in

Mencuri Perhatian Milenial, Inovasi Wayang Manfaatkan Teknologi Digital

SEMARANG (jatengtoday.com) – Zaman pengguna teknologi identik dengan sebutan generasi milenial. Generasi yang konon menjadi penganut budaya barat. Gadget menjadi salah satu produk teknologi yang bisa menembus batas ruang dan waktu. Dunia bisa dikendalikan dari tangan.

Namun beberapa kelompok komunitas menampik hal itu. Mereka ingin membuktikan bila tidak semua generasi muda millenial menjadi korban gadget dan berperilaku kebarat-baratan.

Salah satunya kelompok karawitan dan pedalangan yang memiliki sanggar latihan di Gedung Monod Diephuis, Kota Lama Semarang.

Tidak hanya untuk orang dewasa, komunitas penjaga seni budaya tersebut mewadahi lintas generasi. Bahkan didominasi oleh generasi milenial. Baik pemain gamelan karawitan, sinden, dalang dewasa, dalang remaja, hingga puluhan calon dalang cilik.

Inovasi wayang agar dapat dilirik oleh generasi milenial juga terus bermunculan. Sebut saja Wayang Suket, Wayang Klitik, Wayang Rotan, Wayang Kronik, dan lain-lain. Kreativitas gagasan wayang dengan berbagai bahan berbeda itu cukup mampu menyedot perhatian generasi muda karena memanfaatkan perkembangan digital.

Ahimsa Nandi Wardhana adalah salah satu dalang milenial di Kota Semarang yang aktif berlatih menekuni kesenian khas nusantara, warisan leluhur moyang orang Jawa.

“Banyak generasi setelah saya, anak-anak mulai dari kelas satu hingga kelas tiga SD banyak yang tertarik belajar wayang,” kata putra budayawan Cahyono Raharjo ini, di sela Pameran Ragam Wayang di Gedung Monod Diephuis Jalan Kepodang 11-13, Kawasan Kota Lama, Semarang, Sabtu (10/11/2018).

Bahkan generasi muda bisa belajar wayang secara otodidak dengan memanfaatkan internet, YouTube dan lain-lain. Pertukaran pengetahuan berlangsung sangat cepat dan mudah.

“Di rumah, anak saya tetap belajar wayang. Bahkan dimanapun berada yang dipikirkan wayang. Sebab, di handphone dan komputer, isinya terkait wayang,” kata Siti Suminah, atau akrab disapa Bu Mimin, orang tua dalang Danang Lawu Sulistiyono.

Menurutnya, dunia wayang idealnya tidak harus pentas dengan pertunjukan menggunakan panggung besar. “Seharusnya wayang bisa hadir di ruang lingkup kecil dengan audiens anak-anak SD. Sehingga wayang dekat dengan masyarakat,” katanya.

Menurutnya, belajar wayang bukan hal sulit selama minat tersebut muncul dari dalam jiwa anak. “Kalau hasratnya berasal dari orang tua, biasanya anak tersebut akan kesulitan dalam belajar wayang. Bayangkan saja, anak kecil bisa menghafal lebih dari 200 tokoh wayang, lengkap dengan karakter, gaya bicara, jenis suara, hingga cara berjalan,” katanya.

Kalau bukan dari minat anak sendiri, kata dia, sepertinya mustahil hal itu bisa dicapai. “Apalagi sekadar orang tuanya yang ambisi, sepertinya tidak mungkin. Tetapi minat ini harus ditumbuhkan, maka perlu adanya edukasi sejak dini mengenai wayang. Kalau ada edukasi wayang sejak dini, saya yakin anak-anak muda sekarang akan lebih mencintai wayang,” katanya.

Ia optimistis, anak-anak zaman sekarang menyukai wayang dengan metode bermain. Tetapi hal yang cenderung terjadi adalah wayang hanya bisa ditonton melalui pertunjukan dengan panggung besar.

“Maka generasi muda secara umum sangat minim mengenal wayang. Panggung besar yang semalam suntuk, biasanya penonton pulang sebelum pakeliran tuntas. Setelah pakeliran selesai, tidak ada yang berkesan di benak generasi muda,” katanya.

Terpisah, sekelompok komunitas di Kota Semarang memanfaatkan teknologi digital dalam bermain gamelan. Mereka bermain gamelan menggunakan aplikasi yang terinstall di layar ponsel. Aplikasi yang digagas oleh mahasiswa Udinus Semarang itu bisa diakses oleh masyarakat luas melalui playstore. Komunitas gamelan elektonik ini juga berkolaborasi dengan seorang dalang perempuan bernama Ni Titah Banu Arum Mumpuni. (*)

editor : ricky fitriyanto