Kacau sekali. Itu bukan deja vu, namun dianggap deja vu. Karena tidak mengerti istilah “deja vu” dan bagaimana cara-kerja “deja vu”.
Ada kejadian lain, beberapa kawan saya sering ngeyel, “Pokoknya saya pernah tahu ini..”. Dia sebut nama, tahun, tempat, namun tidak persis dengan kejadian nyata.
Contohnya, ketika tahun 2010, banyak orang ramai-ramai menyebut Jawa penuh piramida. Banyak orang mengaku bermimpi dan mendapat firasat sama, tentang banyaknya piramida di Jawa. Mereka semakin yakin ketika banyak orang mengatakan hal sama.
Masih ada lagi. Cerita tentang Musa dikejar Fir’aun di Laut Merah. Apa yang terbayang? Bukan rute pelarian yang tidak masuk-akal (karena area di pinggiran Laut Merah itu banyak pendukung Fir’aun. Mereka bayangkan tongkat Musa membelah Laut dan orang-orang menyeberang.
Adegan yang “pokoknya begitu..”. Kalau di-cross-check dengan pengetahuan ilmiah (bukan adegan belah lautan, tetapi soal rute pelarian), mereka nggak bisa jawab.
Hal seperti itu ada namanya. Itu disebut “Mandela Effect”. Wikipedia menjelaskan “Mandela Effect” sebagai salah satu bentuk “false memories” (ingatan palsu).
Fiona Broome mengenalkan istilah ini. Ceritanya, ada seorang paranormal-konsultan yang mengingat Nelson Mandela (mendiang presiden Afrika Selatan, pejuang anti-apartheid). Menurut Fiona, Nelson Mandela telah meninggal di penjara pada era 1980-an. Ada beritanya, bahkan istri Mandela berpidato terkait kabar duka itu. Padahal, kenyataan yang terjadi: Mandela meninggal pada 5 Desember 2013 dalam usia 95 tahun karena sakit.
Ada banyak orang yang merasa seperti itu, namun salah jika dibandingkan dengan kenyataan.
“Mandela effect” adalah kesalahan memori kolektif ketika banyak orang mengatakan atau meyakini hal sama, tetapi terjadi kontradiksi ketika dibandingkan dengan kenyataan.
Menurut sains medis, “Mandela Effect” berkaitan dengan konfabulasi, yaitu bentuk kejadian yang benar-benar terjadi, namun ditempatkan dalam kerangka ruang dan waktu yang salah.
Mereka seringnya tidak bermaksud berbohong. Hanya ingin isi celah kosong di ingatan mereka. Kita sering lihat gambar berisi kutipan dari film “Forest Gump”: “Life is like a box of chocolates”, padahal di film itu, Tom Hanks (pemeran Forest) bilang, “Life was like a box of chocolates”. Orang Indonesia, kalau diuji untuk menulis brand cemilan coklat, menuliskan “Kit-kat” dengan tanda hubung, padahal “KitKat” ditulis tanpa tanda-hubung. Tidak pernah ada sebutan Brawijaya V di prasasti tetapi semua orang menganggap dia raja Majapahit terakhir.
Banyak contoh di mana kesalahan memori kolektif terjadi.
Sebaiknya kita tidak terlalu andalkan apa kata orang banyak. Status quo yang menetap, tanpa pernah dipertanyakan, itu berbahaya. Istilah memiliki asal. Kejadian atau proses, memiliki nama. Cara kerja sesuatu, bisa diulas dengan detail. Jika tidak rajin periksa cara kita berpikir, kita bisa terjebak dalam bias berpikir.
Baca: 8 Bias Berpikir yang Bikin Orang Gagal Bisnis
Mari biasakan untuk tidak menggunakan suatu kata ketika tidak tahu arti kata itu dan bagaimana cara-kerja kata itu. Lebih baik membaca dan terus belajar ketika menyadari apa yang kita tidak tahu lebih awal. Dengan “menulis”, kita bisa mencatat apa yang telah terjadi, tanpa terkena “Mandela Effect”. [dm]