in

Menelusuri Legenda Bioskop Indonesia, Tersimpan Ribuan Artefak Bioskop Tempo Dulu

JAMBI (jatengtoday.com) – Menjelajah jejak sejarah selalu memiliki sensasi menarik. Kali ini jatengtoday.com berkesempatan menelusuri jejak legenda bioskop di Indonesia. Salah satunya sebuah bangunan di Jalan Tempoa Kawasan Jelutung, Kota Jambi. Memasuki bangunan tersebut, pengunjung langsung disuguhkan suasana ruang bioskop tempo dulu.

Tempat ini memang dijadikan museum bioskop yang menyimpan berbagai artefak maupun sisa ornamen bioskop masa lalu. Ribuan poster dan baliho film jadul terpampang di dinding ruangan. Ingatan pengunjung dibawa menembus lorong waktu di awal film Indonesia merebut kejayaan.

Jejak dokumen poster dan baliho film orisinal di era 1960, 1970, 1980 hingga 1990-an bisa dilihat disini. Gaya bintang film yang eksotis dan erotis kala itu menjadi pemandangan khas. Tidak hanya itu, berbagai peralatan bioskop, mesin pemutar, layar, dokumen klise film, kursi penonton yang terbuat dari rotan, layar tancap, hingga loket dan tiket bioskop, masih tersimpan rapi di museum ini.

Bahkan speaker toa yang digunakan untuk publikasi film hingga sepeda motor jadul yang digunakan untuk mengantarkan film, masih terpampang dan menjadi saksi bisu kejayaan film nasional.

“Museum Bioskop ini memasuki tahun ketiga. Tahun pertama, kami mengumpulkan koleksi bioskop yang sebelumnya tidak terpakai. Tahun kedua, kami memilah-milah barang mana yang bagus dan masih bisa dirawat, mana yang tidak. Tahun ketiga, baru dibuka secara umum bagi masyarakat,” kata salah satu pengurus Museum Bioskop Yayasan Tempoa, Edi Dharma, kepada jatengtoday.com.

Hingga sekarang, pengelola museum bekerjasama dengan Institute Kesenian Jakarta (IKJ), untuk mengidentifikasi dan menyelamatkan barang-barang berharga yang berhubungan dengan legenda bioskop Indonesia. “Museum bioskop ini didirikan oleh seorang seniman Jambi bernama Harkopo Lie. Ia merupakan anggota keluarga Lie, pengusaha bioskop yang pernah mengelola kurang lebih 20 bioskop di Jambi dan sekitarnya di era 1970-1990-an,” terangnya.

Sejumlah pengunjung bisa menyaksikan berbagai artefak bioskop zaman dahulu yang hingga sekarang masih tersimpan rapi. (abdul mughis/jatengtoday.com)

Dari jejak peninggalan sedikitnya 20 bioskop tersebut terkumpul koleksi mulai 1960 hingga 1990-an. “Mulai dari poster asli bioskop yang dilukis menggunakan tangan atau secara manual, hingga poster dalam bentuk cetak. Untuk poster yang jenis lukis tangan di era 1960, 1970, 1980-an. Karena bioskop eksis sejak 1960-an, kebanyakan saat itu berjenis film dokumenter atau film sejarah. Selain itu ada film dari luar seperti mandarin, India dan lain-lain,” bebernya.

Benda-benda bioskop di museum ini dikumpulkan secara kolektif. Tidak hanya poster, tapi berbagai macam peralatan untuk mendukung perlengkapan operasional bioskop secara detil.

“Bahkan ada stempel pengunjung, papan penunjuk harga tiket, mesin pemutar film, berbagai film, termasuk ada kaset video untuk konsumen penonton yang kurang puas bisa diputar di rumah. Di Tempoa ini sudah terkumpul 1.250 poster dalam bentuk kain. Poster jenis kertas belum terhitung secara konkret, karena masih terus bertambah,” bebernya.

Dikatakannya, hampir keseluruhan benda bioskop tersebut semula dalam kondisi tidak terawat, karena kondisi cuaca mengakibatkan barang-barang tersebut menjamur dan mudah rusak. “Beberapa mesin pemutar film sudah oke, kami membawa beberapa teknisi yang memahami tentang komponen mesin bioskop lama. Ada dua mesin bisa hidup. Hanya saja untuk kondisi film lama ini kualitasnya putus-putus,” katanya.

Ke depan, lanjut dia, pengurus akan membuat yayasan bioskop secara resmi. Artinya bukan pribadi. “Kalau sekarang masih dalam bentuk pribadi. Kami sudah ajukan ke Kementerian Pendidikan Kebudayaan bidang permuseuman dan telah dinyatakan layak untuk dijadikan museum. Namun masih ada beberapa item yang harus dilengkapi,” terangnya.

Para pengunjung menelusuri ruangan Museum Bioskop Jambi. (abdul mughis/jatengtoday.com)

Bersama tim dari Institute Kesenian Jakarta, pihaknya terus melakukan riset. Riset tersebut untuk mengetahui apakah ada koleksi di tempat lain yang lebih dari ini. “Kalau memang tidak ada tempat lain yang memiliki koleksi lebih dari ini, baru kami urus izinnya untuk dijadikan Museum Nasional Bioskop Indonesia,” katanya.

Museum Bioskop Jambi di Jalan Tempoa ini menjadi bukti ketika bioskop menjadi tempat hiburan populer masyarakat, khususnya di Jambi kala itu. Menurutnya, bioskop memberikan wawasan yang menginspirasi masyarakat untuk mengembangkan peradaban dengan lebih baik. Karena dalam kegiatan menjalankan bioskop ini dapat mempelajari berbagai aspek, seperti kesenian, teknologi, bisnis, dan kebudayaan masyarakat.

Keluarga Lie masih menyimpan artefak kegiatan saat menjalankan usaha bioskop sejak tahun 1970-an. Masih tersimpan berbagai proyektor, layar, baliho, kursi bioskop, hingga kuitansi transaksi. Tentu ini menjadi istimewa karena hingga 50 tahun, benda-benda tersebut masih tersimpan rapi.

Usaha bioskop dari keluarga Lie (putra-putri Lie Chong, lelaki perantau dari Tiongkok yang datang ke Jambi pada 1934) dimulai pada tahun 1969. “Pada masa itu, Jambi tidak memiliki tempat hiburan. Kebetulan ada gedung bioskop yang terbengkalai. Arwin Lie anak pertama keluarga Lie, menerima tawaran untuk mengambilalih. Bioskop tersebut diperbaiki dan dibuka kembali, diberi nama Bioskop Mega,” katanya.

Setelah usaha usaha bioskop Mega berhasil, Arwin Lie dan keluarganya membuka bioskop lain seperti Bioskop Duta, Murni, dan Ria pada tahun 1970, hingga 1980-an. Setelah itu Bioskop Presiden, Sumatera, Mayang, dan Sitimang. Tidak hanya itu, selanjutnya membuka Bioskop di daerah seperti Tembesi, Muara Tebo, Muara Bungo, Rantau Panjang, Bangko, Sarolangun, Kerinci, Sungai Penuh, Nipapanjang, Sabak, dan Kuala Tungkal. “Totalnya ada 20 bioskop,” kata Edi.

Di samping membuka usaha bioskop permanen, keluarga Lie juga menjalankan bioskop keliling alias layar tancap ke pelosok daerah. Perjalanan ke daerah menempuh medan sulit, melintasi sungai, dan jalan tak beraspal. Bahkan belum bisa dilintasi mobil. Oleh karena itu, peralatan bioskop dikemas sedemikian rupa sehingga siap untuk perjalanan yang berat.

Awal 1990-an, bioskop-bioskop di daerah mulai meredup karena jumlah penonton semakin menurun. Fenomena beredarnya kaset video film memiliki pengaruh besar yang mengakibatkan penonton bioskop berkurang. “Satu per satu, bioskop berhenti beroperasi. Yang terakhir ditutup adalah Bioskop Presiden pada 2010,” ungkapnya. (*)

 

editor : ricky fitriyanto

Jin