SEMARANG (jatengtoday.com) – Kuasa Hukum Gereja Baptis Indonesia (GBI) Tlogosari dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Semarang meminta sekelompok warga yang menolak pembangunan GBI Tlogosari menghentikan fitnah dan tuduhan yang menyudutkan pihak gereja.
Pasalnya, belakangan ini sempat muncul tuduhan terkait Izin Mendirikan Bangunan (IMB) GBI Malangsari dilakukan dengan tipu daya, pemalsuan tanda tangan dan seterusnya.
“GBI Tlogosari telah memiliki Izin Prinsip dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sejak 1998. Merujuk SKB Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1969, tidak mensyaratkan adanya tanda tangan persetujuan warga terhadap pembangunan gereja,” kata salah satu Kuasa Hukum GBI Tlogosari dari LBH Kota Semarang, Noval, Selasa (10/3/2020).
Dijelaskan, memang, pada proses awal pembangunan pada 1998 silam, dilakukan tanda tangan persetujuan warga. “Namun itu hanya sebagai syarat sosial. Artinya, tanda tangan warga tersebut tidak menjadi patokan sah atau tidaknya IMB tersebut,” katanya.
Belakangan, sempat dihembuskan isu bahwa GBI Tlogosari dituding melakukan pemalsuan IMB, dengan penipuan tanda tangan warga. “Yang perlu digarisbawahi bahwa pemalsuan dokumen itu termasuk ranah pidana. Di mana harus dilakukan pembuktian di pengadilan. Anehnya, tudingan itu tidak hanya muncul dari kelompok warga penolak, tetapi juga muncul dari salah satu anggota FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama),” katanya.
Pihaknya menegaskan akan melakukan somasi terhadap pihak yang menuduh tanpa bukti. Tuduhan tersebut membuat pihak GBI dirugikan karena isu tersebut menyebar. “Kami minta para pihak yang menuduh itu melakukan klarifikasi dan melakukan permintaan maaf. Karena hal itu telah menyebar ke mana-mana dan mengakibatkan pihak GBI Tlogosari terintimidasi,” katanya.
Sementara itu, Direktur LBH Semarang Zaenal Arifin, mengatakan kasus intoleransi masih banyak terjadi di Jawa Tengah, termasuk di Kota Semarang. “Pola yang digunakan, kelompok masyarakat intoleran seringkali menekan pejabat pemerintah daerah untuk mencabut IMB yang telah diterbitkan. Ini bukan pola baru,” katanya.
Dari beberapa kasus intoleransi di Jawa Tengah, kata Zaenal, tidak ada satupun kasus yang selesai. “Narasi Jawa Tengah yang taglinenya Jateng Gayeng, toleran, NKRI harga mati, itu tidak diikuti dengan pengambilan kebijakan untuk menyelesaikan kasus-kasus intoleransi tersebut. Ini menjadi satu catatan penting,” katanya.
Sepanjang 2019, LBH Semarang mencatat 11 kasus intoleransi berbasis keyakinan beragama di Jawa Tengah. “Di antaranya kasus rumah ibadah yang menimpa kelompok masyarakat di Dermolo akhir 2018, IMB mereka dicabut oleh Pemerintah Kabupaten Jepara. Di Banjarnegara kaitannya dengan Jamaah Ahmadiyah Indonesia, yang menerima SP1, 2 dan 3 dari Bupati Banjarnegara atas dorongan masyarakat intoleran,” katanya.
Begitupun di Kota Semarang, kasus pendirian GBI Tlogosari yang IMB-nya telah diterbitkan sejak 1998, hingga sekarang tidak bisa dibangun. “Mereka (kelompok penolak gereja) menuntut Wali Kota Semarang membatalkan IMB yang telah ada,” katanya. (*)
editor: ricky fitriyanto