in

3 Cerita tentang Media Sosial sebelum Pemilu 2019

Media sosial punya cerita, tentang kemarahan yang pernah terjadi pada Caligula, Peniup Seruling dari Hamelin, dan wabah Sampar.

Saya punya 3 (tiga) cerita, tentang media sosial, sebelum Pemilu 2019

Pertama, kisah Caligula.

Caligula adalah cucu Julius Caesar. Ia diceritakan sebagai raja yang kejam. Pada suatu hari, ia meminta hiburan. Seorang penghibur didatangkan, melawak di depan Caligula, namun setelah lawakan selesai, Sang Raja kecewa lalu pelawak itu dihukum mati. Alasan moral dari Sang Raja, agar orang lain tidak tersiksa dengan lawakan yang tak lucu. Motivasinya bagus, penilaiannya subyektif, dan memakai kekuasaan.

Moral di balik cerita ini, adalah, penguasa yang memiliki motivasi untuk “menyelamatkan orang lain dari siksaan”, kadang tampak melakukan sesuatu yang kejam. Dan tujuan baik (dalam hal ini, agar orang lain tidak tersiksa) kadang berjalan dengan cara salah.

Caligula, bisa jadi “sangat manusiawi”, namun, sosok seperti Caligula tidaklah ada dalam kehidupan sekarang. Benarkah kita masih ingin menghentikan siksaan, dari para pelawak yang tidak lucu, dan mencoba menghibur, tanpa kekejaman? Nyaris tanpa pembicaraan, kita memiliki alasan kuat untuk “menghapus” seseorang dari daftar pertemanan, memfilter siapa yang boleh tampil di Beranda, dan berkali-kali menyatakan secara eksplisit bagaimana sikap “politik” dan “keyakinan” kita, dengan satu kata: ini pilihan saya. Ini cara saya berteman, ini pemihakan saya (kepada diri-sendiri), ini cerita panjang saya tentang sikap yang perlu mendapatkan perhatian dari “orang lain”.

Kedua, kisah sebuah kota yang terkena wabah sampar (penyakit pes) dalam novel La Peste, karya Albert Camus.

Sebuah kota, yang kewalahan dan tak bisa menghindar dari wabah sampar, nyaris lumpuh karena perkembang-biakan tikus yang tak-terkendali. Kota yang berhadapan dengan penyakit tak-tersembuhkan.

Dokter yang tadinya bisa mengobati penyakit, berubah-fungsi hanya menjadi pemilah mana yang sakit dan mana yang masih sehat. Agamawan yang tadinya bisa menenangkan dan memperbaiki moralitas, berubah menjadi pemilah, sebatas menjelaskan bagaimana agama mengguratkan garis-garis dunia dan bagaimana seharusnya manusia bertindak.

Satu-satunya kelompok yang masih punya optimisme di dalam cerita novel itu adalah politikus. Yang dianggap tidak mampu melakukan perubahan tetapi memiliki optimisme bahwa keadaan ini bisa diubah menjadi lebih baik, dengan cara: ada arah menuju perubahan. Proyeksi kolektif dengan dukungan penuh.

Sekalipun behind the scene (BTS) novel ini, terkait dengan kritik atas kerapuhan Eropa yang kewalahan menahan serangan Nazi, ternyata cerita ini bisa menjadi metafora dari mentalitas masyarakat yang tidak-tahan menghadapi wabah yang tiba-tiba muncul.

Semacam media sosial.

Masyarakat yang secara alami berupa kemajemukan, menjadi ajang klasifikasi: “Situ sehat?”, “Apa agamamu?”, “Kamu dari kelompok mana?”, dst. Setiap hari kita membaca quote yang berisi klasifikasi, tentang normal dan tak-normal, otw dan berdiam, “bahagia” atau bersedih, dst.

Kota di dalam La Peste menjadi kebanyakan kota pada umumnya, yang kewalahan melakukan restrukturisasi fungsi. Munculnya defungsi peran institusi-institusi lama, seperti dokter dan agamawan yang sekadar menjadi pemilah yang tidak berhasil “menyembuhkan”, bahkan peran-peran baru: pebisnis, intelektual, dan agamawan, semakin banyak yang berpolitik, atas nama tanggung-jawab (dan uang).

Ketiga, kisah Peniup Seruling dari Hamelin, atau Pied Piper.

Sebuah desa yang gagal-panen karena hama tikus. Sepasang tikus menjadi ratusan-ribu tikus, lalu menyerang dan menghabiskan stok pangan di desa itu. Tidak ada yang bisa mengusirnya.

Lalu harapan mereka, ada pada dia “yang datang”. Secara etimologi, “composer” berarti “yang datang”. Seorang seniman, peniup seruling.

Orang-orang di desa itu mengumpulkan iuran, untuk satu orang, yang dipercaya akan melenyapkan wabah tikus. Mereka berharap, panen tidak gagal lagi, desa menjadi makmur-kembali, dan menjadi desa yang diperhitungkan di antara desa-desa lain.

Betapa senangnya, ketika seruling ditiup. Hanya tikus yang menurut. Semua penyakit berada di belakang Peniup Seruling, digiring keluar desa, dimasukkan ke dalam jebakan. Penyakit itu tidak kembali lagi. Kecewanya, ketika Peniup Seruling itu menagih janji, upah tidak diberikan.

Prestasi berubah menjadi kemarahan. Jasa menjadi sejarah yang dilupakan.

Ia meniup kembali serulingnya. Ini kali, bukan tikus yang berada di belakangnya, melainkan, seluruh anak-kecil di desa itu. Mereka terbawa suara seruling itu, menurut ke manapun suara itu pergi, semua berkumpul tanpa menyadari bahwa mereka sedang terbuai, lalu pelan-pelan Peniup Seruling itu menggiring generasi penerus di desa itu. Seluruh anak kecil di desa itu, tidak kembali. Hilang.

Hanya 3 (tiga) anak yang selamat: anak yang buta karena tidak tahu jalan, anak yang tuli karena tidak bisa mendengarkan suara seruling tadi, dan anak yang pincang karena tidak bisa mengejar suara seruling itu. Masa bodoh, tak mau mendengar, dan tidak sejalan dengan kawan-kawannya. Hanya ketiga jenis generasi inilah yang akhirnya tinggal di desa itu.

Ketiga cerita di atas, adalah cerita yang masih pantas didongengkan bagi anak-anak (dan kawan-kawan) di media sosial, yang sebagian mulai kehilangan perbincangan pelan-pelan. Spontanitas, kelucuan, yang mulai hilang karena ganasnya predikasi hoax pada link dan content di media sosial. Memilih antihoax daripada dehoakisasi.

Orang-orang yang kehilangan “serendipity” (temuan menyenangkan yang tak-sengaja), yang setiap hari menyaksikan pertikaian dan penghakiman di tempat, atas nama nilai-nilai mulia, seperti Caligula yang “harus” membunuh orang-orang yang dianggapnya menyiksa orang lain dan berbohong, karena lawakan yang dianggapnya tak lucu.

Cerita di atas adalah dongeng sebelum tidur, untuk sebagian orang yang tidak menganggap literasi web sebagai pelajaran serius dalam berkomunikasi, sehingga tidak jarang lebih memilih mengklasifikasikan “orang lain” daripada hidup-bersama dan menerima perbedaan.

Cerita di atas juga cocok untuk meninabobokkan orang-orang sebelum Pemilu 2019, agar mereka mengingat, bahwa pemilihan umum bukanlah sekadar memilih pemimpin dan calon legislatif, tetapi juga memperbaiki generasi. Bahwa sekarang kita sedang berjanji, kepada Peniup Seruling, bukan hanya untuk menghapus penyakit (apapun itu) tetapi tekad itu terjadi karena kita sekadar meminjam masa depan generasi mendatang. [dm]

——-
Day Milovich,,
Webmaster, artworker, penulis, tinggal di Rembang dan Semarang.

Day Milovich

Webmaster, artworker, penulis, konsultan media, tinggal di Rembang dan Semarang.