Anak suka piknik, apalagi ibunya. Piknik dan liburan tidak harus mahal, tidak harus menyenangkan. Keluarga saya punya 2 metode untuk mendidik anaknya, melalui piknik dan liburan.
Piknik Bulanan
Rutinitas kami sekeluarga. Setelah bapak dan ibu gajian, di awal bulan, kami sekeluarga pergi ke Taman Kartini Rembang. Sebenarnya, setiap minggu bisa, tetapi moment yang sengaja dipilih adalah setelah orang tua gajian.
Kami naik colt pick-up (alias “kol pikep”), angkutan di tahun 1980-an. Sekarang, ini menjadi kendaraan angkut dagangan ke pasar. Sampai di Taman Kartini Rembang, kami makan bakso, es campur, dan bermain bandulan, melihat pantai, kemudian naik becak ke pasar. Kadang mampir ke Photo Studio “YAP”, atau benerin raket, dan hal-hal yang harus dikerjakan di Rembang.
Tidak mewah sama sekali.
Sepanjang jalan, ada tanya-jawab. Orang tua bahkan tidak bisa menjawab semua pertanyaan anak. Yang bisa dilakukan orang tua dalam keadaan seperti ini, sebaiknya tidak berbohong. Atau siapkan cerita. Beberapa tempat di suatu kota, menjadi tujuan menyenangkan bagi suatu keluarga. Orang tua bisa menceritakan masa kecil atau menjelaskan sesuatu ke anaknya, sebisanya.
Pergi ke luar kota menjadi “milestone”, tonggak pencapaian. Apa yang telah kamu lakukan sebulan ini? Ingatkah kamu pernah di sini? Yang ditemukan ketika di luar rumah, melalui perjalanan, biasanya sesuatu yang berbeda dari rumah. Di Rembang ada pantai, di desa saya tidak ada. Di tempat asing (yang bukan desa kita), sebenarnya kitalah orang asingnya. Di Rembang ada fotokopi dan studio foto, di desa saya tidak ada. Ini bahan bercerita yang sangat panjang. Sampai sekarang, walaupun sudah ada kabar dari YouTube, seringnya kenyataan “di sana” berbeda dari apa yang diceritakan di internet. Itulah pentingnya “datang secara langsung”. Pengalaman seperti ini tidak tergantikan oleh augmented reality. Kami senang ketika foto 4 hari yang lalu sudah bisa diambil. Proses ini namanya afdruk, dari kamera analog yang memakai film, dicetak ke atas kertas. Prosesnya mirip foto polaroid yang langsung-jadi, namun menunggu 2-4 hari. Melihat foto, membuat kami terkenang, apa yang pernah kami lakukan di sekitar pembuatan foto itu.
Seperti itulah moment. Kejadian sebentar, yang sangat kamu kenang, dan ikut merubah cara pandangmu tentang hidup.
Sampai sekarang, saya masih punya foto dengan wajah tegang, bertiga dengan kakak saya, di dekat monyet yang diawetkan dengan formalin. Kami pernah lama mengulas “pose” dan “ekspresi” foto itu. Semua keluarga memiliki kenangan yang tak-terlupakan, kita tahu itu.
Sekarang, saya tidak pernah mengalami piknik seperti itu lagi. Piknik yang edukatif: ada peristiwa sosialisasi, membaur dengan alam, menikmati menu makanan yang berbeda dari menu di rumah, melihat hal-hal asing (kamera, fotokopi, dll.), dialek yang berbeda, perjalanan 20 menit, dan hal-hal biasa yang ternyata saya kenang sampai sekarang.
Generasi yang terlahir setelah 2008, mungkin tidak punya “nostalgia”. Mereka terdokumentasikan lebih utuh. Kenangan 5 tahun yang lalu, hanya seperti baru terjadi “kemarin”. Apa yang unik bagi seseorang, ternyata ada sejuta kesamaan dengan orang lain yang sudah pernah ke sana. Mereka terekam dalam foto dan berita. Namun kenangan tetaplah kenangan.
Yang menarik, saya merasakan “moment”, yang bisa saya kenang selamanya. Ada pemicu sedikit saja, langsung terkenang ke moment itu.
Sebagai pengingat, apa yang kita sebut hidup, kita nilai berdasarkan “moment” tertentu. Kejadian yang “sekali saja”, “sebentar”, “terkesan selamanya”, dan membentuk-ulang karakter maupun hidup kita.
Saya berikan sedikit contoh dan saya berani jamin, kita punya banyak kesamaan.
Kawan saya di masa SMP hanya ingat rumus artimatika dasar. Tambah, kali, kurang, dan bagi. Menurutnya, itulah yang paling applicable. Dia tidak suka matematika karena pernah dimarahi gurunya. Moment sekali dalam hidupnya yang membuatnya menjadi “tidak akan” suka matematika.
Ada lagi, seorang kawan yang pernah bekerja di luar pulau, mendapatkan pelajaran hidup berupa 1 kalimat, yang sama sekali tidak baru baginya, yaitu: “Kalau kamu mau menolong orang, maka akan ada bantuan tak-terduga dari orang yang kamu kenal.”. Sebenarnya, tidak butuh pergi ke luar pulau untuk mendapatkan “pelajaran hidup” seperti itu. Yang saya catat kemudian, bagaimana orang ini mengalami “kesadaran” yang ia terapkan kemudian seumur hidupnya, atas sesuatu yang sebenarnya sudah ia ketahui, hanya karena suatu kejadian? Seperti inilah moment.
Kebalikan dari kebencian kawan saya, terjadi pada orang tua kawan saya yang lain. Seorang professor, yang hidup berkecukupan, saya tanya, “Bagaimana orang tuamu bisa menghasilkan uang banyak?”. Bukan soal uang. Pertanyaan saya adalah “bagaimana caranya bekerja”. Kawan saya menjawab, “Orang tuaku separuh hidupnya ia pakai untuk membuat persamaan matematika, yang ia terapkan dalam bisnis. Itu yang membuatnya berhasil.”. Kita tidak bisa kesampingkan pentingnya usaha, manusia lain, dan bermacam-macam variabel di balik bisnis orang tuanya, namun rahasia di balik itu ternyata sebuah persamaan matematika. Ia mampatkan ilmunya, menjadi applicable, dalam bentuk 1 persamaan matematika.
Saya masih mengejar, “Momen apa yang membuat orang tuamu terobsesi untuk mencapainya?”. Kawan saya menggeleng. Tidak tahu.
Mungkin itu tidak penting. Yang terpenting, di dunia ini, ada orang yang mati-matian mengejar suatu “nilai”, yang kelak bisa membuat anak-cucunya tidak lagi memikirkan uang.
Yang menarik, pada akhirnya saya menemukan bagaimana menciptakan “moment” seperti itu. Temuan ini, baru saya sadari setelah saya mengalami kejadian berulang-ulang di sekitar saya.
Pertama, mengalami “kebenaran” hanya bisa terjadi jika pikiran kita terbuka. Tanpa “open-mind”, kita sulit menerima pelajaran apapun.
Saya sempat mencari, apa yang saya dapatkan selama piknik setiap bulan, yang ditradisikan orang tua saya di keluarga.
Ternyata, saya baru bisa mendapatkan “makna” di balik liburan itu, ketika saya duduk merenungi betapa pahit-manis masa-masa bersama orang tua dulu.
Selain itu, saya mengulangnya sendirian, tanpa saudara saya. Pergi ke Taman Kartini, sendirian, melihat bangunan sudah berubah, keadaan berbeda, namun saya membayangkan yang dulu, secara intensif.
Umur berapa bapak saya waktu itu? Apa kira-kira yang ada di pikiran ibu saya, ketika mengajak anaknya piknik setelah gajian? Seperti apa studio foto yang dulu pernah memotret saya?
Ini semua hanya untuk menumbuhkan “empati”.
Saya bukan bapak saya, namun setidaknya saya punya kesamaan: pernah sekolah yang sama, tidur di rumah yang sama, pernah melewati umur 30 tahun, dll. Empati tumbuh dari pengalaman sama, bukan pengetahuan sama.
Sekalipun setiap hari orang diajari untuk berdoa, “Hanya kepada-mu kami beribadah dan hanya kepada-mu kami meminta pertolongan,” sekalipun sudah tahu arti doa itu, akan lebih bermakna jika doa itu diterima dengan empati.
Empati berbicara tentang.. Pengalaman. Tindakan. “Saya pernah”. Menyaksikan. Merasakan sendiri. Sakitnya tangan kirimu dirasakan seluruh badanmu.
Dengan perenungan seperti itu, ternyata saya mendapatkan “pelajaran” dari piknik sehari setelah gajian. Apa yang saya dapatkan, selalu berbeda. Tidak jarang, ingatan saya tentang masa kecil itu ternyata salah. Bahkan bapak saya tidak pernah sekalipun membicarakan betapa menyenangkan rutinitas bulanan itu. Dia tipikal orang yang keep moving, bukan diam dalam kenangan, apalagi menceritakan hal-hal yang pernah terjadi. Sepertinya, ia membangun kenangan itu untuk kami, bukan untuk dirinya sendiri.
Singkatnya, lakukan ini: (1) selalu berpikiran terbuka dan mengamati hal-hal yang terpinggirkan; (2) nikmati kesendirian, agar pikiranmu tidak melibatkan penilaian orang lain, untuk menciptakan “moment”; dan (3) ingatanmu bisa salah, jadi sebaiknya kamu mencatat atau merekam.
Kamu bisa ciptakan “piknik”, seperti cara di atas, tidak harus sepanjang hari. Kamu bisa lakukan sebulan, sejam, atau hanya 30 menit.
Saya sering “menghilang” dari kerumunan, duduk sendirian sebentar di tepi pantai, di tempat yang sangat asing, agar ada jarak dari orang lain, tanpa gangguan ketika menilai atau mengamati sesuatu. Ini menjadi “pengulangan” yang lebih dalam, dari moment piknik seperti yang terjadi pada saya di masa kecil.
Piknik bukan tentang perayaan, bukan soal berapa uang yang kamu punya. Ini percakapan dengan diri-sendiri, melalui perjalanan, bertemu orang asing yang tidak menghakimi penilaian kamu, di mana kamu bisa belajar dari budaya orang lain, fokus pada “pikiran saya” sekarang. Piknik tidak perlu kamu tunggu, ia ada di sekitarmu.
Menginap di Rumah Saudara
Kebiasaan lain, di keluarga kami, ketika liburan sekolah datang. Liburan yang murah-meriah, aman, dan bagus untuk pendidikan. Namanya, menginap di rumah saudara.
Lebih dari 1 hari. Tanpa orang tua. Tentu saja, awalnya saya mengalami rasa canggung (awkward). Tidak menikmati masakan ibu. Kawan yang berbeda. Lingkungan berbeda.
Rumah yang sudah identik dengan tempat yang sangat nyaman dan aman, berubah sebaliknya. Saya ditinggalkan di rumah saudara dari ibu atau bapak.
Biasanya ada pengantar dari orang tua, yang menceritakan kisah singkat pemilik rumah. “Ini saudara bapak, dulu bapak tinggal di sini. Sekarang, kamu bisa liburan di sini, 3 hari lagi bapak akan datang ke sini, menjemput kamu.”. Yang menjadi ikatan hanya “saudara”.
Saya tidur bukan di tempat tidur saya, menjawab pertanyaan dari saudara saya satu nenek, bermain bersama mereka. Menonton film, bermain bola, menulis, menggambar, dan berbagi pengalaman. Saya hidup sebentar di keluarga yang tidak seperti keluarga saya. Mendengar dan mengingat dialek dan kosa kata baru, yang tidak saya mengerti sebelumnya. Saya ikut membantu mempersilakan tamu, mengerti pekerjaan adik ibu saya, tahu taman bacaan yang lebih besar, bisa menuliskan kota mana saja yang saya lewati, dll.
Saya kembali ke rumah tidak hanya dengan kerinduan. Saya kembali karena ingin menceritakan apa yang saya dapatkan dari liburan kemarin. Baru kemudian saya menyadari arti “menginap di rumah saudara” ini, belasan tahun kemudian.
Apa yang terjadi belasan tahun kemudian?
Kenangan itu masih terjadi. Saya bisa bicara 8 dialek dari kota yang berbeda-beda, sampai sekarang. Saya merasa “at home” ketika datang ke kota saudara saya, bisa bercerita tentang kisah jalan itu, lapangan bola itu, di mana kami pernah bermain. Mesin waktu yang dulu, kembali membawa saya mengingat masa-masa liburan di sana.
Yang terjadi sekarang, sudah tidak bisa saya hitung lagi, berapa kali saya tidur di tempat orang asing: hotel, tempat kos kawan, kontrakan orang, kenalan, di kereta, bis, dengan durasi sepanjang orang tidur. Apa yang saya ingat? Momen liburan sekolah, ketika di malam hari saya merindukan rumah dan saya ingin pulang. Namun ketika membuka mata lebih besar, saya tersenyum melihat sekeliling di mana saya sudah menjadi pahlawan Disney yang diceritakan dengan cara sama: seorang anak yang terpisah dari keluarganya, lalu bertualang, menemukan dirinya, bertarung dengan musuh, kemudian kembali ke rumah.
Singkatnya, saya percaya, “menginap” di tempat asing adalah bentuk pencapaian untuk memahami orang lain, menempatkan-diri, dan belajar di tengah kehidupan. Itulah yang membuat saya betah berpergian lebih lama. Di mana ada saya, di situlah rumah untuk saya.
Piknik maupun liburan, bukanlah untuk melarikan-diri sejenak saja dari masalah. Itu adalah pembelajaran seumur hidup dan pembentukan “moment” yang membuat orang memiliki cara-pandang berbeda. Tidak harus mahal, tidak harus lama. [dm]