang bangunan di kota.

Reuni berubah menjadi duka, ketika jenazah Sang “Ilmuwan”, yang bernama Rajaram, tiba di lokasi. Seorang kawan bertanya, “Apa kualifikasi akademikmu?”. Kawannya menjawab, “Magister Teknologi”. “Apa pekerjaanmu sekarang?”. Dia menjawab, “Aku adalah agen asuransi jiwa”. Ada lagi yang menyebut, kualifikasi pendidikannya sarjana teknologi, sekarang bekerja mengurus peternakan sapi perah ayahnya”. Ada lagi kawan yang terkenal cerdas, mendapatkan pertanyaan sama. Dia menjawab, “Aku seorang tutor di sebuah pusat pelatihan”. Dia menjawab sambil menangis. Pertanyaan yang sama, beredar kepada hampir semua orang.

Lalu ada jawaban mengejutkan:

“Aku belajar keras dan menyelesaikan gelar Sarjana Teknologi. Setelah melakukan segala upaya, aku akhirnya menjalankan sebuah restoran tepat di depan sekolahku. Sementara itu kita percaya bahwa Rajaram akan menjadi ilmuwan besar. Semua studi, gelar, dan medalinya tidak berguna baginya. Dia akhirnya bekerja sebagai tukang cat bangunan. Dia tidak tahan. Dia tidak tahan dan bunuh diri! Sistem seperti apa yang kita tinggali? Apa yang kita pelajari dan apa yang kita kerjakan?”

Kutipan dialog film itu sangat emosional, mempertanyakan apa yang terjadi ketika mereka mengejar pendidikan setinggi- tingginya dengan harapan agar dapat bekerja dengan layak di kemudian hari, namun yang terjadi sebaliknya.

Jenazah Ragaram dimakamkan dengan memakai toga dan busana wisuda.

Adegan itu mengisyaratkan dua hal: kematian dan pendidikan.

Adegan-adegan selanjutnya, tindakan vigilantisme Godse untuk membasmi korupsi.

Pramoedya Ananta Toer pernah mengatakan, seorang sastrawan harus berani meneriakkan keadilan dan melawan penindasan melalui karya. Karya-karya Pramoedya menggambarkan penindasan, dehumanisasi, yang terjadi, sampai pernah dilarang beredar.

Menurut data BPS per Februari 2022, angka pengangguran di Indonesia semakin meningkat. Penduduk usia kerja berjumlah 208,54 juta orang dan 5,83% adalah pengangguran, serta 14% dari jumlah penduduk produktif kerja berasal dari lulusan diploma dan sarjana.

Belum lagi jika kita ulang pertanyaan di film “Godse”, “Apa kualifikasimu?” dan “Apa pekerjaanmu sekarang?”, kemungkinan besar: lebih banyak sarjana sekarang bekerja tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikan mereka.

Pada sisi lain, kasus korupsi semakin meningkat. Pada semester pertama tahun 2022, KPK telah menangani 99 korupsi. Sepanjang tahun 2004-2022, terdapat 1261 kasus korupsi yang terjadi di Indonesia dan 409 kasus terjadi di sektor pemerintahan pusat.

Seandainya sosok Menteri Pendidikan kita, seperti Godse, mungkin dia tidak akan biarkan ada korupsi yang merusak pendidikan di Indonesia. Kita juga mengharapkan, ada Godse lebih banyak di Indonesia, yang rela bangun perusahaan agar orang-orang bekerja sesuai kualifikasi. Kita lebih butuh karakter seperti Godse, tanpa harus bertindak dengan kekerasan dalam memberantas korupsi. Mungkin bukan hanya korupsi yang menurun, tetapi pendidikan gratis dapat sepenuhnya tercapai, atau memberikan utang produktif dengan kuliah dulu, bayar nanti setelah bekerja. Mungkin tidak ada lagi kisah mahasiswa yang harus mati-matian bayar kuliah dan mati karena bekerja. Termasuk kasus putus sekolah dan putus kuliah karena bayar terlalu mahal, tidak sesuai kemampuan ekonomi mereka.

Apalah daya, slogan “satyameva jayate”, yang berarti “hanya keadilan yang berjaya” di India, tidak berlaku dalam kehidupan semua negara.

Sungguh, kita semua ingin karakter Godse untuk generasi muda, untuk Indonesia. ▀

*) Askar Nur. Mahasiswa Magister Antropologi, Universitas Hasanuddin, tinggal di Makassar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *