in

KPK Dorong Perbaikan Tata Kelola Bisnis Pertambangan

Jika tata kelola tidak diperbaiki, Pemda tidak akan mampu mengontrol pertambangan ilegal yang beroperasi. Para penambang ilegal akan memberikan suap kepada aparatur negara agar bisnisnya berjalan.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyelenggarakan seminar "Penataan Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB) di Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, yang digelar secara hybrid, online dan offline, Senin (28/11/2022). (capture screen dari akun YouTube Provinsi Jawa Tengah)

YOGYAKARTA (jatengtoday.com) – Sektor pertambangan memiliki perputaran nominal uang yang sangat besar, sehingga banyak pihak tertarik menggeluti sektor ini. Namun demikian, sengkarut bisnis pertambangan ini belum sepenuhnya diikuti dengan tata kelola yang baik.

Hal itu memunculkan permasalahan yang kompleks. Mulai dari kewenangan perizinan yang berubah-ubah, setiap pergantian pemangku kepentingan memunculkan kebijakan yang berubah-ubah, praktik tambang ilegal hingga pungutan liar. Tidak hanya itu, pertambangan cenderung berdampak kerusakan lingkungan.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendorong agar tata kelola sektor Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB) dilakukan perbaikan.

“Dibutuhkan tata kelola pertambangan yang mengakomodasi seluruh pihak mulai dari masyarakat, pembangunan, pengusaha dan pemerintah daerah agar terciptanya harmoni dan tidak menimbulkan masalah,” ungkap Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron dalam seminar Penataan Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB) di Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, yang digelar secara hybrid, Senin (28/11/2022).

Ghufron menjelaskan sektor pertambangan MBLB dalam beberapa kasus menimbulkan banyak persoalan. “Pemangku kepentingan yang terus berganti diikuti kebijakan yang terus berubah,” ungkapnya.

Semula perizinan berada di Kabupaten/Kota, kemudian beralih ke provinsi, lalu ditarik ke pusat, dan kini dikembalikan ke provinsi lagi. Kondisi ini, dari sisi produk hukum tentu sudah melahirkan berbagai perizinan pertambangan baik yang sudah berlaku, sudah mati atau harus diperpanjang.

“Alhasil, itu semua menimbulkan banyak hal yang perlu dirapikan termasuk di dalamnya, misalnya soal pungutan. Bicara pungutan tentu dalam aspek hukum, pemungut atau pungutan dari negara kepada rakyat tentu harus ada legalitas,” kata Ghufron.

Ghufron, yang hadir secara virtual melanjutkan, ada tiga aspek legalitas yang perlu diperhatikan. Pertama, harus ada dasar hukum atau legalitas formil bagi badan yang mendapatkan mandat untuk melaksanakan pungutan. Kedua, aspek besaran nilai pungutan—hal ini menjadi penting dan untuk meminimalisasi anggapan ketidakadilan antar pihak.

Ketiga, aspek untuk apa pungutan itu dilakukan. Selama ini, asumsi pemerintah dan daerah dalam hal penarikan pungutan seakan-akan hanya untuk mendapatkan kas daerah. Padahal dalam perpektif melindungi, pungutan juga harus digunakan untuk kepentingan lingkungan.

“Hal yang sering terjadi, prioritas peruntukan uang pungutan tersebut tidak untuk melakukan pemulihan lingkungan, merawat, dan melestarikannya karena tidak masuk dalam penganggaran,” ujarnya.

Rantai Bisnis

Di sisi lain, rantai bisnis pertambangan dimulai dari proses penambangan, penampungan (stockpile), distributor dan user. Pada rangkaian tersebut akan menimbulkan rantai bisnis yang tentunya harus memiliki legalitas. Sayangnya, hal itu belum berjalan karena dalam beberapa kasus yang ditemukan legalitas dari rantai bisnis tersebut masih setengah-setengah.

“Kadang ada yang legal di titik penambangan tapi di titik stockpile dicampur dari sumber tidak legal. Ini perlu ditata di mana legalitas penampungan harus ada, legalitas stockpile harus ada. Kemudian rantai transportasi lebih lanjut perlu ditata,” ujar Ghufron.

BACA JUGA: Ketika 40 Nyawa Melayang Jadi Tumbal di Lubang Bekas Tambang

Baginya, dengan tata kelola yang baik, maka akan memberikan kepastian hukum bagi pengusaha dan Pemda dalam melakukan kontrol pada aspek lingkungan. Di sisi lain, Pemda juga akan mendapatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang lebih akuntabel.

Jika tidak dilakukan penataan, maka Ghufron memprediksi akan mengakibatkan dua hal. Dari sisi lingkungan tentu akan rusak dan Pemda tidak mampu mengontrol karena banyak pertambangan ilegal yang beroperasi. Kedua, akan menimbulkan masalah moral hazard seperti para penambang ilegal yang akan memberikan suap kepada aparatur negara agar bisnisnya berjalan.

“KPK fokus kepada bagaimana agar potensi daerah yang berupa mineral bukan logam dan batuan memberikan manfaat dan tidak menimbulkan musibah atau bencana. Kami berharap penataan pertambangan ini kemudian mengedepankan dan menghasilkan dua hal yaitu PAD akuntabel dan lingkungannya dilindungi,” jelasnya.

BACA JUGA: Penambangan Ilegal di Mayong Jepara, Oknum Kades jadi Tersangka

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo memberikan apresiasi kepada Kedeputian Bidang Koordinasi dan Supervisi KPK yang menyelenggarakan seminar perbaikan tata kelola pertambangan untuk daerah Jateng dan DIY. Ganjar berharap para kepala daerah baik Bupati dan Walikota dapat jujur tentang kendala yang selama ini terjadi.

Permasalahan Pertambangan

Menurutnya, persoalan pertambangan ilegal di lapangan memang sudah masuk ke dalam tahap mengkhawatirkan. “Sehingga diperlukan kerja sama dari seluruh pihak baik Pemda, Pemerintah Pusat, dan Aparat Penegak Hukum, untuk membentuk sebuah tata kelola yang dapat memberikan kepastian hukum bagi seluruh pihak,” katanya.

 

Hingga 18 Agustus 2022, untuk wilayah Jawa Tengah terdapat 447 dokumen permohonan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan sebanyak 85 dokumen belum selesai dievaluasi. Juga, terdapat 300 dokumen permohonan perizinan yang belum selesai dievaluasi, 5 dokumen menunggu diterbitkan, dan 656 dokumen tanggapan atau persetujuan teknis di tahun 2022.

Rencana Tindak Lanjut

“Maka sebenarnya di kesempatan kali ini, saya usul konkret saja. Kita kasih nomor telepon untuk (masyarakat) melaporkan setelahnya kita gerebek bareng. Kita kasih batas waktu dan jika hingga sampai batas waktu tidak ada perbaikan, maka kita (lakukan) penegakan hukum,” kata Ganjar.

Di sisi lain, dalam menindak pertambangan ilegal maka tidak serta merta menggunakan cara kekerasan dan perlu dicarikan jalan keluar. Sebelum menutup tambang ilegal, Ganjar berujar harus disiapkan terlebih dahulu transisi, transformasi dan edukasinya kepada masyarakat.

Jika hal itu berjalan, Ganjar meyakini desa yang dieksploitasi sumber daya alamnya akan maju karena dia akan mendapatkan kick back berupa legal dari pemerintah. “Ini duit gede, ini cerita uang besar sekali. Kalau kita tidak bisa menyelesaikan yang rugi adalah rakyat,” tutupnya.

Turut hadir dalam seminar ini, Bupati dan Walikota—atau yang mewakili—di lingkungan Pemprov Jawa Tengah dan DIY, Pangdam Diponogoro, Kapolda Jawa Tengah, Kajati Jawa Tengah, Diskrimsus Mabes Polri, dan segenap hadirin baik langsung maupun virtual. (*)

Abdul Mughis