SEMARANG (jatengtoday.com) – Serikat Pekerja PT Sai Apparel Industries Grobogan (SP Spring) didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang mengadukan serangkaian dugaan pelanggaran norma ketenagakerjaan yang terjadi di PT Sai Apparel Industri Grobogan, kepada Pengawas Ketenagakerjaan (Satwasker) Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Jawa Tengah, Rabu (8/11/2023).
Ketua Serikat Pekerja Spring, Mala Ainun Rohma, menilai perusahaan garment yang memproduksi pakaian berbagai merek ternama itu telah melanggengkan praktik yang merugikan buruh sejak 2021 silam.
“Pertama, pemberlakuan biaya parkir yang tidak wajar kepada para buruh, dengan meminta pembuatan kartu parkir seharga Rp 15 ribu. Biaya parkir bulanan tambahan sebesar Rp 6 ribu, meskipun tersedia lahan parkir di area pabrik,” ungkapnya dalam keterangan pers tertulis.
Kedua, kebijakan kerja lembur tanpa pembayaran sejak Juli 2023. Ketiga, dugaan kekerasan dan pelecehal berbasis gender. “Sejumlah buruh mengalami berbagai bentuk kekerasan dan pelecehan, baik secara fisik maupun verbal di lingkungan kerja,” katanya.
Keempat, ketidaksesuaian status kerja dengan jenis produksi, meskipun PT Sai Apparel Industri Grobogan merupakan perluasan dari PT Sai Apparel Industri Semarang. “Status kerja buruh menggunakan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau kontrak, yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku,” ungkap dia.
Kelima, pemberangusan serikat buruh. Pihak perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja dengan dalih habis kontrak terhadap pengurus dan anggota Serikat Pekerja Spring.
“Ini merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang (UU) tentang Serikat Buruh,” tegasnya.
Oleh karena itu, pihaknya menuntut penghapusan segala bentuk pungutan liar yang merugikan buruh di PT Sai Apparel Industri Grobogan. Selain itu, pihaknya mendesak perusahaan untuk membayar setiap pekerjaan lembur. “Hentikan praktik kerja lembur tanpa pembayaran,” katanya.
Dia juga mendesak perusahaan melakukan peningkatan status kerja buruh dari PKWT atau kontrak menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) atau tetap. “Perusahaan harus melakukan penerapan mekanisme yang mencegah kekerasan dan pelecehan berbasis gender di lingkungan kerja,” kata dia.
Selanjutnya, kata Ainun, perusahaan harus menjamin kebebasan berserikat dan berunding bagi serikat buruh tanpa tekanan atau hambatan. “Selama ini, manajemen pabrik telah gagal menciptakan atau memberikan lingkungan kerja yang aman dan nyaman bagi para buruh,” katanya.
Perwakilan LBH Semarang, Tuti Wijaya mengatakan, praktik-praktik tersebut merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 27 Ayat 2. Selain itu, Perusahaan telah melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terkait hubungan kerja dan pemberian hak-hak buruh.
“Bahkan UU Cipta Kerja yang merupakan produk hukum—yang mengkebiri hak-hak buruh—juga mengatakan hal yang sama. Melanggar hak buruh berarti melanggar hak asasi manusia,” tegasnya.
Pihaknya mendesak Pengawas Ketenagakerjaan Provinsi Jawa Tengah untuk segera menindaklanjuti laporan pengaduan tersebut. “Pemerintah harus memastikan keadilan bagi para buruh yang telah mengalami pelanggaran norma ketenagakerjaan. Kami akan terus memantau perkembangan situasi ini,” katanya. (*)