in

Memberi Uang kepada Pengemis Bisa Terjerat Pidana

Sudah tepatkah aturan tersebut diterapkan?

ILUSTRASI: Di Kota Semarang diterapkan Peraturan Daerah (Perda) yang memuat larangan memberi sumbangan berupa apapun kepada anak jalanan, pengemis, pengamen, gelandangan, maupun orang terlantar. (jatengtoday.com)

SEMARANG (jatengtoday.com) – Pemerintah Kota Semarang melalui Dinas Sosial (Dinsos) kembali menggencarkan sosialisasi penegakan Perda Kota Semarang Nomor 5 Tahun 2014 tentang penanganan anak jalanan, gelandangan dan pengemis di Kota Semarang dan Perda Nomor 5 Tahun 2017 tentang Ketertiban Umum.

Salah satu yang menjadi sorotan, adalah masyarakat dilarang memberikan sumbangan uang maupun barang kepada anak jalanan, pengemis, pengamen, gelandangan, maupun orang terlantar. Bahkan masyarakat yang memberi sumbangan tersebut bisa dikenai sanksi pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak Rp 1 juta.

Sosialisasi tersebut Dinsos bekerjasama dengan Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Semarang dengan memberikan peringatan melalui pengeras suara yang terpasang di tiang traffic light.

Kepala Seksi (Kasi) Tuna Sosial dan Perdagangan Orang (TSPO), Bambang Sumedi mengatakan memberi sesuatu kepada pengemis, gelandangan dan orang terlantar (PGOT) hanya akan memperbanyak jumlah mereka. Maka dari itu, dia menyarankan masyarakat yang ingin menyumbang disalurkan melalui tempat resmi, contohnya panti asuhan.

“Di Panti Asuhan kan jelas ada tanda terima dan bisa meminta laporan. Selain itu, anak yang disumbang jelas mendapatkan perhatian dan pendidikan untuk menata masa depan,” katanya di sela sosialisasi, Senin (19/9/2022).

Dikatakannya, proses sosialisasi ini telah dilakukan sejak 15 September 2022 dan akan berakhir 30 September 2022. Penegakan perda serta sanksi akan diberlakukan mulai 1 Oktober 2022.

“Dinsos Semarang tidak hanya menjangkau dari laporan saja, tapi juga melakukan patroli secara berkala bekerjasama dengan kecamatan. Jadi sudah mulai menyisir jalan alternatif,” kata dia.

Sekretaris Komisi D DPRD Kota Semarang, Anang Budi Utomo menyatakan tindakan memberi uang atau barang di tempat umum seperti traffic light memang dilarang, yakni melanggar dua perda. Yakni Perda Kota Semarang Nomor 5 Tahun 2014 tentang enanganan anak jalanan, gelandangan dan pengemis di Kota Semarang dan Perda Nomor 5 Tahun 2017 tentang Ketertiban Umum.

“Bahkan dalam perda penanganan anak jalanan tersebut bisa dikenai pidana kurungan hingga tiga bulan atau denda maksimal Rp 1 juta,” katanya.

Dia meminta seluruh masyarakat di Kota Semarang menaati aturan perda tersebut agar para penggunan jalan di Kota Semarang semakin tertib. Adapun bila masyarakat ingin memberikan atau menyumbangkan lebih baik melalui lembaga resmi.

“Ketika masyarakat terbiasa memberi di tempat umum, maka akan mengakibatkan anak jalanan dan gepeng juga terbiasa meminta di tempat tersebut. Seperti hukum alam, ketika di situ ada gula, maka di situ pula ada semut,” terang dia.

Menurutnya, anak jalanan, pengemis, dan sejenisnya, selama ini menganggap bahwa mencari uang paling mudah adalah meminta-minta di tempat umum. “Ini akan memicu atau mengakibatkan semakin banyak modus pengemisan di tempat umum. Lama kelamaan jumlahnya semakin banyak. Nah, ini akan mengganggu ketertiban umum. Ini tidak boleh terjadi,” katanya.

BACA JUGA: Gencarkan Razia PGOT, Dinsos Ingatkan Larangan Beri Uang ke Pengemis

Selain larangan dan denda bagi pelanggar, Perda penanganan anak jalanan ini juga menerapkan sanksi bagi pelaku yang mengeksploitasi anak di jalanan. Untuk pelaku eksploitasi diancam hukuman hingga tiga bulan penjara atau denda hingga Rp 50 juta.

Merespons aturan perda tersebut, salah satu warga, Bahrun Ni’am (35), mengaku mendukung penataan segala permasalahan di perkotaan. Namun menurutnya, semestinya pemerintah melakukan kajian mendalam untuk menemukan pola penanganan yang efektif—terkait penanganan anak jalanan, pengemis, pengamen, gelandangan, maupun orang terlantar.

“Perlu upaya serius dan intensif. Jika perlu melibatkan banyak pihak yang selama ini intens melakukan pendampingan terhadap permasalahan anak jalanan. Kita bisa melihat, permasalahan anak jalanan dan sejenisnya ini sudah puluhan tahun, tapi mengapa cenderung selalu tidak tuntas? Artinya, sepertinya ada yang salah dengan sistem,” katanya.

BACA JUGA: Berjejal Penduduk Bermukim di Lahan Makam

Mestinya, lanjut Bahrun, penanganan dimulai dengan pemetaan demografi. Ada berapa jumlah anak jalanan, pengamen, gelandangan, pengemis, maupun orang terlantar di Kota Semarang. Kemudian pemerintah membuatkan konsep program penanganan secara kreatif.

“Misalnya, bikin pelatihan keterampilan secara intensif. Berdayakan mereka sesuai dengan potensi. Bikin produk yang mengandung ‘value’ dengan pendampingan, pemerintah membantu memasarkan. Musisi jalanan misalnya jika dikelola dengan baik justru menjadi hal istimewa bagi kota tersebut. Bikinkan konsep pertunjukan, bukan malah membuat aturan pidana. Horor sekali kota ini,” katanya. (*)