Jamaah masjid di Kampung Kramat Jati saling pandang. Sesekali mereka melempar pandang ke tiga sosok pemuda yang hadir menunaikan ibadah.
Dengan penuh rasa heran, mereka seolah ingin melempar pertanyaan antarsesama. Namun, jamaah masjid di pinggir Kota Jakarta itu bersabar. Mereka tak mengucap sepatah kata pun menyaksikan para pemuda yang dinilai ‘tumben masuk masjid’.
Nampaknya anggota jamaah ingin suasana di dalam masjid tetap tenang, tidak berisik agar ibadah shalat Isya yang disusul Salat Tarawih itu berjalan khidmat dan tenang.
“Ehm,” suara bergumam meluncur dari mulut seseorang lelaki tua.
Gumaman pak tua, yang dikenal warga setempat sebagai tokoh masyarakat itu disambut beberapa rekannya dengan suara batuk yang dibuat-buat. Ya, seperti para bocah ketika ikut shalat Tarawih bersenda gurau dengan batuk bersahut-sahutan.
Ibadah di masjid, terutama ketika memasuki ritual inti, para orang tua menjaga adab. Etika berkomunikasi pun diperhatikan. Maksudnya, agar ibadah tidak terganggu dan suasana khusyuk tetap terjaga.
Namun kadang ada hal yang sulit dihindari. Misalnya, kala khatib naik mimbar lalu tampil terlalu lama, para orang tua yang mengerti syarat dan rukun dalam ibadah bersangkutan akan melontarkan teguran dengan cara batuk-batuk. Kadang mengeluarkan kata amin dengan suara dikeraskan.
Begitu juga ketika bilal sudah masuk waktu harus iqamah, di antara anggota jamaah mengingatkan, misalnya dengan suara “Ji”. Maksudnya Pak Haji harus segera melantunkan iqamah.
Fenomena itu juga terjadi kala anggota jamaah masjid menyaksikan sosok tiga pemuda yang dinilai tumben, baru sekarang hadir di dalam masjid. Para pemuda itu tampilannya keren. Songkok hitam masih baru. Baju koko dikombinasi sarung baru.
Raja mabuk
Kisah nyata tersebut lalu jadi buah bibir. Di antara warga kampung sering melontarkan pertanyaan, bagaimana awal tiga pemabuk jadi anggota jamaah masjid. Ketiga pemabuk itu dikenal dengan sapaan Billy, Embong dan Entong. Ketiganya selalu dijumpai warga, entah pagi atau pada kesempatan malam, selalu membawa minuman keras.
Cerita tentang duel mereka dengan anggota geng motor pada malam hari sudah terlalu sering didengar warga.
Yang paling menyakitkan adalah ketika di lingkungan mereka tengah digelar perhelatan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Begini ceritanya, ketika Ustaz Taufik memimpin selawat Al Barzanji, tidak jauh dari lokasi acara, ketiga pemuda itu mabuk-mabukan sambil ikut membaca selawat.
Nah, andai saja warga tak sabar menyaksikan kelakuan buruk para pemuda itu, boleh jadi jamaah yang tengah memperingati Maulid itu akan menghajar mereka.
Mabuk adalah bukan cara yang tepat menghindari pokok persoalan hidup. Mabuk juga tak tepat sebagai gaya hidup. Apa lagi untuk membangkitkan diri berani menghadapi pihak lawan. Dengan sebutan lain, agar jadi pemberani perlu menenggak minuman keras.
Nyatanya, ketika ketiga pemabuk ini menyerang seorang ustaz, dengan sekali hentakan dari jarak jauh, mereka terhuyung lalu kecemplung kali. Embong masuk kali, sementara Entong dan Billy kebentur tiang listrik. Kepalanya benjol seperti bakpao.
Para pemabuk ini ditolong warga. Lalu dipapah. Diantar ke kediaman orang tuanya masing-masing.
Taufik, sang ustadz, yang menghadapi pemuda berandalan itu tak diam. Ia mendatangi satu per satu kediaman tiga pemuda itu sambil memberi nasihat. Hadir pula para orang tuanya.
Tapi ketiga pemabuk itu belum kapok. Pada kesempatan lain, mereka kembali menyerang Ustaz Taufik. Namun lagi-lagi yang didapat, mereka terpental secara bersamaan. Jatuh terguling.
Dari dua peristiwa pahit yang dialami itulah, ketiga pemabuk itu menyatakan insyaf. Tentu saja, sang ustaz dengan lapang dada, memberi bimbingan. Mulai istighfar, tata cara berwudhu, salat lima waktu.
Untuk belajar ilmu hikmah, harus dapat mengamalkan rukun Islam dan Iman. Belajar agama adalah keharusan bagi setiap Muslim tanpa memandang usia dan latar-belakang, kata Taufik mengenang para mantan berandalan itu.
Bulan puasa adalah kesempatan bagi mereka untuk bertaubat. Senyatanya, momentum itu kini dimanfaatkannya.
Ingat Nuaiman
Kisah trio pemabuk yang mulai “jinak” di masjid, sejatinya memiliki kesamaan dengan kisah sahabat Nabi. Nuaiman, namanya. Kendati ia pemabuk, Rasulullah, Nabi Muhammad SAW sangat mencintainya. Banyak kisah kedekatan Nuaiman hingga bisa membuat Rasulullah tertawa.
Namun, sungguh terlalu. Nuaiman mabuk di masjid hingga dimarahi para sahabat. Ketika Rasulullah kebetulan lewat, dan menanyakan peristiwanya, para sahabat lalu menceritakan duduk-soalnya.
Atas kejadian itu, Rasulullah minta kepada para sahabat, Jangan pernah lagi menghujat dan melaknat Nuaiman, meski dia mabuk tapi selalu membuat Nabi tersenyum. Nuaiman mencintai Allah dan Rasulullah.
Nah, boleh jadi trio pemabuk, dan pengguna narkoba sekalipun, yang kini aktif di masjid, sebelumnya telah mendapat hidayah. Adalah hak Allah yang Maha Rahman dan Maha Rahim memberi hidayah bagi seseorang.
Oleh karenanya, memanfaatkan momentum Ramadan adalah kewajiban bagi umat Islam. Terlebih diturunkannya Al Quran pada bulan Ramadan merupakan bukti atas kemuliaan dan keutamaan Bulan Suci itu.
(Edy Supriatna Syafei adalah wartawan senior, pernah bekerja di LKBN ANTARA/Arief Mujayatno/ant)