Sementara itu, Ketua Resosialisasi Argorejo, Suwandi mengaku akan menyambut positif rencana pemerintah. Namun demikian, ia meminta Pemkot Semarang bertindak bijak. “Pemkot Semarang tidak boleh salah langkah yang dapat menimbulkan bentrok dengan warga sekitar maupun para WPS.
Para WPS ini dimanusiakan. Bagaimana caranya mereka tidak sengsara. Mereka harus diopeni,” katanya.
Pemerintah, lanjutnya, memiliki tanggung jawab atas berbagai permasalahan sosial yang bakal terjadi setelah Argorejo ditutup. “Termasuk uang saku dan uang transport bagi para WPS. Biasanya mereka tidur saja dapat uang. Jangan sampai penutupan ini membuat mereka ngemis-ngemis,” ujarnya.
Tidak hanya WPS, lanjut Suwandi, warga sekitar yang keseharian mencari nafkah di lokasi tersebut juga harus diperhatikan. Suwandi yang juga Ketua RW di wilayah tersebut meminta agar Pemkot Semarang berkomunikasi dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk warga. “Saya tidak ingin warga saya sengsara. Mereka makan dari hasil itu,” katanya.
Dia meminta agar Pemkot Semarang bisa mengalihkan profesi mereka dengan membangun Kampung Tematik di kawasan Argorejo tersebut. “Misalnya menjadi pusat kuliner maupun pusat karaoke. Dengan begitu, warga sekitar tidak khawatir akan kehilangan pekerjaan,” katanya.
Kurun waktu tiga tahun terakhir, lanjut Suwandi, pihaknya mengaku telah berupaya keras untuk menjalankan program pengentasan WPS. “Jumlah WPS di Argorejo cenderung menurun. Semula berjumlah 740 orang, saat ini menjadi 476 WPS. Hal itu tak terlepas dari program pengentasan WPS dengan cara wajib menabung.
Warga binaan yang sudah punya tabungan di atas Rp 150 juta berhenti bekerja sebagai WPS,” katanya.
Pada prinsipnya, Suwandi menghormati kebijakan pemerintah. Namun, dia berharap pemerintah tidak hanya menutup Argorejo saja. “Pemerintah harus menutup seluruh prostitusi di Indonesia. Sehingga, hal ini tidak akan menimbulkan kecemburuan sosial,” ujarnya. (*)
editor : ricky fitriyanto