SEMARANG (jatengtoday.com) – Febri Ramdani, mantan anggota ISIS, kembali ke Indonesia. Dia mengaku ingin membantu memerangi radikalisme yang kini mulai membidik generasi muda.
Hal itu diungkapkan saat menemui Gubernur Jateng, Ganjar Pranwo di Puri Gedeh, Senin (9/3/2020). Pria asal Depok, Jabar ini mengaku ingin membantu program deradikalisasi yang digalakkan Pemprov Jateng.
Tak hanya sendiri, Febri ditemani oleh dua orang eks narapidana terorisme (napiter). Nur alias Hariyanto dan Badawi Rahman alias Yusril. Keduanya adalah warga Semarang yang pernah terlibat dalam kegiatan terorisme di Indonesia.
Febri menceritakan kisahnya selama 300 hari di Suriah. Kisah itu ia tulis dalam buku berjudul 300 Hari di Bumi Syam; Perjalanan Seorang Mantan Pengikut ISIS itu berisi tentang pengalamannya selama di Suriah.
Febri menerangkan, ia berangkat ke Suriah untuk menyusul keluarga besarnya yang terpengaruh propaganda ISIS. Dengan menjual seluruh aset di Indonesia, keluarga besarnya berangkat ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS.
Ketika tiba di Suriah, Febri menyaksikan bagaimana kengerian yang terjadi akibat perang saudara di negara itu. Semuanya berbeda dengan apa yang ia pikirkan sebelumnya.
“Saya lihat negara itu hancur. Suara bom bisa terdengar ratusan kali dalam sehari. Saya juga pernah ditangkap dan ditahan selama satu bulan oleh salah satu faksi di sana,” ucapnya.
Selama lima bulan Febri mencari keluarganya di Suriah. Saat ketemu, ada beberapa saudaranya yang sudah meninggal karena dipaksa berperang.
Febri pun melihat kondisi Suriah yang ternyata jauh dari propaganda yang ditawarkan ISIS. Saat propaganda berlangsung, ISIS memberikan janji bahwa semua yang mau hijrah ke daerah itu akan mendapat fasilitas termasuk gaji, tunjangan dan lainnya. Namun faktanya itu tidak ada sama sekali. Orang-orang yang ada di sana dipaksa mengikuti kegiatan militer dan berperang, sementara yang perempuan dipaksa menikah.
“Kondisi itulah yang membuat saya sadar, bahwa langkah saya salah. Saya catat semua pengalaman saya itu dalam buku ini, agar saya bisa sharing pengalaman dan mengedukasi kepada masyarakat, bahwa propaganda ISIS itu semuanya tidak benar,” tegasnya.
Febri melihat bahwa Ganjar selama ini sangat konsen terhadap upaya deradikalisasi. Upaya-upaya pencegahan paham radikal sangat kuat dilakukan di Jawa Tengah. Untuk itu, dirinya ingin berbagi pengalaman dan membantu upaya deradikalisasi agar lebih efektif.
Sementara itu, Nur dan Badawi menambahkan tentang bagaimana bahayanya gerakan radikalisme yang ditanamkan oleh kelompok-kelompok tertentu di Indonesia. Nur yang dipenjara karena kasus Poso dan Badawi Rahman alias Yusril, pembuat senjata untuk para teroris di Indonesia itu mengatakan, keduanya terpikat dengan propaganda yang dilakukan melalui kajian-kajian di masjid oleh kelompok-kelompok itu.
“Mereka sering menggelar pengajian di masjid, kemudian semakin intim menyambangi rumah untuk menanamkan paham radikal. Ini yang harus diwaspadai, karena mereka sangat terorganisir. Kami juga ingin membantu pemerintah untuk melakukan edukasi,” jelas Badawi.
Bak gayung bersambut, Ganjar langsung menyetujui tawaran Febri, Nur dan Badawi. Dia akan melibatkan ketiganya dalam kampanye deradikalisasi yang akan dilakukan pemerintah.
“Nanti saya undang untuk berkeliling ke sekolah-sekolah yang ada di Jawa Tengah. Untuk mengedukasi masyarakat khususnya anak muda tentang bahaya radikalisme,” ucapnya.
Cerita dan pengalaman orang-orang yang pernah terlibat gerakan radikalisme, lanjut dia, sangat penting. Hal itu dapat berguna sebagai benteng untuk mencegah masyarakat terjerumus dalam gerakan itu.
Selama ini lanjut dia, dirinya memang selalu menggandeng para kombatan yang pernah terlibat gerakan radikalisme untuk memberikan edukasi kepada masyarakat. Dengan begitu menurutnya masyarakat dapat paham bahwa apa yang dilakukan itu adalah salah. (*)
editor: ricky fitriyanto