in

Mengulik Jejak Inspirasi Transportasi Umum Berbasis BRT di Indonesia

Busway pertama di Indonesia ini memiliki jalur lintasan terpanjang di dunia.

Bus Rapid Transit (BRT) Transjakarta.

SEMARANG (jatengtoday.com) – Berbicara tentang konsep dan penataan transportasi umum dengan sistem Bus Rapid Transit (BRT) di Indonesia, tidak terlepas dari munculnya Transjakarta yang dioperasikan pertama kali pada 15 Januari 2004 silam. Diakui atau tidak, Transjakarta yang diinisiasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta inilah yang kemudian menginspirasi pemerintah daerah lain di Indonesia.

Hingga 2023, tercatat sedikitnya ada 11 kota mengoperasikan BRT. “Transjakarta merupakan sistem transportasi BRT pertama di Asia Tenggara dan Selatan,” ungkap Djoko Setijowarno, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata Semarang yang juga pemerhati transportasi umum dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Senin (16/1/2023).

Diceritakannya, sembilan belas tahun silam, tepatnya 15 Januari 2004 mulai dioperasikan Transjakarta dengan jalur Blok M – Kota sepanjang 12,9 km pada massa kepemimpinan Gubernur Sutiyoso. Tranjakarta kemudian dikembangkan di massa Gubernur Fauzi Bowo, Gubernur Joko Widodo, Gubernur Basuki Tjahjana Purnama dan Gubernur Anies Baswedan.

“Hingga sekarang sudah beroperasi 13 koridor busway dengan skema pembelian layanan (buy the service). Bahkan 13 koridor busway ini memiliki jalur lintasan terpanjang di dunia, yakni 251,2 km,” ungkapnya.

Semula beroperasi mulai pukul 05.00 hingga pukul 22.00. Sejak 1 Juni 2014 beroperasi 24 jam. Tarif yang dikenakan cukup murah yakni Rp 3.500 sejak awal beroperasi hingga sekarang 2023.

“Bisa jadi, Transjakarta, satu-satuanya transportasi umum di dunia yang terlama tidak menaikkan tarifnya,” ujar dia.

Untuk melengkapi operasional Transjakarta pada 28 September 2011 diluncurkan angkutan pengumpan (feeder) dengan menggunakan bus sedang kapasitas 35 penumpang—dengan rincian 20 duduk dan 15 berdiri—senyaman busway.

“Selain itu, juga dimunculkan Angkutan Perbatasan Terintegrasi Busway (APTB) pada 28 Maret 2012 oleh Gubernur Fauzi Bowo,” katanya.

Pada 19 Oktober 2016, diluncurkan bus khusus wanita sebanyak 10 armada oleh Gubernur Basuki Tjahja Purnama. Kemudian di masa Gubernur Anies Baswedan meluncurkan Royaltrans rute Cibubur Junction – Blok M dan Cibubur – Kuningan pada 14 Juli 2020 dengan tarif Rp 20 ribu.

“Ada juga Program Jaklingko mengintegrasikan Transjakarta dengan angkutan kota. Selain meluaskan jaringan Transjakarta, sistem ini juga memudahkan pengguna berpindah moda,” terangnya.

Meskipun payung hukum di tingkat nasional justru hadir belakangan, tapi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta saat itu justru mampu menghadirkan layanan sebagaimana perkembangan di tingkat global.

“BRT Transjakarta Busway, selain mampu mengubah tradisi dan budaya masyarakat dalam bertransportasi, juga menjadi ujung tombak perbaikan kualitas udara di wilayah perkotaan,” katanya.

Secara empiris, lanjut Djoko, kehadiran Transjakarta Busway mampu mempengaruhi kebijakan penataan transportasi di tataran nasional. Lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menggantikan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tidak luput dari keberhasilan Transjakarta Busway dalam improvisasi manajemen dan operasional layanan publik di sektor transportasi.

Di sisi lain, pada 2004, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat memulai Program BRT di berbagai daerah, meskipun bukan BRT dalam arti sebenarnya Bus Rapid Transit. Tetapi lebih pada bus sistem transit, karena tidak disediakan jalur khusus (busway) seperti di Jakarta.

“Tetap menggunakan jenis bus lantai tinggi (hight deck), bertujuan agar bus tidak berhenti sembarangan hanya dapat menaikturunkan penumpang di halte yang sudah ditentukan. Halte-halte berlantai tinggi muncul di banyak daerah yang sudah menerima bantuan sejumlah bus dari Ditjenhubdat. Namun belum juga disertai dengan skema pembelian layanan,” katanya.

Dalam perjalananannya, ada 6 kota yang hingga sekarang sudah menerapkan sistem pembelian layanan dengan APBD, yakni Banda Aceh (Trans Kutaraja), Padang (Trans Padang), Pekanbaru (Trans Metro Pekanbaru), Tangerang (Tayo), Semarang (Trans Semarang), Banjarmasin (Trans Banjarmasin). Juga ada 4 provinsi untuk wilayah aglomerasi, seperti Trans Jogja (Provinsi DI Yogyakarta), Trans Sarbagita (Provinsi Bali), Trans Jateng (Provinsi Jawa Tengah) dan Trans Jatim (Provinsi Jatim).

“Baru kemudian sejak 2020 dikembangkan skema pembelian layanan di angkutan umum perkotaan di 11 kota, yaitu Trans Metro Deli di Medan, Trans Musi Jaya di Palembang, Trans Metro Pasundan di Bandung, Trans Banyumas di Purwokerto, Batik Solo Trans di Surakarta, Trans Jogja di Yogyakarta, Trans Semanggi Surabaya di Surabaya, Trans Metro Dewata di Denpasar, Trans Banjarbakula di Banjarmasin, Trans Mamminasata di Makassar, Trans Pakuan di Bogor,” terang dia.

Menurutnya, keberadaan Transjakarta telah mensejajarkan pelayanan transportasi umum di Indonesia dengan berbagai kota di dunia. “Pemerintah daerah tidak perlu lagi belajar penataan transportasi umum ke luar negeri, cukup belajar dengan Transjakarta untuk mengelola transportasi umum di daerah,” katanya.

Masalah kemampuan fiskal daerah, sejauh ini, selalu menjadi sandungan kepala daerah belum mau membenahi transportasi umum dengan skema pembelian layanan. “Akan tetapi nyatanya sudah ada 6 kota dan 4 provinsi sudah mau menyelenggarakannya. Belum lagi ada beberapa kabupaten memberikan subsidi angkutan umum yang sudah beroperasi,” ungkapnya.

BACA JUGA: Keberlanjutan Transportasi Umum Terancam, Pemerintah Diminta Intervensi

Djoko melanjutkan, kata kuncinya adalah political will atau komitmen politik dari kepala daerah masing-masing untuk mengalokasikan APBD membenahi transportasi umum. “Sikap kepala daerah di Jakarta yang memperhatikan keberadaan transportasi umum sudah memberikan pelajaran berarti bagi kepala daerah yang lain. Setiap kampanye pemilihan kepala daerah di DKI Jakarta, transportasi umum sudah menjadi bahan atau materi kampanye,” katanya.

Ketua Forum Perkeretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Aditya Dwi Laksana, mengatakan Transjakarta sangat memerlukan transformasi, mulai dari transformasi dalam hal mindset atau pola pikir, transformasi sumber daya manusia Transjakarta, hingga transformasi pelayanan dan operasional. Termasuk juga di dalamnya transformasi digital.

“Di tengah upaya mencari dan mengembangkan bisnis tambahan pendapatan atau non fare box—selain pendapatan dari tarif penumpang, Transjakarta harus terus fokus untuk meningkatkan pelayanan dan keselamatan. Jalur busway harus steril dari kendaraan lain dalam upaya untuk menjamin kelancaran dan memastikan waktu tempuh lebih cepat ketimbang menggunakan kendaraan pribadi,” katanya. (*)