SEMARANG (jatengtoday.com) – Rencana penutupan Lokalisasi Argorejo Semarang atau sering disebut Sunan Kuning (SK) diperkirakan tidak bisa dihindari dalam waktu dekat. Ditargetkan penutupan lokalisasi paling legendaris di Kota Lumpia ini dilakukan akhir tahun 2018 atau paling lambat awal 2019.
Namun upaya persiapan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang sejauh ini dinilai belum maksimal dan komprehensif. Aktivis dan pemerhati sosial menilai masih ada banyak hal yang tidak terpikirkan oleh pemerintah pasca lokalisasi tersebut ditutup.
“Kami mendorong agar proses menuju penutupan, mulai dari rencana, sosialisasi hingga eksekusi, setidaknya harus dilakukan secara manusiawi. Tinggalkan model kekerasan yang tidak menyelesaikan,” kata pemerhati sosial, Paskalis Abner kepada jatengtoday.com, Selasa (27/11/2018).
Hal paling penting adalah melakukan dialog dengan para pelaku. Sebab, mereka harus siap mental, spiritual dan ekonomi. Sehingga ketika tempat itu benar-benar ditutup, mereka tidak lagi melakukan aktivitas serupa.
“Kemudian mereka bisa melakukan kegiatan positif yang bernilai ekonomis. Pemerintah harus bisa menyiapkan kehidupan mereka lebih baik,” katanya.
Namun hal yang tidak kalah penting adalah melakukan upaya penanganan terhadap kemungkinan yang terjadi setelah lokalisasi tersebut ditutup. Maka pemerintah harus memiliki data secara rinci.
“Termasuk warga binaan yang selama ini ‘sakit’ atau terkena virus HIV/AIDS juga harus mendapatkan penanganan dan pelayanan secara baik. Sehingga tidak memperluas penyebaran virus ke jaringan lain,” katanya.
Ada beberapa pertanyaan, apakah Pemkot Semarang saat ini telah mempersiapkan langkah penanganan pasca Argorejo ditutup? Misalnya kemungkinan beberapa di antara mereka melakukan praktik prostitusi di tempat lain. Bagaimana cara mendeteksi dini setelah penutupan lokalisasi tersebut? Apabila masih muncul praktik prostitusi di tempat lain, lantas apa langkah pemerintah?
“Misalnya di hotel-hotel, rumah kos dan lain-lain secara sembunyi-sembunyi. Ini perlu ditelaah lebih dalam,” katanya.
Mengapa demikian? Paskalis memberikan contoh pasca penutupan Lokalisasi Dolly Surabaya, apakah praktik prostitusi di Kota Surabaya benar-benar berhenti? “Kalau mau jujur, sebenarnya masih ada (prostitusi). Hanya saja tidak terbuka sebagaimana dulu. Memang sebagian besar sudah beralih untuk membuka wirausaha mandiri dan bertobat. Tetapi sebagian dari mereka tetap melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Ini yang sangat sulit untuk terpantau,” katanya.
Menurut Paskalis, hal yang biasa terjadi pemerintah hanya konsentrasi menutup lokalisasi tersebut. Setelah lokalisasi ditutup, seolah-olah persoalan dianggap sudah selesai. Padahal masih banyak yang berkeliaran dan tidak bisa dipantau. “Di Surabaya, apakah ada data? Orang ini ke mana saja, masih hidup atau tidak, kehidupannya masih seperti dulu atau beralih? Angka-angka seperti itu kan kita enggak tahu,” katanya.
Dampak apabila praktik prostutusi tidak terpantau, lanjut dia, justru akan sangat berbahaya. Sebab, penyebaran virus HIV/AIDS tidak terpantau pula. “Kalau para pelaku prostitusi keluar dari arena tersebut, tentu tidak bisa diketahui perkembangannya, termasuk rekam medisnya. Kecuali memang mereka benar-benar memiliki kesadaran dan mengakses layananan kesehatan,”
Mereka bisa berkeliaran menjadi wanita panggilan di hotel, bekerja di karaoke dan seterusnya. “Artinya, apabila praktik prostitusi masih jalan terus. Potensi penyebaran HIV/AIDS tidak terkontrol. Kalau begitu, penutupan lokalisasi itu untuk apa? Pemerintah bisa melakukan apa terhadap masalah seperti itu?” ungkapnya mempertanyakan.
Mengenai wirausaha bagi para wanita pekerja seks sebagaimana program pemerintah selama ini, menurutnya juga dinilai belum efektif. Ia menyebut contoh di Kota Surabaya, wanita pekerja seks diberikan modal Rp 5 juta untuk membuka wirausaha.
“Memang sebagian ada yang digunakan untuk mengembangkan usaha. Tetapi tidak sedikit, uang modal Rp 5 juta tersebut justru malah habis digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Saya rasa uang modal itu percuma. Sebab, tidak akan memberikan hasil signifikan,” katanya.
Persoalannya tidak sesederhana itu. “Setelah diberikan uang, masalah seolah-olah selasai. Pemerintah bilang, mereka mau menggunakan modal itu untuk apa terserah. Kan tidak bisa seperti itu,” katanya.
Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi sebelumnya mengatakan, keberadaan lokalisasi Argorejo menimbulkan banyak persoalan yang sangat kompleks. Alasan mendasar yang paling fundamental adalah mencari nafkah dengan cara melegalkan prostitusi.
“Masak kita harus mencari uang dari hasil persoalan seperti itu. Selain itu, tindakan kriminal di wilayah tersebut cukup tinggi. Perkelahian bahkan pembunuhan hingga tindak pidana trafficking. Peluang tersebarnya virus HIV/AIDS di lokalisasi itu puluhan tahun,” katanya.
Maka dari itu, kata Hendi, sesuai dengan Keputusan Menteri Sosial, Pemkot Semarang sepakat akan melakukan penutupan Lokalisasi Argorejo. “Setidaknya tahun depan (2019) Sunan Kuning (Argorejo) harus ditutup,” katanya. (*)
editor : ricky fitriyanto