YouTube bisa meng-upgrade dirimu ke versi yang lebih bagus, namun algoritma YouTube hanya mengikuti maunya para pengiklan.
Kawan saya ingin hidup di tahun 1950-an. Dekade di mana zat pengawet belum menjadi keharusan di makanan kemasan. Siswa sekolah menengah atas boleh membawa senapan angin. Bermotor masih bebas. Kerusakan lingkungan-hidup belum separah sekarang. Dan kalau kamu berkelahi di sekolah akan ada siswi lain yang menangisi kekalahanmu. Tidak perlu efek retro karena kamera masih analog, sekeliling retro apa adanya. Pakaian dengan pewarna alami (natural dye) masih melindungi kulit. Belum banyak penyakit yang membusukkan sistem pencernaan dan pernafasan.
Dekade 1950-an merupakan dekade konsumsi industri. Konsumerisme sedang menemukan dirinya.
Pada tahun 1957, di mana generasi muda Amerika mengalami krisis identitas, produk Pepsi mau bersaing melawan Coke. Pepsi mengunggulkan kualitas produknya, sementara Coke dengan setengah-harga Pepsi, sudah melambung dan menyenangkan orang Amerika. Gambar Santa Clause mendukung Coke, dikenal saat itu.
Baru pada tahun 1963, Pepsi meminta Alan Pottasch, sebagaimana ditulis Tim Wu dalam the Attention Merchants, untuk mengatasi masalah pemasaran. Alan mengambil langkah berani. Keputusannya, pemasaran tidak lagi menceritakan kualitas produk, tetapi berfokus kepada pengguna. Buatlah pengguna bermimpi tentang siapa diri mereka, buat imajinasi baru.
Pepsi mempromosikan “generasi” baru, dengan pesan yang bebas dari gaya konsumeris yang manipulatif, yang diabadikan media massa 1960-an.
Inilah kali pertama suatu merek mengandaikan identitas independen, yang sama sekali berbeda dari produknya. Konsumen melawan produk. Dan berhasil.
Strategi zaman analog itu masih awet sampai sekarang. Nggak penting lagi menceritakan kualitas, bahan, proses, dll. Tidak perlu membawa anak-anak atau dokter untuk menjelaskan kesehatan dan manfaat produk.
Banyak perusahaan rokok yang tidak lagi menampilkan “cita rasa”, menggunakan ikonografi dan tag line yang justru “bertentangan” atau tanpa-mengutip kualitas produk. Rokok menjadi ramah, menjadi sponsor acara olah raga, dan dekat dengan anak-muda.
Jika sudah sampai kepada hasrat, di situlah titik-akhir konsumerisme. Sentuh emosi, ego, dan keinginan, capailah hasrat, maka konsumen akan melakukan apapun. Hasrat tidak membutuhkan rasionalitas, tanpa perlu-alasan, “pokoknya saya ingin itu..”.
Hasrat, yang berdasarkan gagasan Sigmund Freud ini, yang menjadi landasan konsumerisme Amerika, berhasil diterapkan dalam strategi Pepsi.
Yang terjadi kemudian, orang mengkonsumsi bukan karena produknya, melainkan karena menginginkan versi yang lebih-baik dari dirinya.
Teori “persona” Jacques Lacan, memahami hal ini, sebagai kelanjutan kritik terhadap Freud, dengan analogi seorang anak kecil yang belum mengenal dirinya.
Anak kecil menganggap, orang yang di depannya (ibunya) adalah dirinya. Asumsi ini berhenti ketika ia melihat cermin bersama ibunya. Itulah pengetahuan baru yang mengubah hidupnya. Di depan cermin, barulah ia tahu, ia berbeda dari ibunya, ia mengerti dirinya sendiri. Namun, ia mengenal berdasarkan bayangan di cermin itu. Diri imajiner (imaginary self).
Cermin itu adalah pengetahuan seseorang ketika mengetahui bahwa YouTube bisa menjadi segalanya. Mau berekspresi dengan video, melampaui selfie biasa? Mau menjadi broadcaster, penyanyi cover, atau wartawan? Mau mereview produk? Atau belajar sampai menjadi ahli? Atau kampanye produk? Jembatan menuju kekuasaan baru?
YouTube berbeda dari televisi analog. Kalau televisi analog memberikan siaran tanpa feedback langsung, di YouTube terdapat komentar langsung, terjadi perbincangan.
Orang tidak dipaksa mengidolakan, tetapi bisa menjadi seperti idola mereka. Menjadi [seolah-olah] dirinya sendiri.
Singkatnya, banyak orang melihat “diri imajiner” (versi dirinya yang lain), bayangan yang sedang bergerak mengikuti sebagaimana bercermin, dan menjanjikan: kamu bisa lebih keren.
Ambil make-up itu, dandani dirimu di depan cermin, atau sama dengan belilah peralatan, mulailah siaran. Upload video kamu. Monetize this video, uangkan video ini.
Menemukan versi diri yang lebih baik, terjadi dalam “tindak mengkonsumsi”. Mengkonsumsi, berarti meng-upgrade diri.
Beberapa contoh di antaranya, seperti ini. Saya mewawamcarai beberapa orang tentang mengapa mereka “membeli”.
“Saya membeli Android 9 dan upgrade RAM untuk mendapatkan pengalaman bermain game bersama kawan-kawan.” “Saya baru mengerti, ternyata disiplin dan kecepatan menentukan langkah, dapat dilatih pada saat bermain pubg.” “Dengan kamera DSLR 4K, hasil foto saya tampak lebih riil, bahkan kelihatan lebih keren daripada aslinya.” “Besok kalau tabungan sudah banyak, saya akan membeli buku, agar waktu saya bisa terpakai untuk hal yang lebih bermanfaat.” “Saya membutuhkan WiFi untuk streaming dan download film terbaru.” “Saya bahagia dengan menekuni hobi ini.” “Saya gunakan waktu-luang untuk menonton video, bisa kuat sampai 4 jam totalnya per hari..”
Harap diingat, menekuni hobi tidak bisa terlepas dari tindak mengkonsumsi.
Produk adalah solusi atas masalah kamu. Tidak perlu repot, masalahmu bisa selesai dengan ini.
Samsung memakai iklan “growing up” (tumbuh, membesar), sebagai istilah lain dari “upgrade” diri. Starbucks menawarkan keramahan, kamu bisa datang dengan resep kopi sendiri, mereka akan membuatnya. Bread Talk juga membuka-diri jika kamu punya
resep sendiri, mereka akan membuatnya untukmu.
Siapakah yang memperkuat konsep “diri imajiner” ini? Media sosial.
Perubahan yang terjadi karena rangsangan dari luar (external stimuli), seperti ketika scroll media sosial dan browsing video di YouTube, bisa lebih ampuh dan dibenarkan, jika terjadi terus-menerus, dan menyentuh emosi negatif manusia. Semakin beda, semakin berani, pikiran menjadi semakin aktif dalam mencari pola. Kenikmatan terjadi ketika pikiran menanggapi (dan menerima) hal-hal baru. Bentuknya adalah “trending video” dan komentar bebas di media sosial.
YouTube bisa menguangkan video, dengan selipan iklan otomatis, dengan peran minimal manusia. YouTube punya algoritma, pengatur semuanya.
Iklan, algoritma, dan pertimbangan manusia inilah yang tidak bisa selalu sejalan.
Algoritma mengatur YouTube. Ini perpaduan antara pemrograman dan keputusan (faktor “manusia”) YouTube. Algoritma ada di balik semua media sosial besar. Apa yang akan muncul kalau orang search sesuatu. Iklan apa yang cocok untuk video ini. Apa yang sedang trending di lokasi kamu.
Algoritma selalu mengutamakan pengiklan. Algoritma bisa berubah sesuai perkembangan.
Banyak orang tidak membaca “Term of Services” sebelum upload video, namun marah-marah ketika platform bisnis YouTube “mengeksekusi” algoritma yang dianggap merugikan pemakai.
Tarik-menarik terjadi. Mari ambil beberapa contoh terpopuler.
Di satu sisi, YouTube memberikan peluang besar kepada pemberitaan lokal (hyperlocal news). Boleh diuangkan. Berita Festival Anjing di Semarang, misalnya, bisa mendapatkan view tinggi karena unik dan melokal. Orang bisa bikin channel berisi video berita. Namun ketika protes di Hongkong beberapa waktu lalu terjadi dan diberitakan, ternyata YouTube menolak video itu diuangkan dengan alasan: politik dan rasisme.
YouTube tidak melakukan diskriminasi sistematis. YouTube tidak mungkin memfilter video secara manual. Algoritma melakukan hal yang otomatis.
Orang tidak benar-benar menjual atau menawarkan sesuatu di YouTube, mengingat semuanya dikerjakan otomatis dengan algoritma. Sekalipun kualitas videomu bagus, kalau “salah” mengoptimasi (keyword, durasi, copyright, dll.) maka video kamu bisa ditaruh di bagian bawah, atau bahkan tidak bisa ditemukan di pencarian.
Apa yang terjadi ketika banyak akun proxy anonim menebar kebencian politik? Sebagian besar tidaklah bermasalah, selagi tidak diuangkan, tidak ada laporan, dan jumlah viewer rendah. Beda cerita jika itu rasialisme.
Sarkasme, tidak dilarang sama sekali. Banyak akun dengan konten sarkas (termasuk guyonan Percil cs.) yang bebas melenggang, bahkan dapat penghargaan silver karena meraup subscriber, visit, comment, dan share tinggi. Pengajian juga sering terdapat sisipan anekdot atau contoh yang sarkas. No problem.
Tidak demikian yang terjadi pada content berisi tembakau. Konten yang berisi adegan orang merokok, apalagi sampai menyarankan untuk merokok, jika diuangkan bisa kena penalty.
Sekali lagi, ini telah dijelaskan YouTube dalam perjanjian pemakaian.
YouTube juga memiliki garis-batas, seperti media sosial, di mana terdapat “permission” (perizinan) dan “moderation” (pemeriksaan). Tujuannya, agar konten tetap netral, nggak bias, dan tayangan video yang terus mengalir tidak mengandung “racun”.
Iklan selipan YouTube, yang dulu berada di depan, sekarang sudah mirip iklan TV. Ada di tengah, menginterupsi tayangan, dan menjadi makanan channel-channel populer. Prinsip relevansi dan lokalitas, tetap menjadi pertimbangan utama.
YouTube besar karena iklan. YouTube memastikan, para pengiklan sudah mendapatkan tempat sesuai perjanjian mereka dengan YouTube. Merekalah pengontrol content yang sesungguhnya. Penentu apa yang akan terjadi pada algoritma YouTube.
YouTube tidak memilih sendiri semua konten, tidak mencocokkan iklan dengan video secara manual. Algoritma yang melakukan semua itu.
YouTube memakai “learning machine”, penandaan user, dan moderasi manusia dalam hal-hal tertentu. Semua demi pengiklan. Semakin populer channel, semakin punya dollar untuk mengiklan. Yang baru, berpeluang tergilas. Yang tidak serius, jangan berharap memenangkan persaingan.
YouTube memilih bermain aman, yang penting pengiklan suka, daripada menganalisis secara manual video yang sebenarnya bagus.
Biarpun bermodal mikrofon dan alat rekam bagus, dengan gitar dan vokal pas-pasan, orang bisa ngehit. Video menjadi “the next level of selfie”, ekspresi kreatif, serta main aman.
Jadi, bagaimana nasib para beginner? Sama sekali tidak mudah.
Anak kecil sekarang, banyak yang ingin menjadi YouTuber terkenal. Punya jutaan pelanggan dan uangnya banyak. Mereka tidak tahu, betapa susahnya bikin content yang “melokal”, unik, sering update, dan berkualitas bagus. Bahkan tidak bisa seorang-diri. Butuh tangan lain, perlu pembelajaran terus-menerus.
YouTube adalah contoh kasus yang membuktikan, bahwa orang mengkonsumsi dengan alasan menemukan diri imajiner (terhibur, ngehit, lebih pintar, banyak uang). Menjadi content creator, butuh keseriusan. Kalau mau cepat ngehit, buatlah content yang bagus (jangan iseng) dan jadilah pengiklan di YouTube.
Berita yang disajikan dengan main-main, hanya akan diperlakukan penonton video sebagai berita main-main. Begitu pula bermusik, memasak, animasi, ceramah, dll. Pada akhirnya, menjadi content creator tidaklah mudah.
Content berkuitas dan mengerti cara-kerja algoritma yang menjadi faktor penentu kemenangan kamu menyingkirkan video lain.
“Camera.. action!” [dm]