SEMARANG (jatengtoday.com) – Selain memiliki nilai edukasi sejarah, jejak peninggalan peradaban masa lampau selalu memiliki eksotisme menarik bagi setiap generasi. Diakui, Indonesia menjadi salah satu negara yang kaya peninggalan budaya, tetapi cenderung terkesan mengabaikan pelestarian.
Situs sejarah seringkali ditemukan terbengkalai dan tidak terawat. Bahkan tidak menutup kemungkinan ‘hilang’ alias punah akibat tidak ada upaya penanganan secara serius.
Jatengtoday.com berusaha merangkum catatan, sedikitnya ada lima situs bersejarah di Kota Semarang yang terbengkalai dan tidak terawat.
1. Ondo Rante
Nama Ondo Rante Semarang barangkali asing atau bahkan tidak dikenal oleh generasi milenial. Namun bagi pemerhati sejarah maupun orang tua warga asli Kota Semarang akrab dengan nama tersebut. Ondo Rante merupakan bangunan anak tangga atau jalan setapak ratusan meter yang membelah bukit Wungkal Kasap Pakintelan, tidak jauh dari Jalan Lempuyang, Banyumanik, Kota Semarang. Tepatnya di belakang Makodam IV/Diponegoro.
Dulunya, sepanjang jalan setapak tersebut terdapat rantai memanjang yang digunakan untuk pegangan tangan agar tidak terpeleset. Sebab, anak tangga tersebut terbilang ekstrim dengan kemiringan kurang lebih 40 derajat. Populer di era 1960-1980-an dan sempat dijadikan tempat wisata masyarakat kala itu.
Bangunan anak tangga dengan konstruksi beton itu merupakan peninggalan zaman penjajahan Kolonial Belanda, dikenal dengan sebutan “leidingwater”. Rantai memanjang tersebut berfungsi untuk mempermudah pengecekan jaringan pipa air. Namun kondisinya saat ini memprihatinkan, karena anak tangga “Ondo Rante” tersebut dipenuhi semak belukar. Akses menuju ke lokasi tersebut hanya bisa dilakukan dengan berjalan kaki.
2. Watu Tugu
Di sebuah bukit mungil di Kelurahan Tugurejo, Kota Semarang, terdapat situs kuno yang memiliki riwayat panjang, yakni situs Watu Tugu. Tidak sedikit arkeolog yang telah melakukan identifikasi terhadap situs setinggi empat meter tersebut. Salah satunya Arkeolog, Tri Subekso, menilai situs batu menyerupai stupa tersebut diperkirakan lebih tua dari masa Kerajaan Majapahit. Bahkan dapat diinterpretasikan pada temuan-temuan situs Mataram Kuno di Semarang. Tentu, sisi material culture atau peninggalan arkeologis tersebut menarik untuk ditelusuri. Namun disayangkan, hingga kini tidak ada perhatian dari pemerintah dan belum dilakukan riset secara otentik.
3. Candi Duduhan
Temuan bangunan kuno terpendam di dalam tanah, tepatnya di lahan kebun yang ditumbuhi rimbun pohon mahoni, durian, nangka dan semak belukar. Tepatnya di Desa Duduhan, Kecamatan Mijen, Kota Semarang. Diperkirakan situs tersebut merupakan struktur bangunan candi yang usianya lebih tua dari Dinasti Sanjaya Mataram Kuno abad ke-8.
Tim gabungan dari Pusat Penelitian Arkeolog Nasional, Balai Arkeolog Jogja, Mahasiswa UGM, dan Tim Geologi ITB, pernah melakukan eskavasi atau penggalian terhadap temuan candi tua di daerah Mijen tersebut beberapa waktu lalu. Situs ini belum mendapatkan penanganan secara tuntas. Sejumlah arca penting seperti Nandi atau patung sapi dan arca Yoni yang sebelumnya ditemukan warga di kawasan tersebut pun tak terurus dan terbengkalai.
Warga setempat juga sempat memberikan kesaksian bahwa beberapa arca mirip patung manusia gajah (Ganesha) dan patung sapi (Nandi) hilang. Terakhir, tiga arca Candi Duduhan yang bertahun-tahun ditempatkan di pertigaan kampung tersebut hilang pada Selasa (7/7/2020) lalu. Ketiganya berupa fragmen Nandi, Lapik atau Balai Pita dan Kemuncak.
4. Bangunan Chinkon No Hi
Bangunan Chinkon No Hi atau Monumen Ketenangan Jiwa yang terletak di kawasan Pantai Baruna Semarang menjadi salah satu situs sejarah yang kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah. Situs tersebut merupakan bangunan monumen untuk mengenang Pertempuran Lima Hari di Semarang antara tentara Indonesia melawan tentara Jepang yang hingga sekarang belum terawat secara baik. Sejumlah pegiat sejarah bersama aktivis Yayasan Rumah Pancasila dan Klinik Hukum sempat memotori gerakan untuk merawat situs ini.
5. Gedung Sri Wanito
Kota Semarang pernah memiliki sebuah gedung pertunjukan kesenian yang dikenal dengan sebutan Gedung Sri Wanito. Tepatnya di sekitar Pasar Dargo Kota Semarang. Sayangnya, gedung yang memiliki sejarah penting dalam perjalanan kebudayaan di Kota Semarang tersebut “hilang” akibat tidak terawat. Sejarah gedung tersebut pernah menjadi pusat pertunjukan seni tari klasik Jawa dan Wayang Orang (WO) pertama kali di Kota Semarang. Sri Wanito merupakan perkumpulan pelaku seni yang dipimpin dua bersaudara Yuk Hwa dan Kong Hwa pada kisaran 1935 silam, terbentuk kelompok Wayang Orang (WO) Sri Wanito. Pasca Sri Wanito bubar, di Kota Semarang hadir kelompok Wayang Orang Ngesti Pandawa yang hingga sekarang masih eksis. (*)
editor: ricky fitriyanto