SEMARANG (jatengtoday.com) – Salah satu ritual tahunan musim penerimaan siswa baru adalah pembelian seragam sekolah. Kesempatan tersebut kerap dimanfaatkan oleh oknum atau sekelompok guru maupun pegawai yang tidak bertanggungjawab.
Apalagi, hingga saat ini Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi jawa Tengah tidak mengeluarkan kebijakan terkait pembelian seragam untuk jenjang SMA/SMK Negeri di Jawa Tengah. Begitupun untuk Dinas Pendidikan Kota Semarang yang menaungi SD-SMP Negeri.
Ini menjadi celah terjadinya praktik monopoli pengadaan seragam sekolah, biasanya berkedok koperasi. Harga seragam tersebut cenderung lebih mahal dibanding harga di pasaran. Praktik monopoli seragam sekolah seperti itu diduga masih banyak terjadi di sejumlah sekolah negeri di Kota Semarang.
Di salah satu SMP Negeri yang terletak di wilayah Purwoyoso Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang, ditengarai masih terjadi jual beli seragam dan atribut sekolah oleh keperasi. Seragam yang diwajibkan membeli di koperasi sekolah adalah seragam batik.
“Kalau seragam OSIS dan pramuka bebas (boleh beli di luar). Tapi kalau seragam batik harus beli di sekolah. Alasannya karena batik khas sekolah,” kata salah salah satu orang tua siswa SMP Negeri tersebut, PJ, kepada jatengtoday.com, Selasa (17/7).
Meski diperbolehkan membeli di luar, pihak sekolah tetap menyediakan seragam OSIS dan pramuka. “Selain seragam batik, sejumlah atribut seperti topi, seragam olahraga dan lain-lain yang menggunakan nama sekolah diwajibkan membeli di sekolah,” ujarnya.
Bahkan orang tua siswa ditawarkan harga paket seragam lengkap Rp 1,150 juta. Harga tersebut meliputi semua seragam, baik OSIS, pramuka, seragam batik, seragam olahraga, dan sejumlah atribut sekolah. “Tapi itu tidak diwajibkan. Yang wajib hanya batik dan atribut,” katanya.
M. Sofii dari Pattiro Semarang mengatakan, sudah ada peraturan dalam lampiran V keputusan Kepala Dinas Pendidikan Kota Semarang nomor 422.1/4643 tentang penetapan pakaian seragam sekolah pada penerimaan peserta didik baru di Kota Semarang tahun pelajaran 2018/2019.
Peraturan tersebut berpedoman pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2014. “Terkait pembelian seragam sekolah, sesuai dengan Permendikbud nomor 45 tahun 2014 pasal 4 ayat (1) pengadaan pakaian seragam sekolah diusahakan sendiri oleh orangtua atau wali peserta didik,” katanya.
Sedangkan ayat (2) menjelaskan, bahwa pengadaan pakaian seragam sekolah tidak boleh dikaitkan dengan pelaksanaan penerimaan peserta didik baru atau kenaikan kelas.
“Akan menjadi masalah jika harga seragam sekolah jauh lebih tinggi dibanding harga di pasaran. Guru maupun karyawan sekolah biasanya mengambil keuntungan melalui praktik tersebut,” katanya.
Dengan begitu, lanjut Sofii, sekolah harus membebaskan siswa baru untuk membeli seragam nasional, dan tidak boleh
mengharuskan membelinya di sekolah.
“Kami menyarankan agar Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah mengeluarkan kebijakan pelarangan sekolah atau koperasi sekolah menjual seragam dan atribut sekolah sesuai dengan Permendikbud 45 tahun 2014,” katanya.
Selain itu, pihaknya akan melakukan monitoring. Apabila ditemukan sekolah menjual seragam dan atribut, Pattiro Semarang merekomendasikan agar sekolah tersebut diberikan sanksi.
“Untuk mengurangi potensi praktek jual beli seragam melalui koperasi sekolah, maka Pattiro Semarang mendukung partisipasi masyarakat melalui posko aduan dengan call center 085713287479 atau (024) 8445532. Selain itu bisa melalui email: pattiro_semarang@yahoo.com,” katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Kota Semarang, Bunyamin menegaskan siswa baru yang telah diterima pada sekolah lanjutan tidak diwajibkan untuk membeli seragam sekolah melalui koperasi sekolah.
“Orang tua siswa bebas membeli seragam di manapun, tidak harus di sekolah,” katanya.
Dikatakannya, seragam sekolah bersifat personal. Sehingga orang tua siswa bisa memilih membeli seragam nasional di mana saja. “Adapun jika sekolah menyediakan, ya silakan. Tapi orang tua siswa tidak diwajibkan untuk beli di koperasi sekolah,” terangnya.
Bunyamin menyebut, jenis pembiayaan ada tiga, yakni pembiayaan investasi, pembiayaan operasional dan pembiayaan personal. “Nah, seragam sekolah merupajan pembiayaan personal, sehingga orang tua siswa menyediakan sendiri,” katanya.
Apabila ada sekolah mewajibkan siswa untuk membeli seragam, Bunyamin menegaskan agar segera dilaporkan kepada Dinas Pendidikan. “Kami akan tindaklanjuti,” katanya. (*)
Editor: Ismu Puruhito