SOLO (jatengtoday.com) – Warung sengsu atau tongseng asu (kuliner olahan daging anjing) masih menjamur di Kota Solo. Padahal, Pemprov Jateng sudah mengeluarkan regulasi mengenai larangan daging anjing untuk dikonsumsi.
Seperti angin lalu, aturan tersebut seolah diabaikan. Warung sengsu tetap gampang ditemukan di Solo. Tidak ada yang sembunyi-sembunyi. Para penjual yang mendirikan tenda makan di pinggir jalan, dengan terang-terangan menuliskan ‘rica-rica guguk’. Bahkan ada yang mencantumkan nomor kontak bagi yang ingin memesan sengsu partai besar.
Salah satu warung sengsu di bilangan Kadipiro, menjual aneka olahan daging anjing dengan harga Rp 25 ribu per porsi. Ada anjing bakar, rica-rica, goreng, dan tongseng. Tak hanya daging anjing saja, pembeli bisa minta pesanan khusus. Seperti dicampur balungan, atau jeroan.
Tenda kaki limanya memang tidak begitu besar. Bentuknya nyaris seperti warung makan lamongan. Ada meja besar di tengah yang dikelilingi bangku kayu dan plastik. Selisih dua langkah dari meja, ada kompor tempat memasak olahan anjing.
Ketika ada pembeli, langsung dimasak sesuai pesanan. Kemudian disajikan selagi hangat. Di meja, sudah disediakan kecap dan lada untuk ditambahkan sesuai selera konsumen.
Kabarnya, warung sengsu ini sudah punya nama di Solo. Joko, salah satu pelanggan mengaku nyaris setiap hari makan olahan anjing di warung ini. Dia sudah jadi pelanggan sejak dua tahun terakhir.
Awalnya, Joko mengonsumsi daging anjing lantaran ingin menyembuhkan penyakit yang dideritanya. Sejak saat itu, dia mengaku ketagihan hingga sekarang.
“Dulu konsumsi daging anjing selama dua bulan dan setiap hari. Sampai sekarang ya ketagihan makan daging anjing,” terangnya.
Ya, bagi warga Solo, Sengsu merupakan jamu. Bahkan, sengsu dulu disebut ‘sate jamu’ karena dipercaya mampu menyembuhkan sejumlah penyakit seperti gatal-gatal hingga diabetes.
Joko pun sebenarnya tahu mengenai kampanye pemerintah mengenai bahaya dan risiko mengonsumsi daging anjing. Tapi dia tidak menggubris.
Sang penjual, Lastri mengaku sudah 30 tahun menjual sengsu. Dari jualan masakan olahan daging anjing ini, dia mampu menyekolahkan tiga anaknya hingga sarjana. Kini, dia sudah punya tiga warung sengsu di kota tersebut.
Saat ini, warung yang buka setiap hari dari pukul 14.00-21.00 ini mampu menjual sekitar 50 kilogram daging anjing setiap hari per warung. Angka itu cukup mengagetkan karena belakangan Pemprov Jateng sudah sering gembar-gembor mengampanyekan daging anjing bukan makanan.
Lastri mengaku sudah tahu larangan konsumsi daging anjing. Tapi dia tidak punya rencana meninggalkan bisnisnya ini.
“Rencananya Januari nanti kita dikumpulkan oleh pemerintah. Akan ada diskusi soal ini. Saya belum tahu nanti hasilnya gimana,” jelasnya.
Lastri mengharapkan adanya solusi dari pemerintah terkait hal ini. Dia mengaku tidak akan menutup usahanya meski diberi uang santunan untuk menutup usaha.
“Di Karanganyar sudah dilarang. Penjualnya dikasih Rp 5 juta agar tidak jualan lagi. Tapi saudara di sana ada yang menolak, dan tetap masih jualan sampai sekarang,” bebernya.
Beli dari Tempat Penyembelihan
Salah satu penjual sengsu di wilayah Banjarsari yang enggan disebutkan namanya, mengaku mendapatkan daging anjing dari tempat penyembelihan anjing. Warung kecil ini rata-rata hanya menghabiskan satu ekor anjing dalam satu hari.
“Kalau ada waktu, nyari orang yang jual anjing. Biasanya Rp 250 ribu per ekor,” jelasnya.
Anjing hidup yang dibeli dari warga tersebut, kemudian dibawa ke tempat penyembelihan anjing untuk dieksekusi. “Nyembelihnya Rp 50 ribu,” tegasnya.
Dia mengaku, permintaan daging anjing memang cukup tinggi. Bahkan dia sudah mendapat pesanan 100 porsi daging anjing untuk pekan depan.
Masih adanya tempat penyembelihan anjing, menggambarkan bahwa bisnis olahan daging anjing di Solo masih menjamur. Data dari Dog Meat Free Indonesia (DMFI) mencatat setidaknya ada 82 warung olahan daging anjing ada di Kota Solo.
Secara menyeluruh, di eks karesidenan Surakarta, jumlahnya tembus seratusan. Untuk memenuhinya, tak kurang 13.700 anjing dibantai. Celakanya, sebagian besar anjing disuplai dari Jawa Barat, provinsi yang belum terbebas dari rabies.
Di lain pihak, Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (Disnak Keswan) Jateng, Lalu M Syafriadi menjelaskan ada dua hal yang menjadi alasan pemprov untuk terus melakukan sosialisasi larangan mengonsumsi daging anjing.
Pertama, Jateng bebas rabies sejak 1995 dan telah dinyatakan melalui surat keputusan Nomor 892/Kota/TN.560/9/1997 oleh Kementan.
“Yang menjadi catatan adalah hampir 100 persen kasus rabies berakhir dengan kematian,” tegasnya.
Padahal rabies tak hanya menyebar dari gigitan anjing. Bisa melalui daging dan jeroan serta alat transportasinya. Bahkan air bekas cucian yang terkontaminasi pun bisa menyebarkan penyakit tersebut.
Karena itu, tidak ingin masyarakat Jateng yang tak mengonsumsi daging anjing ikut terancam. Lalu mengatakan tingkat konsumen daging anjing di Jateng berkisar 1.500an orang dibandingkan 34 juta penduduk Jateng.
Kedepan, Disnak Keswan akan melakukan penelusuran jalur peredaran anjing di Jateng. “Saat ini terdeteksi dari Jatim, Bali dan Jabar. Tapi paling banyak dari Jabar,” ujar Lalu.
Alasan kedua, Undang-undang No 18 tahun 2012 tentang Pangan, tepatnya Pasal (1) yang mengatakan anjing tidak termasuk dalam makanan konsumsi. Selanjutnya, dalam UU Kesejahteraan Hewan juga melarang menyembelih hewan dengan cara disiksa. Meski begitu, dia mengakui tak mudah untuk memberikan pemahaman pada masyarakat.
“Sosialisasi perlu terus dilakukan, baik itu pemprov, pemkab/pemkot atau masyarakat. Kami juga mengapresiasi Pemkab Karanganyar yang berupaya menekan peredaran daging anjing,” tandasnya. (*)
editor : ricky fitriyanto