SEMARANG (jatengtoday.com) – Perkembangan musik di Kota Semarang terbilang stagnan, bahkan cenderung berjalan di tempat. Meski begitu, kantong-kantong musik berbasis komunitas sebetulnya tetap bergeliat. Salah satunya kantong musik berbasis Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Musik.
Seperti halnya Konser Simfoni Band“90’s : Remember of 90’s Harmony” yang dihelat oleh UKM Walisongo di auditorium II Kampus III UIN Walisongo Semarang pada Rabu 26 September 2018 malam lalu.
Komunitas kesenian musik sebetulnya tetap melahirkan karya-karya baru dengan berbagai coraknya. Sedikitnya ada lima band baru yang menunjukkan kepiawaiannya dalam menyajikan musik ciptaan sendiri.
Tidak hanya itu, sejumlah band juga menampilkan musik era 1990-an sebagai perbandingan musik tempo dulu untuk disandingkan dengan musik era modern yang didominasi generasi milenial. Perkembangan teknologi juga membawa perubahan warna musik berbeda.
“Kami sengaja mengemas Konser Simfoni Band kali ini menjadi perpaduan nuansa tahun 90-an dengan berbagai karya musik modern ciptaan sendiri,” kata Ketua Panitia, Ahmad Jazuli, Rabu (26/8/2018).
Dikatakannya, persandingan karya musik di era 1990-an dengan karya musik modern diharapkan bisa memantik diskusi pengetahuan mengenai perkembangan musik. Hal itu bisa menjadi bahan agar karya musik jangan sampai malah terjadi penurunan kualitas.
“Para musisi pendahulu memiliki insting sesuai dengan konteksnya kala itu. Baik dari pemilihan musikalitas, tempo, komposisi hingga lirik. Musisi sekarang harus belajar menimbang bobot suatu karya,” katanya.
Dia mengaku musisi sekarang menjamur untuk melahirkan karya. Namun secara kualitas belum banyak grup yang bisa mewakili. Tentunya agar menjadi bahan pembelajaran bagi generasi muda. “Pelaku musik mestinya tidak terjebak dengan kemauan pasar. Tetapi memiliki idealisme dan ciri khas yang kuat,” katanya.
Musik ini memengaruhi generasi muda. Tergantung kualitas musik seperti apa yang memengaruhi generasi muda saat ini. Sebab, bahasa musik terbukti sangat efisien untuk mempengaruhi orang lain. Mulai dari anak-anak, remaja, dan orang dewasa hampir semuanya menyukai musik.
“Kami berharap, generasi muda bisa memeroleh pendidikan musik yang sehat. Sehingga mampu memilih dan melahirkan karya musik yang cerdas,” katanya.
Sementara itu, salah seorang penonton, Erna Setyaswara mengaku senang menyaksikan aksi generasi muda menampilkan musik secara mandiri. “Saya memberikan apresiasi, kelompok band anak muda mampu melahirkan karya musik sendiri. Apalagi inovasi aransemen musiknya juga lebih variatif ketimbang musik pasaran,” katanya.
Menurut dia, sebetulnya pelaku musik berbasis indie label justru tidak sedikit lebih berkualitas ketimbang kelompok musik jalur major label. “Musisi indie justru memiliki idealisme dalam bermusik. Mereka mampu memertahankan ciri khas dan keunikannya. Liriknya berkualitas, memertahankan sastra dan musik yang berwarna. Sedangkan musisi major label cenderung mengikuti kemauan pasar, liriknya asal-asalan,” katanya.
Ia menyebut, beberapa musisi indie seperti Payung Teduh, Efek Rumah Kaca, Barasuara, Endah N Reza, Dialog Dini Hari, dan lain-lain, justru memiliki idealisme yang kuat. Mereka, menurutnya, mampu melahirkan karya musik yang dalam, penuh arti, dan tentu saja berkualitas. “Tentu akan sangat jauh bila mendengarkan lagu berjudul ‘Lagi Syantik’. Tetapi anehnya, lagu seperti ‘Lagi Syantik’ ini yang banyak diminati oleh publik secara umum. Inilah pentingnya edukasi dalam hal musik,” katanya. (*)
editor : ricky fitriyanto