SEMARANG (jatengtoday.com) – Lia mengaku belum lama mengetahui di Kota Semarang ada salah satu kampung yang asyik untuk belajar membatik dan melukis. Penasaran, ia kemudian menyambangi Kampung Batik Tengah RT 4 RW 2, Kelurahan Rejomulyo, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang.
Meski tidak muda lagi, usia kurang lebih 40 tahun bagi tak menghambat niat untuk belajar membatik. Alih-alih menikmati liburan, warga Manyaran itu menemui Sekretaris RT 4 RW 2, Ignatius Luwiyanto yang sekaligus menjadi guru lukis.
“Saya sengaja datang kesini untuk belajar melukis. Dapat informasi dari teman, beberapa hari lalu teman saya belajar membatik. Saya ingin belajar melukis. Kalau batik bahan dasarnya dari kain, kalau ini dari kanvas dan catnya dari aklirik,” kata Lia ditemui jatengtoday.com, Sabtu (7/7).
Di sebuah gazebo di tengah kampung tersebut, Lia asyik memulai goresan kuas di atas kanvas. Sesekali, Ignatius melakukan pengarahan mulai dari sket dan pencampuran warga cat. “Asyik sekali,” katanya.
Ignatius Luwiyanto mengatakan, sebetulnya di kampung tersebut hanya sekitar 7 orang yang menguasai membatik. Tetapi ada pelatihan untuk ditularkan kepada warga lain. “Termasuk siapapun yang berminat belajar membatik. Ibu-ibu, bapak-bapak, remaja, semua belajar membatik. Kalau pagi bekerja seperti biasa, ada yang PNS, karyawan swasta, wiraswasta, dan lain-lain. Tetapi aktivitas sambilan kalau sore dan malam membatik,” katanya.
Lebih lanjut, kata dia, banyak investor mulai tertarik untuk membantu. Salah satunya PLN. PLN membantu dalam bidang pengembangan UMKM dengan memberikan sejumlah peralatan membatik dan proyektor untuk pelatihan. “Prinsipnya, kami memberdayakan warga. Setiap pengunjung yang datang kami sambut dengan senang hati. Anak-anak muda yang mengambil foto kami persilakan,” katanya.
Sementara itu, Ketua RT 4 RW 2, Dwi Kristiyanto, mengatakan pemberdayaan warga setelah menjadi Kampoeng Jadhoel, lebih terarah dan berkembang. “Aktivitas warga yang dulu tidak berkembang, sekarang menjadi lebih berarti. Ada pelatihan keterampilan. Tidak hanya membatik, tetapi juga mengembangkan kuliner jadul khas Semarang. Ini murni swadaya masyarakat,” katanya.
Dari awal memang ada keinginan dari warga untuk menciptakan rasa nyaman di lingkungannya. “Dulunya gelap, sekarang menjadi terang. Dulu tidak ada penghijauan, sekarang banyak bunga,” katanya.
Ia tidak mengira, ternyata banyak orang mengunjungi kampung tempat tinggalnya. Pengunjung dari berbagai daerah di Indonesia menyambanginya. “Dari berbagai daerah di Indonesia, Pontianak juga ada. Bahkan dari luar negeri pun juga mendatangi RT kami. Dari Australia, Kanada, Amerika, India dan masih banyak lagi. Ada yang hanya sekadar jalan-jalan, foto-foto, hingga pelatihan dasar membatik di sini,” katanya.
Untuk sementara, ia mengakui belum ada homestay yang bisa ditinggali oleh wisatawan. “Ke depan, kami juga berkeinginan mengembangkan homestay. Tapi untuk sementara ini kondisinya belum memungkinkan. Tergantung keinginan warga di sini juga,” katanya.
Kampung tersebut memang terbilang ramping, yakni hanya 23 kepala keluarga (KK), 32 rumah, dan 82 orang yang tinggal di RT tersebut. “Banyak pendatang yang tinggal dan ngekos. Pekerjaan warga bervariasi, ada PNS, guru, wiraswasta, karyawan dan lain-lain. Setiap minggu pagi, warga membuat pasar batik. Semua penjualnya warga sini,” katanya. (abdul mughis)
editor: ricky fitriyanto