Dalam dunia yang seringkali menutup mata terhadap kecanduan seksual, karya Patrick J. Carnes, “Out of the Shadows – Understanding Sexual Addiction,” membuka mata kita pada realitas yang sering tersembunyi. Dengan lebih dari empat dekade penelitian, Carnes menggali ke dalam kompleksitas kecanduan seksual, menawarkan wawasan berharga tentang penyebab, konsekuensi, dan jalur menuju pemulihan.
Kecanduan tidak terbatas pada ketergantungan seperti alkohol, nikotin, dll. Orang bisa kecanduan s#ks, kena pemicu berupa lonjakan bahan kimia dan hormonal. Efeknya sebanding dengna obat-obatan, dan menghancurkan hidup.
Sebagian besar orang yang kecanduan, tidak hanya mengidap 1 jenis kecanduan. Menurut penelitian, sekitar 42% pencandu seks, memiliki ketergantungan terhadap bahan kimia dan 38% menderita kelainan makan.
Ringkasan dari buku Carnes, Patrick J. Out of the Shadows – Understanding Sexual Addiction. 3rd ed. Center City, MN: Hazelden Publishing, 2001.
Pola kecanduan hampir sama. Ada kebutuhan akan stimulan yang mengubah pola pikir seseorang mulai mendominasi kehidupan pecandu dan menjadi fokus utama mereka dan mengesampingkan hal-hal lain. Pecandu memiliki kehidupan ganda: kehidupa rutin sehari-hari dan kehidupan rahasia — di mana mereka menuruti kecanduan. Seorang pecandu seks berada di persimpangan jalan, tidak menemukan dirinya.
4 Keyakinan Negatif Para Pecandu Seksual
Kecanduan seksual berasal dari 4 keyakinan negatif yang meracuni persepsi diri mereka sendiri, sampai menjadi perilaku tidak sehat:
1. Merasa buruk dan tidak berharga.
2. Tidak percaya ada seseorang yang akan mencintai dirinya apa adanya.
3. Tidak percaya kebutuhannya terpenuhi tanpa bergantung pada orang lain.
4. Merasa seks sebagai kebutuhan terpenting dalam hidupnya.
Sekilas, masyarakat bersikap terbuka terhadap ekspresi seksual. Kita masih memandang jumlah dan jenis aktivitas sebagai preferensi pribadi. Bagi pencadu seksual, tidak ada piliha seperti itu.
Siklus 4 Langkah Pecandu Seksual
Pecandu seksual berada dalam siklus 4 langkah dengan intensitas cenderung menaik:
- Keasyikan. Terlarut dalam hal yang terkait seks. Bersedia menguras pikiran demi fantasi seksual. Ini seperti kondisi “trance” ketika ide-ide yang berhubungan dengan seks, menghabiskan otak mereka. Mencari kenikmata seksual menjadi kebutuhan kompulsif.
- Ritualisasi. Keasyikan menjadi intensif, bergairah, dan gembira.
- Tindakan seksual, dengan segala macam bentuknya.
- Ketidakmampuan mengendalikan diri atau menahan diri untuk tidak melakukan perilaku seksual.
Selain siklus ini berulang, pecandu seksual mengalami putus-asa.
Perasaan sengsara ini menyiksa mereka. Merasa bersalah karena tidak menepati janji. Mengasihani diri-sendiri ketika tindakan mereka memalukan atau berbahaya. Jijik pada diri sendiri.
Untuk mengatasi ini, mereka kembali ke awal. Pikiran mereka kabur. Terlibat dalam perilaku seksual yang membawa mereka kepada lingkaran awal lagi. Mereka ingin mengulangi lagi.
Tingkat Kecanduan Seksual dan Konsekuensinya
Ada 3 tingkat kecanduan seksual:
Tingkat Pertama, perilaku yang relatif normal, dapat diterima, dan dapat ditoleransi, yang mencakup: masturbasi, hubungan kompulsif, pornografi, pertunjukan telanjang, prostitusi, dan seks tanpa nama. Ini dianggap umum dan para pecandu seksual menganggal ini “normal”. Mereka merasa bisa dapat berhenti kapan saja.
Al Cooper, peneliti dari Stanford University: 40% pengguna cybersex paling intens adalah perempuan.
Tingkat Kedua, sudah pantas dapat hukuman berat, meliputi: eksibisionisme, voyeurisme, voyeur-eksibisionisme, panggilan tidak senonoh, dan kebebasan. Mereka memilih dan mentarget korban.
Tingkat Ketiga, yang sudah kriminal eksplisit berat, meliputi: penganiayaan anak, pemerkosaan, kekerasan, dan menghancurkan hidup korban.
Mayoritas pencandu, berada di Tingkat Satu.
Pahami konsekuensi ini. Kecanduan seksual, pada tingkat apapun, memiliki konsekuensi menyakitkan bagi pencandu dan orang-orang yang mereka cintai. • Kecanduan belum tentu merupakan ciri orang yang menunjukkan perilaku menyimpang. Tidak ada korelasi antara ciri-ciri kepribadian, jenis kelamin, status sosial ekonomi, dll., dan kemungkinan terjadinya kecanduan — semua bisa kena. Perilaku seksual dalam dan antar tingkat saling menguatkan. Perilaku seksual menyimpang biasanya disertai dengan jenis kecanduan lainnya (alkoholisme, penyalahgunaan narkoba, makan berlebihan).
Lihat Pecandu, Lihat Keluarga
Keluarga Keluarga memiliki peluang positif-negatif dalam menanamkan nilai, terkait kecanduan seksual ini. Kecanduan hendaknya dilihat bukan sebagai masalah pribadi tetapi sebagai masalah keluarga. Biasanya kerabat pecandu berusaha menjauhkan diri dari dampak negatif perbuatan pecandu. Pendekatan yang mereka lakukan adalah dengan menipu diri sendiri dengan berpikir bahwa masalah tersebut seharusnya diselesaikan oleh pecandu secara pribadi atau bahwa tidak ada masalah.
Menurut Carnes, kita bisa menganalisis kecanduan seksual melalui 4 faktor perkembangan anak: citra diri, hubungan, kebutuhan, dan seksualitas. Citra diri seorang calon pecandu biasanya dibentuk berdasarkan premis pengabaian. Ketika mereka diabaikan, ditinggal sendirian, akan membentuk keyakinan inti bahwa ia tidak layak mendapatkan sesuatu yang ia butuhkan (kasih sayang) dan merasa tidak ada yang bisa menerimanya secara apa adanya. Eksplorasi seksualitas adalah ekspresi akibat pengabaian.
Ketidaklayakan menyusun dasar emosional dunia pecandu. Ketidakmampuan menerima akan mengarah pada terciptanya kehidupan rahasia.
Masalah kebutuhan memberikan bahan bakar yang diperlukan untuk memicu kecanduan. Kebutuhan seks memperkuat persepsi yang salah mengenai pengasuhan.
Mengobati seorang pecandu saja tidak ada gunanya. Begitu ia kembali ke lingkungan yang sakit, ia akan kembali lagi. Selagi lingkungan tempatnya diciptakan masih tetap sama, akan ada peluang terciptanya pencandu seksual lagi.
Ketika pecandu gagal untuk berubah, orang lebih suka melihatnya sebagai “individu” yang sakit, kesalahan ditimpakan kepada mereka. Berada di lingkungan “bersih”, tidak semudah yang dibayangkan. Mereka bisa menjadi semakin tidak berharga dan ini membawa mereka kepada siklus “ketidaklayakan” di fase awal.
Budaya Kita Sakit Secara Seksual
Penyakit seksual berasal dari kepercayaan dan budaya kita. Asal usul pola perilaku dan pemicu yang menyebabkan kecanduan seks masih menjadi misteri. Ironisnya, solusinya selalu ada di depan mata kita. Itu adalah budaya kita.
Budaya kita sakit secara seksual. Ribuan tahun, budaya kita menciptakan gambaran stereotype tentang lelaki dan perempuan, tertanam di bawah sadar. Lelaki menjadi.. Pencari nafkah. Pejuang yang bisa dikorbankan, yang tidak mampu mengasuh sesamanya. Tidak bisa mencintai dengan tulus. manifestasi kelemahan. Perempuan menjadi.. Objek seksual. Menilai hubungan seksual sebagai operasi keuangan — pelayanan demi uang, standarisasi prostitusi. Manusia digambarkan sebagai simbol ekonomi. Ibu rumah tangga. Pengasuh yang potensi profesional dan ekonominya tidak dihargai. Perempuan ditampilkan sebagai simbol seks.
Laki-laki menjadi pemrakarsa hubungan, yang dominan, dan sebaliknya: perempuan reaksioner, mengikuti, menjadi “bawahan”. Perilaku kekerasan ringan, dianggap sebagai hal biasa, dan perempuan lebih sering menjadi korban. Stereotype seksual menjadi berkembang di cara-pandang tradisional seperti itu.
Bebas dari Kecanduan Seksual
Ini bisa kamu terapkan bukan hanya pada kecanduan seksual.
Kenali masalah dan ketidakmampuan mengatasi masalah ini sendirian. Hargai diri sendiri, akui, “Saya adalah orang berharga yang patut dibanggakan. Ini langkah spiritual, melihat harapan, membuka potensi. Kejujuran penuh dari pecandi dan keluarga — atau yang dianggap keluarga, yang bisa menerima kejujuran. Dengan pengakuan yang diterima, seorang pecandu akan merasa, ada orang yang sayang dan menerima dirinya secara apa adanya. Percaya, ia tidak sendirian. Tuhan tidak membiarkannya sendirian.. sehingga ia sampai pada fase “Kebutuhan saya bisa terpenuhi jika saya terbuka kepada orang lain”. Pecandu dapat berbagi cerita kepada sesama pecandu, demi penyembuhan. Harus berani mengakui bahwa seks bukanlah kebutuhan utama dalam hidup. Orang dapat bertahan hidup karena saling membutuhkan satu sama lain.
Kritik untuk Carnes
Meskipun kontribusi Patrick Carnes pada pemahaman kecanduan seksual melalui “Out of the Shadows” tidak dapat disangkal, pendekatannya memperlihatkan kekurangan metodologis dan konseptual yang signifikan. Pertama, Carnes mengadopsi model penyakit dalam mendefinisikan kecanduan seksual, yang meskipun memfasilitasi identifikasi dan intervensi, secara inheren menstigmatkan individu yang terkena dampak. Pendekatan ini mengabaikan kompleksitas sosial-ekonomi dan budaya yang melatarbelakangi kecanduan, menyederhanakan masalah menjadi kondisi patologis individu. Hal ini tidak hanya membatasi pemahaman kita tentang kecanduan seksual tetapi juga berpotensi menahan individu yang berjuang dengan kecanduan dari mencari bantuan karena takut akan stigmatisasi.
Lebih lanjut, Carnes’ analisis tentang peran budaya dalam kecanduan seksual sering kali terkesan reduktif, tidak mempertimbangkan nuansa dan keragaman pengalaman individu dalam konteks budaya yang berbeda. Kekurangan ini mencerminkan kebutuhan mendesak akan pendekatan yang lebih holistik dan diferensiasi dalam penelitian kecanduan seksual, yang tidak hanya mengakui tetapi juga secara aktif mengatasi heterogenitas pengalaman individu. Dengan demikian, sementara karya Carnes memberikan fondasi penting, ada ruang signifikan untuk penyempurnaan konseptual dan metodologis yang akan memperkaya pemahaman kita tentang kecanduan seksual dan memperbaiki strategi intervensi.
“Out of the Shadows” tidak hanya sebuah buku; ini adalah suar bagi mereka yang terjebak dalam kegelapan kecanduan seksual. Dengan memadukan penelitian ilmiah dengan kasus nyata, Carnes mengajak kita semua—baik pecandu maupun masyarakat—untuk menghadapi dan mengatasi stigma yang mengelilingi kecanduan seksual. Melalui pemahaman yang lebih dalam dan empati, kita dapat membuka jalan bagi pemulihan dan harapan bagi banyak orang. [dm]