Mengapa orang cenderung ingin tampak sibuk?
“Sibuk apa, sekarang?”.
Pertanyaan itu sering muncul di chat saya dan ketika bertemu kawan lama. Saya tidak tahu, apa yang ia maksud dengan kata “sibuk”.
Apakah ia menanyakan proyek apa yang sedang saya kerjakan? Apakah ia tidak tahu apa yang biasa saya kerjakan? Apakah itu nasa-basi standar?
Terus terang, pertanyaan “Sibuk apa, sekarang?” tidak bisa saya jawab dengan cepat. Lewati basa-basi.
Saya suka chat yang to the point, email singkat, dan jelas apa maunya. Saya lebih suka sapaan, “Mengapa kamu tidak pernah kelihatan?” atau “Sekarang biasanya kamu tongkrong di mana?”.
Jawaban saya, lebih sering, “Menikmati hidup.”. “Menikmati waktu”. “Bekerja”.
Ada variasi jawaban yang lebih banyak. Bagi orang lain “project“, bagi orang lain mungkin itu “rutinitas”. Baginya “belajar”, bagi saya “kebiasaan”. Orang memiliki ukuran masing-masing. Tidak bisa mengembangkan sesuatu kalau tidak ada ukuran.
Dan saya tidak ingin kelihatan sibuk.
Sibuk, bagi saya bukan pilihan.
Dr Brené Brown dari University of Houston, dalam buku Daring Greatly, menggambarkan bagaimana orang menjadi “sangat sibuk” sebagai strategi mati-rasa yang mereka gunakan untuk menghindar dari kebenaran hidup.
Orang lebih suka menjalankan aktivitas daripada diam berhadapan dengan pikiran mereka sendiri. “Sibuk” menjadi roda hamster di mana rodanya berputar tidak ke mana-mana, aktivitas berlari yang kembali memutar roda, melelahkan pemutarnya sendiri. Sibuk menjadi mekanisme pertahanan-diri (self-defense mechanism) agar kelihatan ada aktivitas, agar waktunya tampak bermanfaat. Ada aktivitas, ada gerakan, dan ada perhatian.
Tidak mengherankan, orang yang ingin “sibuk”, kelihatan sangat aktif: sedang traveling, sedang makan, sedang ketemu orang top, memberikan quote, share link, dst. “Sibuk” sepintas memperlihatkan eksistensi (keberadaan), memiliki tanggung jawab, tenggat waktu, daftar tugas, dan tampaknya bergerak ke arah yang benar.
Belum tentu. Mungkin itu roda hamster yang bergerak karena kamu sedang melarikan-diri.
Siklus yang berputar, hanya menjadi perulangan, jika tidak pernah “berhenti” untuk memikirkan, “Apa yang terjadi pada pola aktivitas saya ini?”.
Perulangan terjadi, ketika tugas sekarang masih sama dengan tugas kemarin. Menangani banyak tugas namun masuk ke dalam ilusi produktivitas.
Pikirkan kualitas output. Setelah itu, apa dampaknya? Fisik. Mental. Sosial. Finansial.
Heraclitus berkata, “Kamu tidak dapat melangkah ke sungai yang sama dua kali, karena air lain terus mengalir.”. Waktu itu seperti sungai. Kamu mudah kehilangan moment, bagi diri-sendiri, jika terlalu sibuk untuk “orang lain”.
Akan selalu ada kecemasan selama mewaktu, “Apakah saya terlambat untuk melakukan ini?” ketika kamu merasa banyak waktu terbuang.
Kalau saya tampak “sibuk”, itu hanya tampaknya. Mungkin tidak.
Kamu tidak harus seperti orang lain yang tampak sibuk. Jangan membius mimpimu dengan kesibukan teknis. Luangkan waktu untuk dirimu sendiri.
Pikirkan langkah ke depan, yang berbeda dari sekarang. Perhatikan kualitas yang kamu hasilkan. Menjadi ” tidak tampak sibuk” dan “tidak sibuk”, adalah pilihan. [dm]